Pulang Bersama Mentari

5.2K 418 1
                                    

Mentari memilih pergi mengikuti Langit. Meninggalkan kampung halamannya untuk bersama dengan pria yang ingin menolongnya, tapi tak pasti akan menepati janji. Satu-satunya yang dia tahu, bahwa hatinya yakin Langit pria baik-baik.

Para warga mungkin berpikir dia gadis terbodoh bahkan sudah gila, lantaran memilih percaya dan pergi dengan orang asing yang bukan keluarga ataupun kerabatnya.

Terlebih dia tak membawa uang sepeser pun. Bahkan pakaian hanya yang ada di badan dan beberapa pakaian yang diberikan oleh Karina sebelumnya. Dia seperti membawa dirinya seorang diri untuk bertarung dengan kehidupan Jakarta.

Sebelum kembali ke kota, Langit mengajaknya untuk pergi ke kampung halamannya di Sukabumi untuk menemui ibunya. Mereka hanya pergi berdua. Benar-benar hanya berdua.

Dalam hati Langit merasa sangat bersalah. Sejak awal dia telah banyak melanggar hal yang menjadi prinsipnya. Dari bertatap-tatapan dengan Mentari saat mengantarkan gadis itu pulang setelah mengembalikan kemejanya, menyentuh dan menggendong gadis itu secara langsung pasca terluka dipukul oleh Arumi sampai pergi jauh hanya berdua sementara mereka bukan mahrom.

Pantas saja saat keduanya sampai di depan rumah Langit, banyak ibu-ibu yang merupakan tetangganya terkejut mendapati Langit pulang bersama seorang gadis. Mereka langsung bertindak bak CCTV.

Kartika menyambut putranya di depan pintu rumah, tapi sedikit tak nyaman begitu mendapati kehadiran seorang gadis berpenampilan sederhana di samping putranya. Setelah melepas pelukannya, dia melirik Mentari dengan sedikit anti.

"Ini siapa Langit?"

"Oh ... ini Mentari, Bu."

"Siapanya kamu?" Kartika khawatir lantaran tahu kecepatan gosip di kalangan ibu-ibu yang tersiar sangat cepat.

Mentari menunduk dalam.

"Mentari ini ...." Langit merasa momennya tak tepat untuk menyampaikan maksudnya. "Insyaallah nanti Langit jelasin, Bu." Dia menoleh sebentar. "Mentari? Ini ibuku."

"Bu ...." Mentari mengulurkan tangan untuk bersalaman dan Kartika menyambutnya, tapi hanya sebentar sebelum buru-buru wanita paruh baya yang mengenakan hijab segi empat berwarna cokelat itu menarik kembali tangannya.

"Yuk kita masuk dulu. Ibu udah masakin banyak makanan kesukaan kamu, Langit."

Langit mengangguk sambil tersenyum. "Baik, Bu. Ayo Mentari."

Perasaan Mentari mendadak tak enak saat diminta masuk ke rumah yang didominasi warga putih itu.

Benar saja, sepanjang pembicaraan, Kartika sama sekali tak mengajak Mentari untuk berbicara. Dia membiarkan gadis itu ikut makan, tapi tak memberikan sikap hangatnya sebagai tuan rumah. Entah kenapa dia merasa ada yang janggal dan Mentari tak seharusnya datang bersama putranya.

Setelah makan dan cukup tenang, Langit mengajak ibunya berbicara berdua di taman belakang rumah mereka.

"Bu? Langit sangat menyayangi Ibu. Ibu adalah orang tua yang luar biasa untuk Langit. Dengan segala kerendahan hati, izinkan Langit menyampaikan sesuatu," ucapnya dengan suara lembut dan sopan.

Kartika mengangguk. "Apa yang mau kamu bicarakan Nak?"

"Langit ... mau menikahi Mentari, Bu."

"Hah?" Beberapa saat Kartika tak dapat berkata-kata. Dia masih menyangka bahwa putranya tengah bercanda, tapi melihat raut wajah Langit yang teramat serius membuatnya terkejut. "Maksud kamu gimana, Nak?"

"Langit sangat menghargai, Ibu. Langit mengaku salah gak berkonsultasi dengan Ibu saat mengambil keputusan ini. Tapi ... Langit benar-benar ingin menikahi Mentari, Bu."

Raut wajah Kartika masih tak percaya. "Kamu ... kamu udah tidur sama dia?"

Langit menggeleng cepat. "Ibu mendidik Langit untuk menghargai wanita dan gak menganggap wanita hanya sebagai pelampiasan nafsu. Sebagai muslim, gak boleh berzina. Tidur dengan wanita hanya boleh jika sudah menikahinya secara sah."

"Tapi ... tapi kenapa Langit mau menikah dengan Mentari? Kenapa bawa dia ke sini tanpa bilang dulu ke Ibu?"

"Langit gak bermaksud mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dulu, tapi Mentari butuh ditolong saat itu, Bu. Langit bertemu dia di desa tempat Langit KKN."

Langit mulai menjelaskan semuanya secara detail pada ibunya dengan suara lembut. Semuanya dari awal dia bertemu Mentari sampai akhirnya dia memilih membawa Mentari ikut bersamanya. Tapi tetap saja, Kartika tak terima.

"Kenapa harus kamu yang bertanggungjawab? Kenapa bukan orang lain aja Langit? Kenapa? Ibu gak bisa izinin kamu. Kamu itu masih kuliah, Langit. Belum bekerja. Mau dikasih makan apa anak orang? Kamu juga masih muda, masa depan kamu juga Insyaallah masih panjang, dan kamu gak bisa menikah dengan perempuan yang gak jelas asal-usulnya seperti itu. Apa kata orang?"

Mentari dapat mendengar ucapan itu, lantaran suara Kartika meninggi sampai terdengar di dalam kamar yang ditempatinya. Seketika perasaannya campur aduk. Dia bahkan sampai menangis dalam diam, karena merasa hatinya sakit mendengar rangkaian kalimat itu.

"Ibu ... maafkan Langit kalau lancang. Langit gak bermaksud menggurui. Ibu tentu lebih tahu, bahwa rezeki itu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, Bu. Allah Ta'ala yang memberi makan kepada kita semua. Insyaallah Langit akan berusaha bertanggungjawab."

Kartika tetap menggeleng. "Gak. Ibu gak bisa izinin kamu. Kamu gak tahu dunia pernikahan. Menikah itu sesuatu yang serius, bukan ajang main-main. Kamu harusnya belajar dari pisahnya ayah dan ibu. Lagian kamu juga dikit lagi udah mau selesai kuliah. Kamu harus konsentrasi. Bukan mikirin cari nafkah untuk perempuan yang seharusnya bukan tanggung jawab kamu!" tegasnya tak ingin dibantah. "Ibu gak mau tahu, Langit. Bawa perempuan itu kembali ke rumahnya! Bukan kewajiban kamu untuk menolong dia."

"Bu ... dia mengambil keputusan yang besar untuk ikut aku ke sini. Kalau dia pulang, itu akan sangat berbahaya untuk dia. Sebagai orang yang memiliki hati nurani, apa aku akan biarkan itu terjadi dan menganggap semua penderitaannya itu sebagai hal biasa?"

"Tapi kenapa harus kamu Langit? Ibu gak mau punya menantu kayak dia! Kenapa kamu gak mikirin perasaan ibu?! Kamu pulang bawa kebahagiaan dan berita sedih untuk ibu."

Langit menunduk dengan perasaan bersalah. "Maafkan Langit, Bu. Maafkan Langit."

"Apa gak ada cara lain untuk nolongin dia?"

Sejenak Langit terdiam.

"Aku bilang aku akan menikahi dia, Bu."

Kartika menghela napas dan kedua tangannya naik memegang kepalanya. Rasanya dia merasa sangat kacau memikirkan semuanya.

Tak lama putranya itu memegang kedua tangannya dan berbicara dengan suara lembut, "Bu ... aku udah menyaksikan ayah memukul ibu sejak kecil dan aku gak bisa berbuat apa-apa saat itu. Bertahun-tahun aku harus menyaksikan semua penderitaan ibu dan aku gak bisa berbuat apa-apa sampai hari ini. Semua itu membekas di diriku. Setiap aku melihat Mentari diperlakukan gak adil, aku melihat bayang-bayang ibu. Aku gak tega, Bu harus mengulang semuanya untuk kedua kalinya."

Tiba-tiba air mata Kartika menetes begitu saja membasahi kedua pipinya. Dia menarik kedua tangannya dan memeluk putranya dengan erat. "Ini pasti berat untuk kamu, Langit. Maafkan Ibu ...."

Pembicaraan itu berakhir tapi belum menemukan persetujuan. Kartika masih membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya.

Namun, saat mereka kembali ke dalam rumah, sosok Mentari tak lagi ada di kamarnya. Gadis itu sudah pergi tanpa meninggalkan sebuah pesan.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang