Tawa Bagas terdengar aneh, ia tertawa lalu berhenti, tertawa lagi kemudian berhenti lagi. Setelah lelah dengan itu, ia menghela napasnya dengan santai, membuka sedikit mulutnya sambil tersenyum. Tatapan mata itu sulit ditebak oleh siapa pun, terkecuali Leo. Leo masih berbaring di sebelahnya, sedari tadi ia memperhatikan perilaku Bagas yang membuatnya harus mengalah, menuruti saja apa yang diinginkan Bagas, jika anak itu lelah juga pasti akan meminta bantuannya.
Usai sudah Leo membaca mimik wajah Bagas yang membingungkan itu, ia kembali menatap lurus ke arah langit, masih berbaring di sana. Bagas kembali terdiam, suasana kembali hening, tidak ada yang bisa menafsirkan situasi itu. Sebenarnya, di balik keheningan itu mereka sudah mengetahui isi pikiran masing-masing.
"Kau tidak perlu cemas, mereka yang lebih berhak atas kemarahan itu."
Bagas menundukkan kepalanya, masih dalam keadaan duduk, ia menatap kedua tangan yang saling mengepal itu, diregangkan lalu dikepal kembali, berulang-kali Bagas melakukan itu seakan sedang menahan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh tangannya.
Bagas harus menanggung dendam dari keluarga korban atas perbuatan ayahnya, Arief. Mereka masih sering menghubungi Bagas, bertemu di suatu tempat lalu kembali melakukan hal yang sama. Mereka masih menaruh dendam pada Arief. Arief melukai target sesuai yang diperintahkan klien, ia mendapatkan bayaran jika target berhasil dilumpuhkan, jika permintaan klien harus menewaskan target, Arief tidak segan untuk melakukan itu, ia akan mendapatkan bayaran yang lebih besar lagi.
Mereka seakan sedang menghukum Bagas, ia harus membayar kesalahan yang diperbuat ayahnya. Ia menanggung sendiri beban itu, tidak ada yang tahu selain Leo.
Leo menyamakan posisi Bagas, kini ia duduk berdampingan tanpa menoleh ke arahnya.
"Kau sudah tahu siapa pelakunya?" Leo menghancurkan keheningan yang nyaman itu dengan sebuah kalimat mengejutkan. "Orang yang membunuh ayahmu." Leo melanjutkan.
Bagas sontak menoleh ke arah Leo dengan wajah gemetar, lidahnya kaku, bibirnya bergetar, sebentar lagi amarahnya akan mendidih. Tetapi, Leo masih bersikap santai dan sama sekali tidak mengira bahwa ucapannya cukup mengganggu perasaan Bagas.
Bagas tidak menjawab pertanyaan Leo, ia berusaha untuk mengontrol emosi, matanya berkaca-kaca, ada air yang menggenang di sana tetapi ia masih menahan nya. Ia masih belum bisa merelakan Arief sepenuhnya, kematian ayahnya yang tragis menumbuhkan dendam di dalam hatinya, ia seakan lupa bahwa kematian Arief adalah hasil dari perbuatannya sendiri, bukan seseorang yang menghukumnya, tetapi dunia lah yang telah mewakilkan itu, bahkan dunia telah menolak untuk Arief singgahi.
Bagas memutuskan untuk menyudahi ini, ia beranjak dan pergi meninggalkan Leo di roof top. Ia membuka pintu roof top dan menuruni tangga.
Tes..
Tes..
Tes..
Air mata itu menetes mengenai anak-anak tangga, lelaki dengan wajah yang riang itu kini menumpahkan tangis, ia menyeka air tangisnya sambil terus menuruni anak tangga. Tetapi, ada kejadian yang tidak terduga selanjutnya, saat ia membuka kenop pintu untuk sampai di lantai dua, ia tidak sengaja berpapasan dengan Ayra di sana. Ayra langsung terdiam mematung melihat kakak lelakinya yang sedang bersedih, gadis kecil itu melihat air mata yang baru saja diusap juga bulu mata Bagas yang tampak basah, Ayra semakin meyakini bahwa Bagas baru saja menangis.
Bagas berusaha mengontrol wajahnya agar tidak terlihat seperti habis menangis, sudah tertangkap basah tetapi masih saja disembunyikan. Tetapi, Ayra adalah gadis yang pintar, ia sangat menyayangi Bagas dan tahu betul apa yang sedang dirasakan kakaknya. Bagas berjongkok di depan Ayra yang masih berdiri menatap penuh tanda tanya, ia memegang bahu Ayra untuk menenangkannya, membelai pucuk kepala gadis kecil itu, dan merapikan rambutnya. Dalam posisi itu, Ayra menelaah setiap sudut wajah kakaknya, ia menyentuh wajah Bagas menggunakan jemari kecilnya, setelah jemarinya singgah di sana, ia merasakan hawa dingin dan lembab di kulit wajah Bagas. Mata Ayra semakin sendu, ia mengerucutkan bibirnya, menahan mulut itu agar tidak menjerit karena sebentar lagi ia akan menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Pulih
RomanceBerdamai dengan masa lalu merupakan proses paling berpengaruh dalam membentuk masa depan, ingatan pahit itu sama seperti luka, merobek permukaan kulit, berdarah, dan membekas. Nindi harus berkawan dengan sepi, ia menutupi kisah menyakitkan itu hingg...