Darah

5.8K 393 3
                                    

"Buruk!" ucap Profesor Tio.

Satu kata yang sudah cukup membuat Langit merasa seluruh tubuhnya menegang saat itu juga.

Pria paruh baya itu menutup draf skripsi di genggamannya sebelum sedikit melempar benda itu kembali ke hadapan Langit.

"Buruk! Sangat jauh dari ekspektasi saya." Pria itu memijit dahinya sejenak sambil menghela napas. "Saya sudah bilang sejak awal, kamu mengambil keputusan paling buruk dengan menikah muda. Kamu fokus bekerja dan kekurangan biaya mengerjakan tugas akhirmu dan sekarang lihat, hasilnya sangat tidak menunjukkan kualitas dirimu. Sangat asal dan memalukan!"

Deg

Langit merasa jantungnya berdebar kencang lantaran khawatir. Dia sedikit menunduk karena kecewa pada dirinya sendiri.

Meskipun telah berusaha cukup keras, nyatanya dia harus mengakui, bahwa dia memang kurang dalam menggali referensi dan tubuhnya yang kelelahan akibat bekerja pun membuatnya tak maksimal dalam mengerjakan tugas akhirnya.

"Saya minta maaf, Prof."

Profesor Tio melepas kaca matanya sebelum mengangkat bahunya. "Ya, saya maafkan. Tapi saya juga minta maaf, saya tidak bisa membantu kamu untuk lulus tahun ini. Saya tidak mau direndahkan saat sidang, karena meloloskan skripsi yang tidak jelas. Apa kamu paham?" Suara pria itu terdengar tenang.

Langit terdiam sangat lama. Dia merasa dunianya seperti berhenti sejenak. Suara di sekitar seolah tak terdengar. Sesaat hanya gelap yang ada dalam pandangannya. Dia masih susah payah mencerna maksud pembimbingnya. Kabar yang tak pernah ingin didengarnya setelah berbulan-bulan berjuang.

"Coba lagi tahun depan dengan usaha yang lebih baik, Langit. Kamu mungkin kecewa, tapi saya jauh lebih kecewa. Seperti membuang-buang waktu membimbing kamu dan berharap kamu bisa menyelesaikan semuanya seperti ekspektasi saya. Memang tidak baik, ya, perihal berharap kepada manusia.

"Tidak lulus tahun ini juga membuat kamu mungkin kehilangan kesempatan mendapat rekomendasi kampus untuk melanjutkan studimu. Bagaimana kamu bisa menjadi dosen dan mengajari mahasiswa kalau kualitas skripsimu saja seperti ini?"

Langit terdiam sangat lama. Pandangannya kosong. Begitu keluar dari ruangan Profesor Tio, dia merasa sangat kesepian, menjadi orang gagal, dan bodoh. Dia merasa semua perjuangannya selama ini sia-sia.

Sekuat-kuat dirinya sebagai laki-laki, dia juga tak dapat menahan kesedihannya yang begitu mendalam. Keinginannya untuk lulus tepat waktu agar segera memperoleh pekerjaan yang layak dan membahagiakan ibu dan istrinya melayang entah ke mana. Dia merasa sangat buruk hari itu sampai bisikan untuk bunuh diri pun ikut terngiang di benaknya. Secepat kilat ditepisnya dengan istigfar dan dia memutuskan ke masjid. Berdoa mengadukan semua kesedihan dan kekecewaannya serta beban yang memberatkan pundaknya.

Memasuki waktu shalat Dzuhur, Langit ikut shalat berjamaah di masjid kampus. Dia merasa tubuhnya sangat lemas saat berdiri untuk shalat. Dia pikir karena banyak menangis, tapi saat tengah berdzikir, sesuatu dalam dadanya seperti ingin keluar dari tubuhnya.

Sontak dia berjalan cepat keluar dari masjid dan menuju toilet pria. Benar saja, dia batuk beberapa kali dan mengeluarkan darah cukup banyak dari mulutnya. Kepalanya terasa sangat pusing. Tangannya berusaha memegang dinding toilet mencari pegangan agar tetap kuat berdiri. Dia bahkan berpikir, dia akan wafat hari itu.

***

Mentari menanti suaminya di pintu kos. Saat melihat suaminya yang baru muncul di pagar kos itu, dia langsung tersenyum.

Langit pun membalas senyumnya. Tampak seperti tak ada masalah, tapi entah kenapa Mentari melihat wajah pria itu sangat pucat.

Setelah saling mengucapkan dan menjawab salam, Mentari langsung bertanya, "Mas lagi sakit?"

Langit menggeleng pelan masih dengan senyum khasnya. "Gak. Alhamdulillah Mas baik-baik aja dik. Paling cuma sedikit kelelahan."

Namun, Mentari masih merasa perasaannya tak enak.

"Kalau lelah, boleh gak hari ini gak usah kerja? Biar istirahat di rumah aja dulu, Mas."

Langit menggeleng. "Mas harus kerja dik. Gak apa-apa."

Sore itu Langit tetap berangkat kerja seperti biasanya. Meskipun saat di tengah perjalanan, dia batuk-batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Dia tetap tak peduli dan pergi ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya seperti biasa. Berusaha tak menghiraukan kelelahan yang terasa di sekujur tubuhnya dan hati yang masih dilanda kekecewaan yang sangat dalam. Diam-diam dia ingin meminta maaf kepada Kartika dan Mentari.

"Langit?"

Langit yang baru selesai melakukan pekerjaannya membersihkan lorong kamar mayat itu mendongkak mendapati Bayu di ujung lorong.

"Bayu? Kok bisa di sini?"

"Sepupuku dirawat di sini. Aku yang jaga, karena om dan tanteku lagi di luar kota. Kamu udah makan?"

Langit menggangguk. "Alhamdulillah udah, Bayu. Mentari buatin aku bekal."

"Wah yang punya istri pamer nih ceritanya?"

Keduanya tertawa.

"Gak lah. Aku cuma beritahu aja."

Keduanya memutuskan bercerita banyak hal dan Bayu sedikit aneh karena Langit lebih sering batuk. Sesekali menutup mulutnya agak lama.

"Langit? Kayaknya kamu harus cek kesehatanmu. Kamu batuk-batuk."

"Gak apa-apa, Bayu."

Langit memikirkan biaya kesehatan yang tentu tak murah, sehingga dia mengurungkan niatnya untuk menemui dokter.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang