Perkara Sarapan

5.8K 435 4
                                    

Seperti beruntun, kehabisan beras diikuti kehabisan minyak tanah, listrik, dan air minum di galon.

Pagi hari yang biasanya terasa membahagiakan bagi Langit, mendadak mendung saat mendengar kabar itu dari Mentari. Jantungnya berdebar kencang dan seketika keringat dingin, meskipun berusaha kuat menyembunyikan ekspresi paniknya. Sikap tanggung jawabnya dipertanyakan.

Belum lagi perutnya yang semakin melilit akibat belum makan sejak semalam.

"Insyaallah nanti Mas belikan, dik. Tapi kita cari sarapan dulu ya."

Mentari tahu, Langit sedang berusaha menenangkannya. Tapi entah kenapa dia merasa pria itu tak terbuka padanya.

Tak lama Langit membersihkan diri sebelum bergegas pergi. Tak lupa membawa tas kuliahnya.

Sampai di gang yang cukup sepi, dia mengeluarkan buku catatan kuliah sebelum membuka lembar demi lembar. Mencari lembaran uang yang mungkin saja pernah terselip di sana. Tapi sampai ketiga kalinya dia membuka lembaran buku itu, tak ditemukan apa pun. Hatinya semakin tak tenang.

"Ya Allah ... bagaimana ini?" Dia bingung, panik, dan sedih. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya.

Tak pernah dia sampai kehabisan uang seperti itu. Selama ini dia selalu cukup dengan uang dari beasiswa dan kiriman dari ibunya. Selama ini dia tak pernah bingung akan makan apa saat lapar. 

Ingin meminta bantuan teman-temannya pun, dia malu lantaran teman-temannya tahu dia belum lama mengambil keputusan untuk menikah.

Tak sadar setetes air mata jatuh di pipinya dan semakin banyak. Dia menyentuhnya dan sedikit kaget.  Secepat kilat dia menghapusnya sebelum dilihat oleh orang lain yang hendak melintas.

Satu yang pasti, dia merasa sedih dan bersalah karena membawa anak perempuan orang lain, tapi harus melalui kesulitan. Tak semudah yang dia pikirkan.

Bisikan penyesalan di hatinya lantaran menikah yang justru membawanya dalam kesulitan itu ditepisnya dengan istigfar. Dia yakin akan ada jalan keluar dan kemudahan. Ini hanya ujian, pikirnya. Berusaha sabar, tegar, dan berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kondisi yang sulit.

Sebuah ayat terngiang di benaknya.

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al Baqarah : 153)

Seperti penghibur hatinya, dia kembali melangkah menuju masjid untuk berdoa sejenak. Meminta tolong dan mengadukan kesulitan hidupnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala terlebih dahulu sebelum berusaha.

Selesai dari masjid, dia menelepon ibunya. Hendak meminta bantuan untuk mengirim sedikit uang, tapi belum membicarakan maksudnya, Kartika sudah menyampaikan berita.

"Pesanan lagi turun, Langit. Tapi Insyaallah Ibu usahakan tetep kirim uang buat kamu saat akhir bulan."

Seketika Langit langsung mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan ibunya. Perasaan bersalah memenuhi dadanya. Dia selama ini sudah merepotkan ibunya dan masih terus merepotkan ibunya, pikirnya.

"Kamu sama Mentari baik-baik aja, kan?" tanya suara di seberang telepon.

"Alhamdulillah baik-baik aja, Bu." Langit tersenyum getir.

Setelah menutup panggilan, dia berjalan tak tentu arah. Saat mendekati gang kosnya, dia melihat tiga pedagang nasi uduk yang tak jauh darinya baru saja datang bersama gerobaknya.

Entah keberanian dari mana, Langit mendekati salah satu pedagang nasi uduk. Pria paruh baya itu tersenyum semringah saat mendapati kehadirannya.

"Berapa bungkus dik?"

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang