Wisuda

6.5K 486 9
                                    

"Muhammad Langit Hanan, S.T."

Langit yang mengenakan toga itu melangkah dengan tegap dan berani ke atas panggung begitu namanya dipanggil.

Dia maju dan rektor memindahkan tali toga di topinya dari kiri ke kanan. Setelahnya dia menerima map biru gelap berisi ijazahnya dari Profesor Tio, pembimbingnya saat skripsi sekaligus Dekan di Fakultas Teknik. Mereka berjabatan tangan dengan erat dan sekilas pria paruh baya itu tersenyum tipis.

"Selamat Langit. Saya bangga dengan kamu."

Langit tersenyum. "Terima kasih, Prof. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikannya."

Kartika dan Mentari yang hari itu mendampingi Langit menatapnya penuh haru.

Kartika bahkan sampai menangis sebelum menghapus air matanya. Anak yang dibesarkannya dengan susah payah sejak kecil, tetap diperjuangkannya setelah suaminya meninggalkannya bersama wanita lain itu telah menyelesaikan pendidikan S1-nya bahkan sudah memperoleh pekerjaan.

Saat mahasiswa lain lulus dan sibuk mencari pekerjaan, Langit lulus dalam posisi sudah diterima bekerja. Tak main-main tempat kerjanya. Perusahaan ternama yang bergerak dalam industri migas. Gaji pertama pegawainya yang baru bekerja saja berada di angka dua digit.

Banyak yang kagum pada Langit hari itu, karena berita diterimanya dia dalam seleksi bergengsi itu, telah tersiar di kampus. Setelah kasihan bahkan mengejeknya karena gagal diwisuda tahun sebelumnya. Termasuk Natasya yang hadir hari itu untuk menemani kakaknya yang juga wisudawan.

Dia kesal sekali melihat wajah bahagia Langit hari itu, tapi rasa irinya hanya untuk dirinya sendiri, menyesakkan hati dan pikirannya sendiri, karena tak membawanya ke mana-mana. Hidupnya hanya begitu-begitu saja. Belum ada kemajuan apa-apa.

Akibat sangat kesal dengan kebahagiaan orang lain, dia sampai mimisan. Beruntung seorang wanita bergamis dan berjilbab biru gelap di sampingnya sigap memberikan tisu kepadanya. 

"Mbak? Mohon maaf, Mbaknya mimisan," kata Mentari pada Natasya yang duduk tepat di sebelahnya. 

"Oh ...." Natasya kaget begitu mendapati darah dari hidung menetes di jarinya. Dia langsung mengambil tisu yang disodorkan oleh Mentari. "Terima kasih, Kak."

Mentari mengangguk pelan sambil tersenyum. "Sama-sama, Mbak."

Setelah membersihkan mimisannya, Natasya menoleh ke arah wanita yang tampak anggun dan tenang di sampingnya itu. Penampilan wanita itu sangat bersih, rapi, elegan, dan cantik.

Kulit wanita itu putih bersih, wajahnya oval, bibir tipisnya merah alami, alisnya tebal, sorot matanya sedikit sayu, dan hidung yang mancung. Dia iri dibuatnya. "Cantik banget kakak ini," batinnya.

"Nganterin siapa, Kak?" tanya Natasya membuka pembicaraan.

Mentari menoleh dengan senyum ramahnya. "Oh ... suami saya, Mbak."

Natasya mengerutkan dahi dengan heran. "Suami? Di teknik, Kak?" Jelas saja, mereka sedang duduk di tempat pendamping untuk wisudawan dan wisudawati dari Fakultas Teknik. Tapi Natasya sendiri heran, karena hampir tidak pernah ada mahasiswa teknik yang sudah menikah. Kalau di Fakultas MIPA, hal itu tidak terlalu mengejutkan. Kalau di teknik, sangat menggemparkan kalau ada yang menikah muda.

"Iya, Mbak. Suami saya di Teknik Sipil."

Oh tidak, Natasya sepertinya sudah dapat menebak.

"Namanya Mas Langit," lanjut Mentari.

Sontak Natasya sedikit terbelalak. "Kakak ini ... istrinya Langit? Langit Hanan?"

Mentari mengangguk masih dengan senyum manisnya. "Iya, Mbak. Benar."

Natasya cengo. "ASTAGA ... menang banyak si Langit. Jelas aja dia mau nikah muda kalau ceweknya mulus banget kayak gini," batinnya. Dia malu pada dirinya sendiri, karena dia sering menghina Langit dengan sebutan, 'suami dari gadis desa'. Ternyata kecantikan Mentari melebihi dirinya. Dia belajar hari itu untuk jangan meremehkan kecantikan gadis desa.

"Oh ... saya dan Langit sekelas, Kak. Hanya aja, dia wisudanya lebih cepat. Saya belum. Normalnya sih kalau di fakultas kami, bisa enam sampai tujuh tahun baru lulus, karena berat perkuliahan teknik. Kalau Langit bisa selesaikan dalam waktu lima tahun, itu udah cukup ... bagus." Dia menghindari kata 'cerdas'.

"Alhamdulillah, Mbak. Semua karena pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami doakan, semoga Mbak juga dimudahkan untuk segera diwisuda."

"Aamiin." Natasya tersenyum kecut. Kecut sekali.

***

"Ibu ... terima kasih banyak, Bu untuk semua jasa yang gak akan pernah bisa Langit hitung dan balas. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikan Ibu."

Kartika menahan haru menatap anaknya. "Alhamdulillah. Ibu bangga dengan Langit."

Tak lupa dia menatap istrinya dengan senyum manis. "Terima kasih dik. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikan adik."

"Terima kasih kembali, Mas. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikan Mas juga. Selamat, ya, Mas. Semoga ilmunya bermanfaat selalu."

Mereka menahan diri untuk tak berpelukan, karena tak ingin mengumbar kemesraan di depan umum.

Setelahnya mereka merayakan kelulusan Langit di Restoran Madinah. Bu Maryam menyuruh Pak Slamet untuk membuat acara perayaan khusus makan-makan gratis bersama semua karyawan yang sedang masuk hari itu.

Sekaligus Langit pamit, karena akan pindah bekerja di perusahaan yang sudah menerimanya. Surat pengunduran dirinya sudah diberikannya kepada Pak Slamet sejak bulan lalu.

"Terima kasih banyak Pak Dokter Yahya dan Bu Maryam yang berkenan hadir hari ini. Terima kasih banyak atas semua bantuan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Untuk Profesor Anwar dan keluarga pun demikian. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikan Bapak dan Ibu sekalian.

"Insyaallah saya akan tiru kebaikan Bapak dan Ibu untuk peka, peduli, dan membantu orang lain yang kesulitan secara totalitas. Terima kasih."

"Aamiin Ya Rabb." Dokter Yahya dan Bu Maryam yang duduk di kursi utama itu tersenyum.

"Terima kasih juga kepada Pak Slamet yang selama ini berkenan saya repotkan dengan permintaan sif saya, banyak mengarahkan dan membantu saya selama di sini. Terima kasih, Pak. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikannya."

"Aamiin Ya Rabb." Pak Slamet pun tersenyum.

"Terima kasih kepada semua teman-teman yang sudah banyak membantu, mengarahkan, dan sabar terhadap semua kekurangan-kekurangan saya selama berinteraksi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikan semua teman-teman, dan saya minta maaf kepada semua pihak, apabila selama saya di sini terdapat salah kata dan perbuatan. Mohon dimaafkan."

Banyak yang sedih karena Langit mengundurkan diri termasuk Pak Slamet yang berpesan, "Jangan lupakan kami kalau udah sukses, ya, Langit. Ingat, selain masakan istri yang mantap, Restoran Madinah juga cocok buat tempat makan dan bersantai bersama keluarga."

Langit tersenyum. "Insyaallah, Pak. Jelas itu."

Pada akhirnya Langit menyadari, bahwa ada waktu bagi seorang yang dianggap zero menjadi hero. Ada masa seorang yang dianggap nothing menjadi something. Semua takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala selalu memiliki maksud yang terbaik. Meskipun kadang sangat menyakitkan saat belum mengetahui hikmahnya.

Kalau dulu dia wisuda lebih cepat, mungkin dia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kalau dulu dia mendapatkan beasiswa kampus untuk menjadi dosen, dia kehilangan kesempatan untuk terjun di industri migas.

Semua kerja keras dan prosesnya selama ini membentuknya untuk menjadi manusia yang lebih bersyukur, menyadari semua nikmat bukan atas kemampuan pribadi tapi pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjadi lebih kuat, berani, dan sabar.

"Alhamdulillah. Segala puji bagi-Mu, Ya Allah."

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang