Perempuan Desa

5.8K 430 0
                                    

Sejak kejadian semalam, Langit frustasi. Merasa berdosa lantaran berdua-duaan dan bertatapan cukup lama dengan perempuan pada malam hari pula. Masih beruntung tak ada warga yang melihat. Tapi tetap saja, Allah Maha Melihat, sehingga dia merasa sangat malu dan bersalah.

Meskipun sudah meminta ampun saat berdoa, pikirannya masih kalut lantaran terus terbayang wajah cantik Mentari.

"Masih pagi lho, Langit. Wajahmu kok kusut begitu?" Bayu menepuk pundaknya sebelum duduk bersimpuh di sampingnya. Mereka baru saja selesai shalat subuh dan masih memilih duduk di dekat pintu keluar Masjid Fastabiqul Khoirot itu. "Kamu itu ketua tim kita, kalau kamu kayak gini, gimana anggota tim? Kamu lagi mikirin proker? Kita bakal saling bantu kok. Kamu sendiri yang bilang, kerja sama tim itu penting, kan?"

"Bukan itu yang lagi aku pikirin."

"Terus apa? Mikirin cewek? Kamu kan gak pacaran, Langit. Kamu masuk golongan ikhwan kampus yang suka nongkrong di pengajian."

Pikiran Langit bertambah kalut. Tiba-tiba dia terpikir sesuatu. "Eh, Bayu?"

"Iya?"

"Misalnya kamu lihat orang yang lagi dalam kondisi sulit, gak ada orang yang bisa bantuin dia, dan dia gak punya keluarga lagi. Kamu bakal ngelakuin apa?"

Bayu tampak berpikir. "Ya, aku bantu dia lah."

"Caranya?"

Bayu terlihat ragu. "Tergantung masalahnya apa. Tapi kenapa kamu nanya kayak gitu?"

Langit sedikit salah tingkah. "Nanya aja."

Perasaan Langit tetap mendung bahkan saat sarapan dengan rekan satu timnya di rumah warga tempat para teman perempuannya menginap.

"Gimana Langit?" tanya Karina pada pria di seberang meja yang tengah memakan sarapannya.

Langit mendongkak. "Iya?"

"Gimana pendataan kemarin di lingkungan warga? Aman? Atau perlu data tambahan?"

Keano yang duduk di sebelah Langit malah geleng-geleng. "Masih pagi lho, Rin. Setidaknya kamu bahas proker pas di kantor desa. Biarin Langit lewatin pagi butanya dengan nyaman."

"Tahu tuh. Semangat amat jadi orang," timpal Dwi yang duduk di sebelah Bella.

Langit hanya tersenyum terpaksa. "Gak apa-apa. Pendataan belum selesai. Kita harus dapat data yang lengkap. Jadi nanti kita ngambil data lagi. Kita buat pembagian tugas biar Insyaallah lebih cepat selesai pekerjaan kita."

***

Tak jauh berbeda dengan Langit, Mentari pun terus memikirkan kejadian semalam. Gadis itu terlihat tak fokus saat mencuci pakaian di pinggiran kali.

"Mentari? Aku denger dari warga, katanya kamu mau dilamar sama Pak Sapto juragan sapi itu, ya?" tanya Linda yang duduk tak jauh darinya dan tengah melakukan aktivitas yang sama dengannya.

Mentari menoleh dengan wajah heran. "Kamu tahu dari mana, Linda?"

"Itu kata Rissa waktu ketemu ibu-ibu di pasar. Katanya Pak Sapto suka sama kamu."

Agak lama Mentari terdiam dan tak tahu harus menanggapi apa, lantaran dia sendiri tak tahu. Kalau Rissa berkata begitu, bisa dipastikan itu benar.

Masalahnya dia tak suka dengan Sapto. Pria paruh baya yang sudah ditinggal wafat oleh istrinya itu memang beberapa kali menggodanya saat dia berjalan sendirian.

"Pak Sapto itu kaya, Mentari. Sapinya banyak dan udah dijual ke banyak wilayah juga. Kamu bisa hidup enak. Lagian perempuan desa kayak kita ujung-ujungnya jadi istri dan ngurus suami sama anak, kan? Kalau dilamar orang kaya mah bersyukur banget."

"Memangnya gak ada pilihan lain buat kita ya? Dari kecil kita yang harus nanggung beban pekerjaan yang banyak di rumah tanpa bantuan laki-laki, gak dapat perhatian untuk bisa sekolah tinggi kayak laki-laki, dan tujuan hidup kita kayak buat menikah aja. Pas udah cukup dewasa dikit aja, kayak aib banget kalau gak menikah. Nolak lamaran laki-laki dibilang gak sepantasnya dan dicela akan jadi perawan tua.

"Ada yang masih mau sekolah pun disuruh putus sekolah kalau dilamar sama laki-laki yang bawa banyak uang. Memangnya kita ini barang yang bisa dijual tanpa ada kebebasan memilih hanya karena orang tuanya mau cepet kaya? Kalaupun ada yang bisa sekolah sampai tamat SMA, ujung-ujungnya menikah juga."

Linda menghela napas. "Ya, gimana Mentari. Namanya kita ini perempuan desa. Ya, nasib kita ya kayak gini."

Mentari tersenyum kecut sambil melanjutkan kegiatan mencucinya. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya. "Iya, nikah itu gak salah. Aku juga tahu kita sebaiknya menikah saat udah siap, tapi sebelum menikah itu, kenapa kita gak bisa punya lebih banyak pilihan?"

Linda menghela napas lesu. "Dari zaman orang tua kita juga udah kayak gini. Terus kamu mau sekolah kayak mahasiswa-mahasiswa itu? Kita gak punya uang tahu."

Tiba-tiba bunyi langkah kaki terdengar dari atas jembatan yang berada di atas kali. Perhatian Mentari dan Linda teralihkan saat melihat sekelompok mahasiswa KKN yang sedang melintas sambil membawa beberapa kertas di genggaman mereka.

Mentari bisa melihat Langit yang tengah berjalan paling depan dengan wajah serius. Pria itu berlalu begitu saja bersama rekan-rekan satu timnya.

"Mahasiswa dari kota itu keren-keren, ya. Udah gitu pinter-pinter orangnya. Mana mau mereka sama perempuan yang gak sekolah tinggi kayak kita," ujar Linda membuat Mentari terpaku.

Dia teringat kisah Rissa yang menyukai mahasiswa KKN yang mengabdi di desa mereka dua tahun sebelumnya. Mereka sampai tidur bersama dan Rissa hamil, tapi mahasiswa tersebut tak mau bertanggungjawab. Kata pria itu, hal biasa bagi mereka di kota untuk melakukan hubungan intim tanpa ikatan. Alhasil Rissa harus menanggung kehamilan yang cukup sulit, cibiran warga karena hamil di luar nikah, dan saat melahirkan, anaknya justru wafat.

"Apa Mas Langit seperti itu?" Mentari bertanya-tanya. Prasangka memenuhi hatinya.

***

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang