27. (6) Setelah Tersulut Api

15 4 5
                                    

'Jika suatu hari hal yang ingin kugapai keadaan nya berbalik, apakah mungkin alasan satu-satu nya hanyalah karena aku memang tidak pernah pantas mendapatkan nya.'

Pagi hari pukul 6:30, hari pertama libur sekolah tiba, anak pendiam itu tengah melamun di depan teras rumahnya, menatap letak mentari yang sinar nya kian menghangatkan tubuh, sinar itu begitu menyilaukan hingga menelusup ke dalam rumah. Matanya menyipit karena sesuatu yang bersinar di sana, ia menyandarkan tubuh bagian belakangnya ke tembok dan kembali menatap ke arah langit. Entah apa yang sedang dilakukannya tetapi mulutnya seperti bergumam di dalam hati.

"Nak, kau sedang apa berdiam diri di sana?" seorang wanita paruh baya bertegur sapa dengan Nindi. Ia habis dari pasar, terlihat dari barang yang sedang dibawanya, ada sayur kangkung yang menjuntai di sana, wanita itu berhenti sejenak di depan Nindi.

"Tidak ada apa-apa, Bu. Aku hanya sedang berjemur." Nindi menjawab pertanyaan wanita itu dengan lembut. Ada senyum yang sedikit ia ukir, tetapi matanya tidak menyipit, ia tidak benar-benar tersenyum.

Wanita itu masih diam di sana, belum ingin pergi, ada iba yang membuatnya menetap. Ia menaruh satu kantung plastik yang sedang dijinjingnya itu di tanah, kemudian lebih mendekat ke arah Nindi.

Ia meraih tangan Nindi, kedua tangan itu menggenggam lembut tangan Nindi, matanya sangat sedih, ia tersenyum meringis, rasa nya sungguh ingin menangis.

"Anak manis, anak baik, kau anak yang kuat, nak. Kau pasti bisa melewati semua ini, percayalah denganku." wanita paruh baya itu mengucapkan kalimat yang sangat menenangkan. Ada kekhawatiran yang ia simpan dari ucapannya, matanya terus melekat menatap Nindi yang belum ingin berterus terang. Anak itu selalu menyembunyikan tangis, ia persis seperti ayahnya.

Nindi tidak menanggapi ucapan wanita itu, ia belum berani menatap matanya.

Wanita itu melepaskan tangan yang sedari tadi ia genggam, ia merentangkan kedua tangannya agar Nindi bersedia menenggelamkan tangis di bahu wanita itu.

Kali ini Nindi tersenyum, tetapi senyumnya meringis, seperti wanita tadi yang sedang menahan air matanya. Ia pun menerima pelukan itu, melingkarkan kedua tangannya di pinggang wanita itu dan bertumpu pada bahu. Ia memejamkan mata, air mata yang tidak kuasa terbendung akhirnya tumpah juga. Mulutnya dibungkam, ia lagi-lagi menahan, padahal air mata sudah jatuh membanjiri baju wanita itu. Tubuhnya gemetar hebat, Nindi menangis tersedu-sedu, ia akhirnya runtuh juga, adakah yang bisa membayangkan semua penderitaan yang Nindi alami diusianya yang masih sangat muda itu.

Wanita paruh baya itu bernama Asih, ia berusia 40 tahun, usianya jauh lebih tua dari Ani. Asih memiliki tempat tinggal yang tidak jauh dari rumah Ani, hanya terhalang satu rumah saja. Terkadang, Asih melipir ke rumah untuk memberikan sedikit makanan kepada Nindi, ia adalah seorang wanita yang dermawan, hidupnya sederhana tetapi rasa empatinya sangat tinggi.

Asih tidak mengetahui kekerasan yang Nindi alami di sekolahnya, ia hanya mengetahui mengenai ibunya yang terbaring sakit, dan ayahnya yang jarang di rumah. Asih merasakan ada setumpuk masalah yang hadir bersamaan dengan masalah yang kini Nindi hadapi, tetapi ia belum tahu setumpuk masalah apa itu, ia ingin bertanya tetapi ia yakin Nindi tidak akan mudah menceritakan itu.

Tepukan hangat yang Asih berikan di punggung Nindi, membuat Nindi sangat amat merasa nyaman, rasa nya sungguh ingin tertidur dalam posisi seperti ini, ia ingin tertidur di pelukannya.

***

Dani mengagetkan seisi ruangan, ia menghentakkan mouse yang ada di genggamannya. Dani tersenyum begitu lebar hingga gigi-giginya tampak jelas, matanya terus terpaku pada layar laptop. Lelaki berkacamata itu membuka kacamata yang tadi ia pakai lalu meletakkan nya di atas meja, ia menyeka keringat yang menempel pada tulang hidungnya.

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang