From Zero To Hero

6K 475 10
                                    

"Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mudahkan, Mas. Tetap semangat ya. Setelah itu kita makan bersama makanan kesukaan Mas saat Mas pulang."

Langit tersenyum membaca pesan dari istrinya sebelum membalas cepat. "Aamiin. Terima kasih, Sayang."

Hari ini dia akan melakukan sidang skripsi dan tengah duduk di depan ruangan tempat pelaksanaan sidang. Menunggu namanya dipanggil.

Dari kejauhan muncul Bayu dan Togar. Dua orang yang masih mau menganggapnya sebagai teman dan membantunya dalam banyak keadaan.

Bayu mendekat dan langsung mengecek penampilan Langit yang sudah berkemeja putih dilapisi jas hitam rapi. Itu jasnya yang dipinjamkannya kepada Langit.

"Oke, kau ini mahasiswa Teknik Sipil atau pegawainya perusahaan industri migas?" tanya Togar yang membuat mereka tertawa bersama.

"Belum seleksi, Bang," ujar Langit menenangkan dua pria yang sudah berapi-api mendukungnya itu. Dia tak pernah mengatakan bahwa dia akan ikut seleksi, tapi dua pria itu sudah dapat menebak, dia akan ikut di dalamnya.

"Ya, kita doakan lulus, Langit. Semangat. SEMANGAT LANGIT!" teriak Bayu sambil mengepalkan tangan yang diikuti sahutan dari Togar yang tak kalah membahana. "SEMANGAT LANGIT!"

Langit sampai tertawa kecil. "Terima kasih, Bang Togar dan Bayu."

"Semangat, semangat, semangat."

Tiba-tiba namanya sudah dipanggil oleh Dr. Izzah untuk masuk ke dalam ruang sidang skripsi.

Langit memasuki ruang sidang itu dengan langkah berani. Kali ini dia tak gugup saat melihat dewan penguji dan pembimbingnya. Satu tahun lebih adalah waktu yang sangat panjang untuknya dalam pengerjaan skripsi, dan dia tak pernah takut lagi semenjak gagal wisuda pada tahun sebelumnya. Mentalnya sudah terbentuk dari setiap kesulitan yang dialaminya.

Setelah diberikan kesempatan, dia mulai memaparkan tugas akhirnya.

Cukup lama Bayu dan Togar menunggu di luar sebelum Langit keluar dari pintu ruang sidang dengan ekspresi datar membuat keduanya sontak berdiri dengan panik.

Mereka melihat Langit dengan tegang dan pria itu tetap terdiam.

"Gimana? Kamu baik-baik aja, Langit?" tanya Bayu dengan khawatir.

"Kalau masih gagal, biasa aja kau! Aku aja udah mau semester 14 bahagia aja menjalani hidup." Togar berusaha menenangkan.

Perlahan bibir Langit terangkat membentuk sebuah senyum simpul. Senyum khasnya. "Alhamdulillah. Beres."

"Alhamdulillah ...."
"UUUUUUUUUUU ...."

Dua orang itu langsung menghambur ke pelukannya. Bukan mereka yang sidang, tapi mereka yang ikut bahagia.

Hari-hari selanjutnya, Langit cepat melakukan revisi pada skripsinya, karena satu bulan kemudian, dia akan mengikuti seleksi dari perusahaan.

Masalah baru muncul saat dia harus membayar biaya untuk pendaftaran wisuda. Biayanya cukup besar dan dia tak memiliki uangnya.

"Mas daftar wisuda deh," ucap Mentari sebelum duduk di samping suaminya yang tengah membaca itu.

Langit menghela napas. "Mas belum ada biayanya. Insyaallah nanti Mas doa dan usaha dulu deh buat dapat biayanya."

"Ibu pernah bilang sama aku di telepon, kalau nanggung biaya orang yang masih sekolah itu, harus bener-bener jaga-jaga. Karena selalu ada kebutuhan yang gak terduga. Makanya aku nabung, Mas. Alhamdulillah aku ada uangnya kok. Mas gak usah khawatir."

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang