Bangkit

5.5K 466 7
                                    

Tetap kuat dan semangat dalam beribadah, serta dukungan orang-orang terdekat sangat berarti bagi Langit.

Dia melalui serangkaian pemeriksaan yang cukup memakan waktu berhari-hari sebelum Dokter Yahya menyampaikan hasilnya, bahwa dia mengidap Tuberkulosis atau TB yang menyerang paru-parunya.

"Pengobatannya bisa berbulan-bulan, Langit. Tapi kamu tenang saja, saya yang akan tanggung semuanya. Kamu harus fokus untuk sembuh. Lakukan konsultasi rutin dan konsumsi obatnya dengan benar, ya."

"Baik, Dok. Terima kasih atas semua kebaikannya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikan Dokter dan keluarga."

Dokter Yahya tersenyum. "Aamiin Ya Rabb. Doa terbaik untukmu dan keluarga juga, Langit. Atas alasan kebaikan, saya sarankan selama sebulan ini, kamu istirahat saja dulu di kos."

"Baik, Dok. Terima kasih."

Langit berusaha menguatkan dirinya saat keluar dari ruangan Dokter Yahya. Pasalnya dia pernah membaca, bahwa TB itu salah satu penyakit yang masuk dalam daftar penyebab kematian tertinggi di dunia.

"Gak. Aku harus sembuh. Ada ibu dan ada Mentari yang harus aku jaga," batinnya.

Sejak saat itu, dia bersemangat menjalani proses pengobatan. Dia tetap melakukan kontrol secara rutin setiap beberapa hari sekali. Berat badannya pun menurun drastis.

"Mas istirahat aja di rumah. Gak apa-apa. Aku kan jualan di depan. Alhamdulillah sekarang rame yang beli. Kita udah ada langganan, Mas. Buka jam enam pagi, jam delapan udah habis. Kadang orang masih pada nyariin setelah jam delapan."

Ya, nasi uduk buatan Mentari sangat memikat sampai mendatangkan pelanggan yang selalu memadati area depan kos. Pembelinya dari para penghuni kos sampai orang yang tak tinggal di kos itu. Penghuni kos yang mayoritas karyawan dan tak ada waktu untuk membuat sarapan pun merasa sangat terbantu dengan hadirnya dagangan Mentari.

Belum lagi masakannya yang terasa sangat enak dan pelayanannya yang sangat ramah, membuat pembeli selalu ingin kembali keesokan harinya.

Langit yang tengah berbaring itu tersenyum menatap istrinya yang tengah duduk di samping ranjang. "Aku udah terbiasa kerja. Kalau disuruh istirahat, rasanya aneh."

"Jadi Mas maunya gimana?"

"Aku mau kerja, tapi gak yang sampai tengah malam dan pulang pagi. Bang Togar rekomendasiin aku ke pabrik tempat kenalannya. Katanya aku coba dulu. Kalau cocok, bisa lanjut."

Mentari menghela napas. "Aku seneng, Mas kalau ada tawaran buat Mas. Tapi sekarang ini, kesehatan Mas yang terpenting buat aku. Dan, Mas gak boleh terlena. Mas itu masih mahasiswa teknik. Selesaikan apa yang udah Mas mulai. Jangan tinggalkan di tengah jalan. Aku masih bisa kerja untuk cari biayanya biar Mas bisa selesaikan kuliahnya, Mas.

"Aku bilang gini, karena aku tahu kualitasnya, Mas. Mas itu orang pintar dan diakui sama temen-temen, Mas. Aku mau Mas bisa memberikan manfaat dengan ilmu.

"Karena kuliah yang baik itu adalah kuliah yang selesai."

Seperti terkena tamparan keras di wajah, Langit tersadar dengan tugas akhir yang sudah cukup lama diabaikannya pasca dikritik oleh Profesor Tio. Dia patah semangat, tapi hari ini seperti mendapatkan motivasi baru untuk kembali menyentuh draf skripsinya.

"Mas? Kalau Mas sadar dengan kualitasnya Mas, tolong berjuang untuk ada di tempat yang tepat," ucap gadis itu sambil menatapnya dengan serius membuat Langit terpaku. Entah bagaimana istrinya itu bisa mengatakan sesuatu yang tak dipikirkan olehnya.

"Terima kasih dik. Terima kasih." Dia hanya sanggup tersenyum.

Berangkat dari obrolan itu, tiga hari kemudian Langit menuju kampus membawa draf skripsinya untuk menemui Profesor Tio. Pria paruh baya itu sampai terpaku sejenak saat mendapati kehadirannya di pintu biliknya.

"Kamu ... kenapa baru kelihatan?"

Langit tak gentar. "Saya minta maaf untuk semuanya, Prof. Insyaallah kali ini saya akan lebih baik lagi, mengikuti semua arahan dari Prof, dan saya pastikan Prof tidak akan malu tapi justru bangga saat saya sidang nanti."

Pria paruh baya itu ingin cengo. Tiba-tiba saja Langit berbicara sepanjang dan seberani itu serta masih ada nyali untuk menemuinya.

Pasalnya kebanyakan mahasiswa yang bimbingan dengannya memang sulit lulus bahkan tak lulus, lantaran tak kuat dengan sikapnya. Baru dikritik sedikit, patah semangat, tak kuat, dan memilih menyerah.

"Percaya diri sekali kamu, Langit."

"Alhamdulillah saya melalui hal yang tidak mudah, Prof. Saya melalui banyak hal yang tidak mudah yang membentuk mental saya. Profesor pasti memiliki lebih banyak pengalaman hidup yang berharga, dan saya tidak memungkiri itu. Tapi saya juga punya proses hidup sendiri yang saya hargai dan membentuk diri saya hari ini. Jadi saya tidak akan menyerah kali ini. Saya tidak mau menyerah dalam proses belajar ini. Saya tidak akan menyerah menjadi murid dari Prof."

Agak lama Profesor Tio terdiam sebelum mengangguk sekali. "Oke. Ayo kita mulai bimbingan."

Sepanjang membaca draf skripsi Langit, pria itu angguk-angguk kepala. Sudah cukup banyak hal yang diperbaiki sesuai arahannya. Bisa dibilang Langit sangat banyak belajar dari kesalahannya.

Meskipun masih ada yang dicoret dan dicoret lagi serta kesempatan disetujui untuk sidang terasa masih sangat jauh, Langit bertekad akan melalui semuanya. Karena hanya ada satu pilihan baginya yaitu tidak menyerah, pikirnya.

Perkataan ibunya terngiang di benaknya, "Dalam melalui masa muda atau beberapa fase dalam hidup, seseorang mungkin akan menghadapi kegagalan, hal yang membuatnya malu dengan orang-orang sekitar, kehilangan kepercayaan diri, diabaikan oleh orang lain, merasa bahwa semua orang beruntung selain dirinya, dan lainnya. Tapi ... semua itu harus diterima dan dijalani. Bukan protes.

"Terpenting juga, jangan pernah terpikir untuk bunuh diri. Masih banyak hal indah dan alasan untuk tetap hidup. Banyak prasangka baik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serahkan semua urusan hidup pada-Nya, dan lanjutkan hidup.

"Memang hidup itu ada kalanya senang dan ada kalanya sedih. Saat sedih, ingat masa-masa senang, ingat orang yang jauh lebih sulit hidupnya, ingat hal-hal positif. Setiap kesulitan itu ada masanya. Akan berlalu. Tetap tenang."

Setelah konsultasi Langit hendak keluar dari bilik itu, tapi Profesor Tio kembali memanggilnya.

"Langit?"

"Iya, Prof?"

Pria itu mengeluarkan sebuah lembaran dari lacinya dan menyodorkannya ke arah Langit.

"Tahun ini kampus kita bekerja sama dengan perusahaan ternama. Mereka akan merekrut tiga mahasiswa teknik terbaik untuk bergabung dengan perusahaan mereka melalui seleksi langsung di kampus ini. Kuota untuk teknik sipil hanya satu orang. Kesempatan yang sangat jauh lebih baik dari rekomendasi beasiswa dari kampus dan jadi dosen di sini. Masih ada waktu tiga bulan untuk menyelesaikan skripsimu dan mempersiapkan diri untuk seleksi."

Langit mengambil lembaran itu dan seperti menemukan sebuah mata air di tengah padang pasir. "Apa Prof yakin saya bisa diterima?"

Pria paruh baya itu mengangkat bahunya dengan ekspresi datar. "Entahlah. Saya bukan tipe pemberi kata-kata manis, tapi melihat dari kepercayaan dirimu hari ini, kenapa tidak mencoba saja? Berhasil dan gagal itu kan hal biasa."

Sontak senyum Langit mengembang. Dadanya tersulut semangat yang sangat kuat.

"Insyaallah saya akan selesaikan skripsi lebih cepat, Prof."

"Kalau begitu saya tunggu drafnya." Pria paruh baya itu terdengar menantangnya.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang