Menjalani Pekerjaan Pertama

5.1K 446 4
                                    

Langit mulai menjalani pekerjaan pertamanya dengan semangat. Dia fokus menyelesaikan tugas akhirnya di kampus sejak pagi, sorenya kembali ke kos untuk mengambil makan malamnya, dan sebelum waktu maghrib, dia berangkat ke Rumah Sakit Citra Husada.

Lantaran tak memiliki kendaraan dan menghemat pengeluaran untuk naik kendaraan umum, dia jalan kaki dan sesekali berlari menenteng bekal makan malamnya menuju rumah sakit yang jaraknya tujuh kilometer dari kosnya itu. Capek jangan ditanya, tapi tak dihiraukannya.

Dia akan Shalat Maghrib terlebih dahulu di masjid sebelum ke rumah sakit untuk bertugas menggunakan rompi juru parkir.

Saat shalat Isya, dia diizinkan untuk shalat dan makan malam terlebih dahulu sebelum kembali bertugas.

Ternyata malam hari cukup banyak pengunjung, meskipun tak sebanyak siang hari. Mungkin ini yang membuat tak banyak juru parkir yang ingin jaga malam, karena pendapatannya tak sebanyak saat siang hari.

Apakah Langit bisa mengatur parkir? Tentu tidak. Dia tak ada pengalaman untuk itu. Hanya saja, berbekal mempelajarinya dari internet dan mengamati juru parkir di supermarket  yang berada di dekat kampusnya, dia mulai menerapkannya dengan baik saat bekerja.

Dia butuh uang agar Mentari tak kesulitan. Jadi di otaknya adalah bagaimana dia bisa melakukan pekerjaannya itu? Bukan perkara bisa atau tidak.

Apakah dia malu? Tentu ada perasaan malu pada dirinya, apalagi Citra Husada cukup terkenal. Beberapa wajah yang tak asing kerap dilihatnya di sana.

Pernah dia bertemu teman sekelasnya yang langsung berpura-pura tak mengenalnya, lantaran malu memiliki teman seorang juru parkir, padahal apa yang dilakukan Langit adalah pekerjaan halal. Langit ingin menyapa temannya itu, tapi temannya membuang muka lebih dulu. Seolah mengisyaratkan tak ingin disapa.

Belum lagi saat bertemu Natasya. Gadis yang sekelas dengannya dan sempat sakit hati karena tak ditunjuk mewakili prodi untuk sebuah kompetisi saat mereka masih semester 3. Langit yang justru ditunjuk, padahal Natasya sudah berusaha memberikan persiapan yang terbaik. Alhasil dia masih dendam dan tak suka pada Langit.

Tiba-tiba dia menurunkan kaca mobilnya saat sudah berada di dekat Langit.

Gadis berambut sepundak itu menatap Langit dengan tatapan merendahkan. "Sekarang udah jadi tukang parkir? Katanya dapet beasiswa. Oh ... buat biayain istri, ya? Makanya sebelum nikah itu mikir! Gak bisa tahan hawa nafsu sih. Maunya nikah cepet biar bisa cepet gituan, kan?" Dia tertawa mengejek sebelum membuang uang parkirnya keluar dan dipungut Langit di aspal.

Wajah Langit sampai merah padam menahan amarah, tapi ada kesedihan yang menjalar di hatinya saat menatap mobil hitam yang sudah berlalu itu. Dia tak menyangka Natasya akan sebenci itu padanya dan tak menyangka akan berada di posisi itu.

Namun, dia berusaha tetap kuat saat ingin patah semangat.

Karakter para pengunjung pun bermacam-macam. Ada yang sudah diminta parkir di tempat yang seharusnya, malah tak mau dan bersikap arogan.

"Lah, kok lo ngatur gue?! Gue kan bayar lo!" bentak salah satu pengendara sepeda motor.

Alhasil Langit yang harus memindahkan motor itu ke tempat yang seharusnya. Dia tak hati-hati sampai kakinya terkena knalpot yang masih panas.

"A ...." Dia meringis kesakitan. Saat melihat dekat mata kakinya, sudah ada bekas kemerahan yang cukup besar. Dia ingin menangis lantaran sangat perih, tapi kendaraan lain masih berdatangan. Tak ada waktu bahkan untuk duduk. Sehingga dengan sedikit tertatih, dia tetap menjalankan tugasnya.

Ada juga yang tak mau membayar biaya parkir.

"Tunggu, ya." Pria paruh baya itu berpura-pura mencari uang di saku celananya. Saat Langit sejenak melirik ke samping, dia langsung pergi secepat kilat bersama motornya. Tak mau membayar biaya parkir yang tak seberapa itu.

Menjadi juru parkir membuat Langit paham, bahwa tak semua manusia akan bersikap baik padanya. Meskipun dia sudah berusaha melakukan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya.

Belum lagi saat cuaca hujan. Langit tak memiliki mantel, tapi rela basah kuyup untuk mengatur kendaraan yang keluar dan masuk.

Dia baru berhenti bekerja saat pukul sembilan malam. Biasanya dia akan menuju ruangan paling belakang tempat kamar mayat berada.

Tugasnya adalah membersihkan koridor sunyi di kamar mayat itu dan berjaga di depan ruangan itu sampai pukul sepuluh malam. Sebelum mematikan lampu dan tidur di kursi panjang yang berada di samping kamar mayat.

Lorong itu sangat dingin, gelap, dan sunyi. Beruntung Langit memang tak takut pada hantu alias permainan setan yang membuatnya masih bisa tertidur lelap sendirian di lorong itu. Meskipun kerap bangun tengah malam.

"Hah ...." Dia bangun lagi saat pukul dua belas malam lantaran mendengar suara kucing yang bersahutan di atap. Entah kucing dari mana, yang jelas Langit sangat terganggu padahal lelah bekerja. Ingin kembali tidur tapi tetap saja suara kucing sangat mengganggunya.

Mendadak dia membuka mata dan entah kenapa mengenang kejadian saat ibunya dipukul oleh ayahnya sampai berdarah di depan matanya. Pemandangan yang terasa sangat menyakitkan.

Setelah itu dia harus melihat ayah dan ibu tirinya bertengkar dengan ibunya dan mengambil beberapa barang berharga milik ibunya. Tak peduli pada ibunya yang memohon agar mereka tak melakukannya.

Sejak usia dua belas tahun, ibunya yang harus bekerja keras membuka katering agar dapat membiayai hidup mereka. Keluarga besar ibunya bahkan mengucilkannya dan menganggap ibunya sebagai aib dalam keluarga, lantaran menjadi janda.

Ibunya susah payah menawari dagangan dari pintu ke pintu, mendengar celaan tetangga yang membuat hati terluka, dan berusaha bertahan sekuat tenaga.

Sering dia melihat ibunya menangis saat tengah malam di dapur. Wajahnya terlihat sangat keletihan.

Rangkaian kenangan itu yang membuat Langit meneteskan air mata. Dia baru tahu, bahwa keadaan yang dihadapi oleh ibunya sangat sulit dan mencari uang ternyata tak semudah itu. Banyak pengorbanan yang telah dilakukan ibunya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar tanda panggilan masuk. Langit tersenyum saat mendapati panggilan dari ibunya. Entah bagaimana ibunya bisa menelepon saat tengah malam, saat dia tengah merindukannya.

Setelah mengucapkan salam, Kartika berkata, "Maaf ya, Ibu ganggu istirahatnya, Nak. Kamu baik-baik aja kan di sana?"

Pertanyaan itu sangat sederhana, tapi entah kenapa air mata Langit semakin membanjiri pipinya. Dia berdeham sebentar mengatur suaranya agar ibunya tak mengetahui, bahwa dia tengah menangis.

"Ibu?"

"Iya, Langit?"

"Langit rindu banget dengan Ibu. Rindu banget. Terima kasih untuk semuanya, ya, Bu. Langit sayang Ibu." Air matanya semakin deras.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang