Bantu

6.5K 499 2
                                    

"MENTARI ...."
"MENTARI ...."

Mentari yang tengah memotong sayuran itu terkejut mendengar teriakan Arumi dari ruang tamu.

Secepat kilat dia menuju ke arah sumber suara. "Iya, Tante?" tanyanya sambil menunduk menahan takut.

Wajah Arumi merah padam. "Kata Slamet, kamu ke Balai Desa?!" tanyanya dengan nada ketus.

Deg

Jantung Mentari berdebar kencang, napasnya mulai tak beraturan, dan keringat mulai muncul di pelipisnya.

"Katanya juga kamu bicara sama salah satu anak cowok yang KKN di sana?!"

Belum menjawab, tangan Arumi sudah naik dan mendorong kepalanya dengan kuat sampai dirinya terjatuh dengan posisi kepala membentur pegangan sofa dari jati.

Prak

Mentari langsung bangkit untuk duduk dengan cepat tanpa menghiraukan rasa sakit di kepalanya. "Maaf, Tante. Aku gak bermak--"

Prak

Kepalanya kembali didorong dengan keras sampai membuatnya terkapar ke lantai.

"AKU KASIH MAKAN KAMU CUMA BUAT GODAIN MAHASISWA KKN?! IYA?!"

"Genit banget jadi cewek! Kayak cantik aja!" ujar Rissa yang baru muncul untuk mendukung aksi ibunya. "Mahasiswa-mahasiswa itu dari kota. Mereka sukanya sama cewek yang cantik, bukan gadis kampung kayak kamu!"

Mentari hanya duduk sambil menunduk dalam menyembunyikan wajahnya di balik anakan rambutnya.

"Tante ... aku ke Balai Desa untuk--"

Belum selesai Mentari menyelesaikan ucapannya, Rissa sudah melotot ke arahnya.

"Eh, udah berani jawab, ya!"

Plak

Arumi langsung menampar pipi kanan keponakannya itu dengan keras yang membuatnya kembali terkabar ke lantai. "Ini peringatan pertama dan terakhir buat kamu, ya! Kalau sampai aku lihat kamu ngobrol sama mahasiswa-mahasiswa KKN itu, aku hajar kamu!" ancamnya.

Arumi dan Rissa langsung memilih duduk dengan santai di atas sofa ruang tamu.

"Ngapain masih di situ?! Buat makan siang!" bentak Rissa membuat Mentari bangkit dengan cepat dan bergegas ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasak tanpa sedikit pun air mata. Dulu dia sering menangis saat diperlakukan dengan kasar, tapi karena sudah terbiasa, dia merasa dirinya pantas untuk itu.

***

Pagi itu Langit, Bayu, Bella, dan Siti mampir ke pasar untuk membeli bahan makanan. Seperti biasa, Langit dan Bayu harus pasrah menjadi tim pemegang barang belanjaan. Sedangkan dua gadis di hadapan mereka sepertinya sangat santai melihat daging ayam segar yang tengah dipotong di hadapan mereka.

"Eh, di sini murah-murah banget, ya. Coba kalau di kota, harganya bisa dua kali lipat." Siti geleng-geleng sebelum membenarkan hijab biru gelapnya itu.

Bella mengangguk. "Kayaknya masyarakat sini juga gak belanja bahan makanan terlalu banyak kayak kita. Mereka punya hasil kebun dan ternak ayam sendiri tahu. Mungkin itu yang buat harga pasarannya gak semahal kayak di kota."

"Aduh ... udah belum sih? Berat nih," keluh Bayu yang sejak tadi menyeka keringat di dahinya.

Bella melotot. "Sabar dong! Langit aja sabar dan gak banyak ngeluh."

"Ya, karena Langit itu penyabar, rajin, gak pernah mau ngeluh dan marah-marah sama cewek. Tapi aku tebak, aslinya mah dia juga kesel pastinya. Iya kan, Langit?"

Bayu menoleh ke arah Langit meminta persetujuan, tapi temannya itu malah sedang melihat proses kelapa yang diparut menggunakan mesin parut sederhana.

"Langit?"

Langit sedikit terkejut mendengar namanya dipanggil. "Iya?"

"Kamu denger aku gak?"

"Kamu tadi ngomong--"

Belum selesai Langit menyelesaikan perkataannya, pandangan mereka sontak beralih ke arah teriakan keras yang tak jauh di belakang mereka.

"BAWA BUAH AJA GAK BECUS!" Arumi mendorong keras kepala Mentari sampai gadis itu sedikit oleng ke samping.

"Maaf, Tante." Mentari berjongkok hendak memungut apel yang sudah terjatuh ke tanah itu. Punggugnya justru ditendang menggunakan kaki membuatnya sampai terhempas dengan kasar ke tanah yang berlumpur di hadapannya itu.

"GAK USAH! AKU GAK MAU MAKAN LAGI APEL YANG KOTOR KAYAK GITU! KAMU MAKAN AJA SENDIRI!"

Langit tak percaya melihat pemandangan itu. Dia menaruh belanjaannya dan hendak mendekati gadis itu, tapi pundaknya buru-buru ditahan oleh Bayu.

"Jangan Langit! Tantenya punya preman."

Manik hitam Langit menangkap dua orang pria bertubuh gempal di samping Arumi.

"Ini demi kebaikan KKN kita, Langit. Aku gak mau KKN kita gagal karena punya masalah sama orang kayak gitu," timpal Bella dengan ekspresi panik.

"Aku di sini bukan untuk gagal." Langit melepaskan dirinya dari Bayu dan berjalan cepat ke arah Mentari yang baru bangkit dari posisi tengkurap dengan lumpur mengenai sisi wajah kanan dan seluruh tubuh bagian kanannya.

Begitu menangkap kedatangan Langit, gadis itu menggeleng pelan agar Langit tak mendekat, tapi pria itu tak mau tahu dan langsung melepas kemeja biru kotak-kotak yang dikenakannya itu menyisakan kaos polos berwarna putih.

Langit berjongkok di hadapannya dan menyodorkan kemejanya. "Mentari? Pakai ini untuk membersihkan lumpur di wajah kamu."

Mentari terpaku tak ingin menerima. Sekilas gadis itu melirik Arumi yang menatapnya dengan tajam seolah mengancamnya.

Suasana menjadi sedikit tegang. Bayu pun berusaha memberanikan diri menatap kedua preman di samping Arumi. Seperti memberi sinyal agar jangan mendekati temannya.

"Gimana nih?" Siti panik.

"Langit anak teknik. Berani mereka hajar Langit, aku telepon Bang Togar kirim tiga angkatan ke sini."

"Pakai ini, Mentari." Langit tetap bersikeras menyodorkan kemejanya ke arah gadis di hadapannya itu.

Mentari menunduk dalam menyembunyikan wajahnya. "Jangan tolong saya, Mas. Tolong pergi aja. Saya bisa kena marah tante saya," bisiknya di balik anakan rambutnya yang masih dapat didengar oleh pria di hadapannya.

Langit menoleh ke arah Arumi dan langsung bangkit untuk berjalan ke arah wanita paruh baya berambut sepundak itu dengan berani sebelum mengeluarkan dompetnya. "Berapa harga buahnya, Bu? Biar saya ganti."

Sejenak Arumi terdiam menatapnya dengan tajam. "Mentari?! Ayo pergi!"

Arumi berbalik dan berjalan menjauh. Mentari pun hendak mengikutinya, tapi ditahan Langit yang memyodorkan kemejanya itu.

"Saya bilang ambil, Mentari," tegas Langit tak ingin dibantah.

Dengan tangan bergetar, Mentari menerima sodoran kemejanya itu sebelum berjalan cepat mengikuti Arumi.

Langit hanya dapat terpaku di tempatnya, tapi tak lama gadis itu berbalik sejenak dan menatapnya sebelum benar-benar berlalu.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang