Jalan + Berita

5.7K 465 2
                                    

Hidup Langit jauh dari main-main. Saat anak muda seusianya masih bisa nongkrong bersama teman-teman mereka, dia tak dapat lagi seperti itu karena sibuk bekerja.

Terkadang dia sedikit sedih saat melihat tamu yang masih muda datang ke restoran bersama dengan teman-teman mereka. Melihat mereka bercanda dan bisa bersantai lama. Berbeda dengannya yang harus berjam-jam mondar-mandir mengenakan seragam karyawan restoran, harus menahan panasnya api berjam-jam saat membantu bagian produksi di dapur, dan seluruh badannya terasa sangat sakit saat pulang kerja.

Dia juga masih harus menyelesaikan skripsinya, melakukan konsultasi dengan pembimbingnya, belajar di lorong dapur restoran saat jam istirahat, serta berlatih keras untuk seleksi dari perusahaan dengan bekerja sukarela di ruang VIP saat jadwal liburnya. Tak ada libur sama sekali.

"Apa Mentari juga capek, ya?" batinnya bertanya-tanya.

Pada saat seperti itu, dia lebih memikirkan Mentari daripada dirinya sendiri. Mentari juga berjuang dalam banyak hal selama menikah dengannya, pikirnya.

Tiba-tiba dia teringat nasehat mendiang Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie yang merupakan Presiden Republik Indonesia ke-3. Dalam sebuah wawancara bersama Samsung Electronics Indonesia, Eyang Habibie pernah berkata, "Tidak ada gunanya Anda IQnya tinggi, tapi pemalas, tidak memiliki disiplin, forget it! Yang penting adalah Anda sehat, mau berkorban untuk masa depan yang lebih cerah, dan Anda konsisten, bekerja keras, berdisiplin."

"Aku gak boleh menyerah dan kalah dengan rasa jenuh. Harusnya aku bersyukur dengan semua pertolongan dan kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sampai saat ini. Bukan mengeluh," batinnya.

Setelahnya dia keluar untuk membuang sampah di tong sampah yang berada di belakang restoran. Tak sengaja dia menangkap keberadaan pasangan lanjut usia yang tengah duduk berhadapan dan tertawa bersama di sebuah rumah makan yang berada di seberang jalan.

Entah kenapa dia ikut tersenyum dan teringat Mentari. Pasangan lanjut usia itu saja masih ada waktu untuk berdua, tapi dia tak pernah ingat pernah mengajak Mentari jalan dan menikmati waktu berdua. Rupanya mereka memang belum pernah jalan bersama semenjak menikah.

Alhasil saat kembali masuk ke restoran, dia memutuskan untuk mengambil jadwal liburnya satu hari dalam pekan itu.

"Saya malah senang kalau kamu mau libur. Bekerja itu baik, Langit. Tapi sesuatu yang baik, kalau terlalu berlebihan juga gak bagus. Ada waktunya kerja, ada waktunya ibadah, ada waktunya bersama dengan keluarga kita, bahkan waktu untuk diri kita sendiri," ujar Pak Slamet saat Langit meminta izin untuk mengambil hari liburnya.

***

"Terima kasih, Bu," ucap Mentari dengan ramah pada wanita paruh baya yang datang membeli dagangannya itu.

Langit tak dapat menahan senyum saat melirik dari samping menatap wajah istrinya itu. Cantik alami, baik hati, lemah-lembut, tapi juga tegas dan kuat di saat yang sama, pemalu tapi juga berani pada waktu yang tepat, pikirnya. Dia terpana.

Setelah menemani dan membantu Mentari berjualan, mereka kembali ke dalam kos. Mentari ingin mencuci semua peralatan masak yang digunakannya untuk membuat nasi uduk, tapi pergelangan tangannya ditahan lebih dulu.

"Ada apa, Mas?" tanya Mentari.

"Biar Mas aja dik."

Mentari menggeleng. "Ini gak banyak kok, Mas. Biar aku aja. Mas istirahat. Hari ini kan waktu liburnya, Mas."

"Mas aja."

"Oke kalau gitu, Mas."

Namun, pergelangan tangan Mentari belum juga dilepas, membuat gadis itu heran.

"Ada lagi, Mas?"

"Hari ini Mas pengen berdua aja sama adik. Boleh gak kita jalan berdua?"

Sejenak Mentari terpaku lantaran terkejut. "Beneran?"

Langit mengangguk. "Mau?"

Seketika Mentari tertawa kecil. "Mau banget." Dia langsung memeluk pinggang Langit erat-erat sambil terus tertawa bahagia.

Langit ikut bahagia, tapi juga sedikit bersalah karena tak pernah mengajak Mentari jalan berdua.

Alhasil setelah membersihkan diri, keduanya jalan-jalan. Main ke kebun binatang, makan bakso langganan Langit yang terkenal enak, bercerita banyak hal berdua sambil sesekali tertawa pelan di transportasi umum. Sangat membahagiakan bagi keduanya yang merasa sangat cocok. Satu frekuensi.

Mereka berakhir di toko pakaian khusus muslimah untuk membelikan Mentari pakaian yang diinginkannya.

Sebenarnya Langit sengaja ingin mengenalkan Mentari pada pakaian yang menutup aurat, tapi tak disangka Mentari justru antusias menunjuk salah satu jilbab berbahan wolfis berwarna biru gelap saat mereka berada di depan rak jilbab.

"Aku udah lama banget pengen menurut aurat, Mas. Aku pernah denger ceramah tentang menutup aurat waktu masih di desa. Selama ini aku merasa bersalah karena belum punya uang buat beli pakaian yang lebih menjaga aurat. Itu yang membuat aku belum pakai jilbab walaupun selama ini Mas udah sering bilangin tentang jilbab. Maaf, ya, Mas."

Ya, selama ini saat tengah berdua, Langit memang selalu mengingatkan Mentari dengan baik tentang kewajiban menutup aurat, tapi Langit tak tahu, bahwa sejak dulu Mentari memang sangat ingin menutup aurat.

Langit tersenyum. "Mas yang minta maaf, karena selama ini hanya ingetin tapi gak pernah beliin. Maaf, ya. Dan, adik itu cantik dalam semua keadaan, apalagi kalau menutup aurat. Mas sangat senang dan mendukung. Lagian pakai jilbab itu perintah agama kita buat perempuan. Hari ini kita beli pakaian yang menutup aurat, ya. Mas ada uangnya kok."

Pada akhirnya hari itu Mentari membeli pakaian yang menutup aurat untuk dirinya. Saat pertama kali mencoba memakai jilbab, dia justru menangis. Berbeda saat Langit melihatnya malah terpana lantaran istrinya sangat cantik mengenakan jilbab.

"Masyaallah. Cantiknya," puji Langit membuat senyum Mentari mengembang.

***

Dua pekan kemudian, Langit pulang dengan senyum semringah.

"Aku punya berita dik," ucapnya saat berhadapan dengan istrinya yang tengah berekspresi mendung itu.

"Aku juga punya berita, Mas."

Langit mengerutkan dahi. "Kenapa istriku kelihatan sedih?" Dia menuntun Mentari untuk duduk di pinggir kasur. "Ada apa dik?"

"Mas duluan aja sampaikan beritanya."

Langit langsung tersenyum cerah. "Oke. Alhamdulillah skripsiku udah disetujui untuk sidang dik."

"Alhamdulillah ...."

Keduanya langsung berpelukan erat. Mentari menahan tangisnya dan terus menahan punggung pria itu agar tak melepaskan pelukan mereka.

"Aku juga punya berita, Mas."

"Apa itu, Sayang?"

"Aku ...."

Langit semakin penasaran. "Iya dik?"

"Aku ... aku hamil, Mas."

Hening.

Sontak Langit terdiam membuat Mentari cemas.

"Aku udah periksa ke dokter. Kata dokter begitu. Maaf, ya, Mas." Entah kenapa dia khawatir Langit tak suka dengan berita itu. Mungkin berpikir dengan memiliki anak, hidup mereka akan lebih sulit karena bertambah satu tanggungan.

"Alhamdulillah," ucap Langit setelah terdiam beberapa saat lantaran terkejut. Perasaan bahagia dan haru bercampur menjadi satu di dadanya. "Insyaallah aku akan jadi ayah."

Seketika ekspresi sedih Mentari berubah menjadi senyum haru. "Insyaallah aku akan jadi ibu." Dia menangis.

Perlahan Langit melepas pelukannya dan menatap wajah istrinya dalam-dalam dengan mata berkaca-kaca. "Alhamdulillah aku sangat bahagia. Sangat bahagia dik. Insyaallah kita harus lebih banyak belajar untuk menjadi calon orang tua yang baik dan aku harus lebih giat bekerja. Gak usah khawatir soal rezeki dik. Setiap anak memiliki rezekinya masing-masing. Untuk semua ini, terima kasih, Sayang." Dia mengecup dahi wanitanya dengan lama.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang