Jika orang lain menyambut pernikahan dengan sukacita, maka Langit sebaliknya. Persiapan pernikahannya benar-benar menguji kesabaran, penuh drama dan tantangan.
Jelas saja, dia harus bolak-balik ke Jakarta lantaran masih harus konsultasi proposal penelitiannya pada dosen pembimbing, tapi di sisi lain harus mempersiapkan pernikahannya di Sukabumi dan bolak-balik ke Mekarsari untuk menemui pihak keluarga Mentari yang sangat keras kepala.
Belum lagi pihak keluarganya sendiri dan para tetangga yang memandang sebelah mata terhadap Mentari dan pernikahan yang akan mereka jalani.
Ayah dari Langit yang sudah menikah lagi, bahkan menganggap Langit membuat aib di keluarga, karena menikah di usia muda padahal belum lulus kuliah. Ayahnya bahkan menuduh bahwa Mentari telah hamil lebih dulu.
Dia belum mengucapkan kalimat akad, tapi pandangan keraguan dari sekitar sudah sangat banyak untuk keputusan yang diambilnya. Kartika pun tak dapat berbuat banyak walaupun sudah dapat memprediksi bahwa hal itu akan terjadi. Wanita itu tak ambil pusing saat dituduh mantan suaminya, bahwa dia tak becus mendidik anak.
Meskipun begitu, Langit tak gentar. Dia sudah terlanjur menjalani semuanya. Ibaratnya sudah basah, sekalian saja berenang, pikirnya. Anggapan negatif yang dialamatkan kepadanya, kepada Mentari, dan rencana pernikahan mereka malah semakin menguatkan tekadnya untuk mewujudkannya.
Pada akhirnya mereka menikah di KUA. Setelahnya menggelar acara resepsi sederhana di rumah Kartika. Wanita itu sendiri yang memasak, dibantu beberapa keluarganya yang masih tulus dan peduli.
Setelah hampir sepekan di rumah Kartika, Langit memboyong Mentari ke Jakarta. Berbekal sedikit tabungannya, dia mencari kos khusus karyawan yang lebih luas agar dapat ditinggali berdua, lantaran kos sebelumnya hanya untuk satu orang dan khusus untuk pria.
"Kita tinggal dulu di sini. Insyaallah kalau Mas udah dapat kerja, kita pindah ke tempat yang lebih lebar," ujar Langit dengan suara lembut. Mentari hanya mengangguk dengan sedikit menunduk. Tak ingin protes.
Semenjak sah menjadi istri dari Langit, dia bertekad akan menjalani perannya dengan baik sebagai istri. Dia ingin selalu mendukung Langit.
Keduanya membereskan barang-barang yang baru dipindahkan dan masalah baru muncul. Rupanya perabotan untuk hidup berdua yang masih sangat kurang. Seperti alat makan yang hanya ada satu buah, karena Langit selama ini memang menjalani hidup sendiri.
"Kita sebaiknya beli barang lagi, dik."
"Maaf Mas, mau pakai uang dari ibu dulu?" tanya Mentari. Sebelum ke Jakarta, Kartika memang sempat memberikan sedikit uang untuk kebutuhan sehari-hari pada Mentari. Setidaknya sampai Langit memperoleh pekerjaan.
Langit menggeleng. "Jangan dik. Mending pakai tabunganku aja." Dia masih ada sisa uang saku dari beasiswa yang keluar setiap enam bulan sekali.
Tanpa pikir panjang, mereka berangkat membeli beberapa perabotan. Mereka memakai kendaraan umum, karena motor Langit bahkan sudah dijual untuk menambah modal menikah.
Awal pernikahan, tak terlalu banyak hal yang dipikirkan. Paling mereka hanya beradaptasi dengan suasana hidup yang berubah.
Langit pun tetap fokus menyelesaikan proposal penelitiannya sampai masuk ke tahap skripsi, meskipun begitu berbekal ijazah SMA, dia tetap aktif mengirim banyak lamaran kerja yang belum ada satu pun pihak yang menghubunginya kembali.
Sampai suatu malam, Mentari mendekatinya yang masih sibuk mengetik draf skripsi di laptopnya.
"Maaf Mas, beras kita habis."
Langit tersentak. Dia mengecek saldo di m-banking yang berada di ponselnya dan sontak keringat dingin, karena tak ada yang tersisa. Ingin meminta ibunya pun dia malu, karena ibunya hanya mengirim saat akhir bulan. Itu pun hanya cukup untuk membayar kos.
"Uang dari ibu masih ada dik?"
Mentari menggeleng pelan sambil menunduk dalam. "Udah habis, Mas buat kebutuhan kita selama ini."
Langit berusaha memasang ekspresi tenang, padahal jantungnya berdebar kencang lantaran panik.
"Ya udah, Mas masih ada sedikit uang di dompet. Mas belikan makanan, ya. Besok baru kita pikirkan soal beras." Bibirnya berusaha menarik senyum simpul untuk menenangkan Mentari yang akhirnya ikut lega.
Saat keluar dari kos dan sampai di jalanan yang sedikit gelap, dia membuka dompetnya dan hanya mendapati selembar sepuluh ribu rupiah dan lima ribu rupiah di dompetnya. Tak lebih. Terpaksa dia hanya membeli sebungkus nasi goreng untuk Mentari. Sedangkan untuk dirinya, tak cukup lagi. Dia tak peduli yang penting Mentari aman.
"Ini makan dulu dik."
Mentari yang menunggunya dengan perut kelaparan itu balik bertanya, "Mas udah makan?"
Langit tersenyum mengabaikan perutnya yang sangat melilit lantaran lapar. "Mas lagi gak laper. Adik makan aja, ya."
Pertama kalinya dia yang selalu jujur dari kecil itu berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekapan Langit (TAMAT)
Spiritual📚 Part Lengkap #Karya 15 Tak seperti kisah putri dalam dongeng yang dijemput oleh pangeran dari kerajaan yang kaya raya. Mentari yang kerap disiksa oleh Tante Arumi dan saudara sepupunya itu dijemput oleh Langit. Mahasiswa Teknik Sipil yang KKN di...