Lamaran Pak Sapto

5.6K 436 0
                                    

"Aku kasih sawahku satu sama uang yang udah aku janjikan, Mbak. Asal Mentari sama aku," ujar Sapto ke arah Arumi yang tampak menahan senyumnya.

"Mentari ini kan banyak yang suka, Mas. Udah banyak yang janjiin sawah sama uang. Kayaknya udah biasa banget gitu." Arumi tertawa terpaksa membuat pria paruh baya di seberang meja itu tampak berpikir.

"Jangan ragukan aku, Mbak. Kalau Mbak cari yang paling kaya di desa ini, aku Mbak orangnya." Nada Sapto sedikit meninggi. "Aku tambah setengah peternakan kalau mau."

Arumi tersenyum tipis. "Kalau itu bisa dipertimbangkan, Mas. Aku panggilin Mentari dulu, ya."

"MENTARI ...."
"MENTARI ...."

Tak lama Mentari muncul dengan tergesa-gesa ke arahnya sebelum menunduk dalam. "Iya, Tante?"

"Duduk!"

Mentari duduk di lantai di dekat kaki Arumi, tapi lengannya ditarik paksa agar berdiri.

"Duduk di samping Pak Sapto!" titah Arumi membuat Mentari bangkit dengan ragu dan duduk dengan memberi jarak yang cukup jauh dengan pria paruh baya yang menatapnya bak serigala yang kelaparan itu.

"Jadi Pak Sapto ini seneng sama kamu. Dia mau lamar kamu, Mentari. Bayangkan orang kaya kayak Pak Sapto seneng sama kamu."

Sapto menyunggingkan senyum angkuh, tapi tak disangka Mentari justru menggeleng cepat.

"Maaf, Tante, aku gak bisa terima Pak Sapto."

Sontak Arumi dan Sapto terkejut. Wajah Arumi bahkan sampai merah padam.

"Aku gak suruh kamu milih, ya! Pokoknya kamu harus mau!"

"Tapi aku gak mau, Tante. Tolong Pak Sapto lamar orang lain aja." Mentari bangkit dari posisi duduk dan langsung berlari ke arah dapur membuat Sapto dan Arumi terbelalak.

"Tenang, Mas. Nanti aku bilangin dia." Arumi berusaha menenangkan Sapto yang mendadak gusar.

"Pokoknya aku gak mau tahu, Mbak. Mentari harus mau sama aku." Sapto bersikeras meskipun usianya lebih disebut seperti ayah dari Mentari.

"Bisa diatur, Mas. Mungkin dia kaget dilamar sama Mas."

Begitu Sapto meninggalkan ruang tamu, Arumi masuk dengan cepat ke arah dapur dan seketika menjambak rambut Mentari dengan kasar sebelum menariknya ke kamar mandi.

Wanita paruh baya itu mengambil air dengan gayung dan menyirami keponakannya itu berkali-kali sebelum memukul kepalanya dengan gayung.

"KURANG AJAR KAMU!!"

"NGACA KAMU! SIAPA LAGI YANG MAU SAMA PEREMPUAN KAYAK KAMU! SYUKUR KAMU DILAMAR SAMA PAK SAPTO!"

"SETIDAKNYA KAMU MIKIR UNTUK BALAS JASA AKU YANG UDAH BESARIN KAMU! KAMU PIKIR AYAHMU YANG LARI ITU PEDULI SAMA KAMU?! IBUMU UDAH MATI, MENTARI! UDAH MATI! SEMUA KELUARGA KAMU GAK ADA YANG MAU TINGGAL SAMA BEBAN KAYAK KAMU!"

Hari itu menjadi salah satu hari terburuk bagi Mentari. Dia disika sampai meninggalkan luka psikis dan fisik yang cukup banyak sampai membuatnya sulit untuk berdiri. Berakhir dirinya dikunci di dalam kamarnya dengan tubuh penuh luka. Seharian menahan lapar dan haus dengan tubuh yang terkulai lemas.

***

Langit dan teman-temannya baru saja selesai memasang pemberitahuan larangan buang sampah sembarangan di beberapa titik.

"Kita di kampus gak bisa ngecat dan buat pemberitahuan dari kayu. Kerjaan kita mikir doang. Giliran di desa, harus bisa semuanya. Keahlianku bertambah," ujar Lista yang wajahnya masih dipenuhi oleh keringat itu.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang