Setuju atau Tidak?

5.1K 420 1
                                    

"Mentari?"
"Mentari?"

Langit dan Kartika panik saat tak mendapati Mentari di kamarnya. Seketika Langit pamit pada ibunya untuk menyusul Mentari yang menurutnya masih tak jauh.

"Pakai motor Ibu aja." Kartika menyodorkan kunci motor bebeknya dan secepat kilat diraih oleh putranya.

"Aku pamit, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Sepanjang perjalanannya beberapa ibu-ibu yang tengah duduk di depan rumah mereka turut meliriknya. Langit paham bahwa membawa Mentari memang akan menjadi perbincangan. Itulah kegiatan sehari-hari para ibu-ibu itu.

Dulu saat ibunya mengalami KDRT, semua ikut menggunjing orang tuanya tanpa ada tindakan apa-apa. Setelah Langit cukup dewasa, dia memilih mengabaikan omongan mereka yang menurutnya tak ada gunanya jika terlalu dipikirkan.

Langit menemukan Mentari di dekat jalan keluar dari kampungnya. Sontak dia membawa motornya dan berhenti tepat di sebelah Mentari yang tengah berjalan pelan membuat gadis itu terkejut dan ikut berhenti.

"Mas Langit ...."

"Kamu mau ke mana Mentari?" tanya Langit setelah turun dari motornya.

Mentari menunduk. "Saya ... saya gak seharusnya ada di sana, Mas. Saya cuma membuat ibu Mas sedih. Seharusnya saya pulang."

Langit menghela napas pelan. "Saya minta maaf membuat kamu berada di posisi yang sulit. Beri saya waktu untuk berbicara dengan ibu saya. Ini semua salah saya, karena saya gak memberitahukan ini sejak awal kepada ibu saya."

Mentari menggeleng dengan wajah sendu. "Gak usah dipaksa, Mas. Ibu Mas benar. Mas ini masa depannya masih panjang, masih sekolah, sedangkan saya hanya perempuan yang gak jelas asal-usulnya. Mas gak seharusnya sejauh ini menolong saya. Mas gak ada tanggung jawab untuk melakukannya."

Agak lama Langit terdiam untuk berpikir.

"Sejujurnya yang mengganggu pikiran saya itu penilaian kamu kepada saya dan tentang kesiapan saya. Saya pernah tanya ke guru saya tentang menikah muda. Menikah muda itu bagus agar bisa lebih menjaga diri, tapi bukan berarti tanpa persiapan. Semua harus dalam kondisi yang cukup siap dalam beberapa aspek.

"Kemudian menikah juga berat, karena sebagai pria berarti mengambil tanggung jawab untuk membina, membimbing, dan mendidik istrinya. Siap memperjuangkan akhirat istrinya. Itu berat. Butuh kesiapan. Butuh ilmu. 

"Belum lagi kalau kita bahas finansial, saya beasiswa penuh selama kuliah ini, Alhamdulillah ditambah sedikit kiriman dari ibu saya, dan saya belum punya pekerjaan. Saya memiliki sedikit tabungan, tapi saya mungkin akan tetap bekerja. Apa kamu siap hidup dengan kondisi serba kekurangan?"

Mentari terdiam. Tak mengatakan apa-apa tapi mulai berpikir, bahwa keduanya ternyata sama-sama memiliki kekurangan. Sikap diamnya membuat Langit berkecil hati.

"Mungkin kamu menyesal. Saya minta maaf, seharusnya saya mengatakan semua ini sejak awal agar kamu pertimbangkan sebelum kamu ikut dengan saya."

Lagi-lagi Mentari menggeleng. "Saya gak pernah menyesal, Mas. Hati kecil saya mengatakan, saya memilih bersama dengan orang yang benar. Mas gak datang dengan menjanjikan kekayaan, tapi saya yakin bahwa Mas orang baik. Saya mau bersama dengan orang baik, karena saya sulit menemukan itu dalam hidup saya. Mas udah memilih saya. Kalau Mas yakin bisa bertanggungjawab dan yakin bahwa saya layak mendampingi Mas, maka saya mau berjuang bersama Mas."

Langit menunduk menahan senyumnya. Dia semakin yakin bahwa siap memperjuangkan semuanya.

Pada akhirnya Mentari kembali dibawa pulang ke rumah Kartika yang belum setuju dengan kebersamaan mereka.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang