Bantuan

5.2K 493 7
                                    

Dua masa dalam kuliah yang membutuhkan dana cukup banyak adalah saat semester awal dan akhir. Sayang sekali, Langit kehabisan uang saat semester akhir. Beasiswanya memang menanggung biaya kuliah dan biaya hidup, tapi tidak menanggung dana selain itu.

Dia lupa memprediksi kebutuhannya yang akan membengkak saat semester akhir, karena dia pikir tabungannya selama ini akan cukup setidaknya sampai dia menyelesaikan skripsi. Ternyata biaya hidup yang tak murah untuk dua orang ditambah kebutuhan untuk tugas akhir, membuyarkan segalanya. Tabungannya habis tak bersisa dan dia bahkan tak sanggup untuk mencetak draf skripsinya yang akan digunakan untuk konsultasi.

Alhasil dia bertemu Profesor Tio selaku pembimbingnya untuk meminta keringanan mengirim draf skripsinya melalui email.

"Apa?! Email?! Kalau kamu mahasiswa selain teknik, oke. Tapi kamu mahasiswa teknik!" Pria paruh baya di seberang meja itu menatap Langit dengan wajah merah padam. "Kamu tidak menghargai saya?!" Nadanya meninggi membuat penghuni bilik lain dalam ruangan itu pun mendengar.

Langit hanya sanggup menunduk dalam di seberang meja. "Mohon maaf Prof, saya ... kehabisan biaya." Langit jujur membuat Profesor Tio justru melotot.

"Nah ... siapa suruh kamu nikah muda?! Kamu meniru mahasiswa FMIPA yang baru ikut kajian, tiba-tiba memilih nikah muda?! Begini kan jadinya! Kamu pikir menikah itu mudah?! Pokoknya saya tidak mau tahu urusan pribadimu! Selesaikan tugas akhirmu dengan baik. Tidak ada tawar-menawar.

"Kamu itu mahasiswa cemerlang. Punya sederet prestasi. Diprediksi lulus tepat waktu di teknik itu sangat positif. Kamu tahu sendiri butuh lima bahkan sampai tujuh tahun bagi teman-temanmu untuk lulus dari fakultas ini. Kamu diberikan kemudahan, tapi apa balasanmu?! Kamu tidak sadar dengan kualitas dirimu sampai menikahi gadis desa? Apa-apaan ini?!" Nada Profesor Tio sangat ketus.

Meskipun sudah sering dibentak ayahnya sejak kecil, nyatanya Langit tetap sakit hati, sedih, dan patah semangat saat dibentak oleh orang yang disebutnya sebagai orang tua kedua di kampus itu.

Ya, semenjak dia menikah muda, sikap beberapa dosen memang berubah. Tak seramah dulu lantaran menyayangkan keputusannya yang dianggap sangat tiba-tiba, padahal mereka ingin merekomendasikannya untuk beasiswa kampus agar melanjutkan studi setelah S1 dan kembali mengajar di almamaternya. Sayangnya, Langit menikah lebih dulu yang membuat mereka merasa keseriusan Langit untuk tugas akhirnya menurun.

"Langit?"

Langit yang baru keluar dari ruangan Profesor Tio itu sedikit kaget saat mendengar namanya dipanggil. Rupanya Profesor Anwar. Penghuni bilik yang satu ruangan dengan pembimbingnya.

"Sini!" Pria paruh baya itu mengisyaratkan dengan tangan agar masuk ke biliknya.

"Iya, Prof? Ada yang bisa dibantu?"

"Duduk Langit!"

Langit duduk di hadapan pria itu dengan memasang wajah yang berusaha terlihat tak terlalu kecewa. Meskipun hatinya sedang sedih.

"Saya dengar dari Profesor Tuty, katanya kamu sudah menikah, ya?"

Dia mengangguk pelan. "Iya, Prof."

"Oh ... jadi benar. Sebenarnya itu hidup kamu. Urusanmu. Tidak ada kaitannya menikah dengan keseriusan kuliah, cuma beliau-beliau sekalian begitu, karena khawatir kamu kehilangan fokus. Tahu sendiri kan kalau tanggung jawab dalam pernikahan itu besar? Anggap saja beliau-beliau sekalian peduli dengan kamu. Tidak perlu diambil hati. Oke?"

Langit mengangguk pelan. "Iya, Prof. Terima kasih."

"Kamu sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan. It's okay. Tapi setiap keputusan pasti punya konsekuensi yang harus ditanggung. Menikah bukan hanya masalah melegalkan hubungan antara pria dan wanita, tapi ada banyak hal yang jauh lebih penting dari itu. Saya harap kamu tetap menjalaninya dengan penuh tanggung jawab, ya."

Profesor Anwar menepuk pundak kanan Langit yang membuat Langit merasa lebih baik.

"Kesulitan ekonomi saat awal menikah itu hal yang biasa, Langit. Dulu saya menikah saat masa awal jadi dosen. Gaji masih kecil, motor biasa, tinggal di kontrakan, dan banyak kesulitan lainnya. Wajar saja, baru awal merintis. Saya dan istri dari keluarga kelas menengah ke bawah. Alhamdulillah sekarang saya dan istri sudah jadi guru besar.

"Saya belajar bahwa usia rentang 20 sampai 25 itu masih tahap merintis. Jarang ada orang yang sudah mapan. Kecuali kamu pewaris kekayaan keluarga. Kalau kamu bukan pewaris tapi perintis, wajar saja. Tidak apa-apa untuk itu. Sayangnya, sekarang anak muda banyak mengonsumsi konten-konten pamer kekayaan di media sosial yang membuat mereka mengira, bahwa sukses itu instan, sukses itu mudah, sukses itu cepat, dan lainnya. Mereka rendah diri karena hal-hal itu, padahal usia-usia merintis itu wajar. Harusnya mereka membentuk mental pekerja keras dan menghargai proses hidupnya, bukan menganggap semuanya mudah yang kalau saat dijalani tidak semudah itu, mereka menyerah, putus asa, dan cepat sekali merasa dirinya adalah orang paling menderita di dunia."

Langit ingin cengo mendengar penuturan pria paruh baya di hadapannya itu. Rangkaian kalimat sederhana yang entah kenapa menyadarkannya bahwa kondisinya saat ini ... tak buruk-buruk sekali.

"Aku perintis bukan pewaris. Wajar aja untuk susah dulu. Insyaallah ada masa-masa bahagia," batinnya.

"Kamu sedang mencari pekerjaan?"

"Iya, Prof."

Salah satu yang membuat Langit sulit memperoleh pekerjaan adalah dia ingin pekerjaan yang tak mengganggu studinya. Tapi beberapa pekerjaan sangat terikat, sehingga dia belum menemukannya.

"Kakak saya dokter. Punya jabatan cukup penting di rumah sakit. Nanti saya coba hubungi untuk tanya, apakah beliau punya pekerjaan yang cocok untuk kamu dan tidak mengganggu studimu."

Seketika senyum semringah Langit langsung terbit. "Terima kasih, Prof. Terima kasih."

Profesor Anwar tersenyum tipis. Tiba-tiba pria paruh baya itu di mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan beberapa lembar uang ke arah Langit.

"Pakai ini dulu, Langit."

Langit tak enak hati. "Tapi Prof ...."

"Sudah ambil saja, Langit. Saya ini orang tua keduamu di kampus. Ini saya berikan bukan hutang, ya."

Perlahan Langit menerima sodoran uang itu dengan perasaan berkecamuk.

"Saya tidak tahu masa depan, tapi kalau suatu hari nanti kamu jadi orang yang punya kewenangan, jangan lupa memanusiakan manusia lain. Bantu manusia lain. Sayangi manusia lain. Hidup itu berputar. Kadang kamu di bawah tapi tidak selamanya di bawah. Jadi jalani proses hidupmu dan jangan banyak mengeluh. Saya doakan hidupmu lebih baik dari hari ini."

Pundak Langit kembali ditepuk membuatnya ingin meneteskan air mata.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang