Dekapan Mentari

6K 465 6
                                    

"Nadhira?"

Nadhira yang tengah fokus mengetik di laptop itu menoleh dan mendapati Bayu berjalan mendekat ke arahnya sebelum mengambil tempat tak jauh darinya. "Kak Bayu?"

Jarang sekali Bayu mau menemuinya, pikir Nadhira. Mereka memang saling mengenal, karena pernah berada dalam satu organisasi.

"Aku boleh minta tolong gak?"

Nadhira mengerutkan dahi. "Minta tolong apa, Kak?"

"Bilang ke pamanmu yang di Citra Husada, tolong bujuk Langit biar mau berobat."

Nadhira sedikit terkejut. "Kak Langit sakit, Kak?"

"Terakhir aku ketemu, dia sering batuk. Gak usah jadi mahasiswa kedokteran untuk tahu, kalau batuknya itu beda dengan batuk karena gejala sakit biasa. Jauh lebih sering batuk, keringat pas malam hari, mukanya pucat, dan dia kayak kurusan."

Nadhira tampak berpikir, "Insyaallah nanti aku bilang ke pamanku deh, Kak. Terima kasih informasinya, Kak."

"Aku yang terima kasih, Nad. Kamu dan keluargamu udah banyak bantu Langit. Dia itu ... udah kayak saudaraku."

Ekspresi Nadhira berubah sendu. "Alhamdulillah Kak Langit itu sabar banget dan jarang ngeluh, ya, Kak. Kuat banget jalanin semua ini," ucapnya membuat Bayu mengangguk pelan.

Setelah pertemuannya dengan Bayu, Nadhira langsung menghubungi Dokter Yahya. Meminta tolong pada pamannya itu untuk memeriksa Langit.

Alhasil Langit berakhir di ruangan Dokter Yahya untuk ditanya tentang gejala batuk tak biasa yang sedang dialaminya itu secara detail yang membuat Langit terbuka.

"Malam ini kamu pulang saja, Langit. Saya izinkan kamu istirahat di kosmu. Besok jam delapan pagi, temui saya di sini. Saya mau melakukan beberapa pemeriksaan."

Langit tampak sedikit gelisah. "Tapi dok ... saya tidak ada biaya pengobatan."

"Aman. Semuanya biar saya yang tanggung. Kamu fokus saja untuk proses pemeriksaan. Oke?"

"Alhamdulillah. Terima kasih, Dok." Dia merasa sangat bersyukur, karena dalam hidup yang tak mudah, masih banyak orang-orang yang tulus peduli padanya. Masih ada orang yang ingin ikut memikul kesedihan dan kesulitan orang lain tanpa pamrih. Dia bertekad akan selalu mendoakan dan tak melupakan jasa-jasa mereka.

***

"Assalamu'alaikum."

Mentari yang tengah mencuci piring itu berhenti sejenak dari kegiatannya saat mendengar suara yang tak asing itu. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Secepat kilat dia menyelesaikan kegiatannya itu dan menuju ke ruang depan.

Benar saja, Langit sudah ada di sana dan tengah tertidur lelap dengan helaan napas teratur. Tidak di kasurnya sendiri, tapi di kasur Mentari yang membuat gadis itu sedikit heran.

Dia mendadak ragu ingin ikut tidur di kasurnya atau pindah ke kasur Langit, tapi melihat Langit yang sudah tertidur lelap, dia memilih tidur di samping pria itu.

Perlahan dia memberanikan diri menatap wajah pria yang masih setia menutup matanya itu. Menangkap begitu banyak guratan kelelahan di sana. Tak lagi seperti Langit yang dulu ditemuinya pertama kali di desa. Kini kulit pria itu sedikit lebih gelap dan badannya sedikit lebih kurus. Bawah kelopak matanya pun sedikit menghitam. Sangat kelelahan. Mentari merasa sangat iba.

Tangannya naik sebelum mengusap pelan pipi Langit dengan lembut. "Mas lelah banget, ya sampai tidurnya cepet?" tanyanya seorang diri. Sesekali tangannya naik mengusap alis tebal Langit. Mengagumi wajah tampan pria itu. "Mas ganteng banget sih."

Tiba-tiba Mentari terbelalak begitu Langit perlahan membuka matanya. Secepat kilat dia menarik tangannya dengan panik. Manik hitam itu menatapnya dengan sayu sebelum sebuah senyum tipis terbit. "Mas salah kasur, ya?" tanya pria itu.

Mentari menahan senyumnya sambil balas menatap Langit. "Gak bisa dibilang gitu sih."

"Oh iya."

Keduanya saling bertatapan sebelum sedetik kemudian tertawa bersama.

"Apa ada sesuatu di rumah sakit, Mas?"

Langit tersenyum lagi. "Gak ada dik. Mas cuma disuruh pulang untuk istirahat karena sakit."

"Mas sakit?" Mentari kaget sampai tak sadar telapak tangannya naik ke dahi Langit seolah memeriksa, apakah suaminya itu demam. Tangan Mentari malah ditangkap dan diarahkan Langit untuk diletakkan di atas pipinya. Seperti yang dilakukan Mentari sebelumnya.

"Tangannya adik hangat." Pria itu menatapnya dalam-dalam.

Pipi Mentari memanas tapi dia berusaha terbiasa dengan itu. "Mas sakit apa?"

"Ada hal yang perlu Mas ceritakan. Maaf Mas baru menyampaikan sekarang."

Mentari diam menatap pria itu. Menunggunya melanjutkan kalimatnya.

Belum berbicara lebih lanjut, air mata Langit sudah menetes lebih dulu mengingat apa yang ingin disampaikannya. Bukan berita yang membuat istrinya bahagia.

"Mas belum bisa wisuda tahun ini, karena tugas akhirnya Mas jauh dari kata baik. Beasiswa Mas juga putus karena Mas terlambat wisuda. Mas juga kehilangan kesempatan mendapat rekomendasi untuk beasiswa lanjutan dan kembali jadi dosen di kampus, karena Mas dianggap gak layak untuk itu. Mas kehilangan kepercayaan diri.

"Dan, udah hampir satu bulan ini, Mas sering batuk darah. Badan Mas terasa sangat lelah. Mas gak periksa, karena khawatir dengan biayanya, tapi Alhamdulillah Dokter Yahya mau bantu, Mas. Insyaallah besok Mas ke rumah sakit untuk pemeriksaan.

"Mas minta maaf buat adik kecewa. Bawa adik masuk dalam kondisi serba sulit ini. Maaf untuk semuanya yang gak bisa disebutkan satu per satu," lanjutnya dengan susah payah.

Mentari pun menangis mendengar kabar itu, tapi tak disangka, gadis itu berusaha tersenyum tegar sambil mengusap lembut pipi suaminya.

"Kalau waktu bisa diulang, aku bakal tetap memilih menikah dengan Mas. Mas itu pria paling baik yang pernah aku temui dalam hidupku. Aku gak peduli kalau harus menemani Mas melalui keadaan ini. Seperti Mas yang gak peduli dengan semua kekuranganku, aku juga gak peduli dengan semua hal yang Mas anggap mengecewakan dari diri Mas.

"Kalau Mas sakit, aku bakal rawat Mas sampai Mas sembuh. Kalau Mas gagal tugas akhirnya, aku bakal lakuin apa pun yang aku bisa agar Mas bisa coba lagi. Aku bakal lakuin apa pun. Apa pun, Mas. Mas jangan merasa sendiri melalui ini. Kita hadapi bersama, ya?"

Langit mengangguk. Dia merasakan pundaknya ditarik dan dibawa Mentari ke dalam dekapan hangatnya. Kepalanya diusap dan dikecup lembut beberapa kali oleh gadis itu membuatnya merasakan sebuah rumah.

"Hal-hal baik dalam hidup ini butuh doa, butuh pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala, butuh waktu, dan butuh sabar. Kadang kita dikirim dalam keadaan yang kita gak suka, kita gak inginkan, kita anggap mengecewakan, tapi Insyaallah karena ada hal baik yang ingin mendekat. Ingin dijadikan kejutan dan kabar paling baik untuk kita. Pengganti yang jauh lebih indah. Sekarang kita lihat sebagai musibah, Insyaallah suatu hari nanti kita lihat sebagai anugerah.

"Sekarang kita fokus aja ke hal yang bisa kita lakukan. Allah Subhanahu wa Ta'ala itu Maha Melihat. Dia melihat semua usaha dan upaya yang kita lakukan untuk kebaikan. Semua itu gak sia-sia. Meskipun kita merasa begitu.

"Kita hadapi bareng-bareng, ya, Mas?"

Langit mengangguk dan dadanya dipenuhi semangat baru, tapi tangisnya semakin pecah. Dia memeluk pinggang Mentari erat-erat dan menangis dalam dekapan gadis itu. Itu salah satu titik paling rendah dalam hidupnya.

Dekapan Langit (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang