43. Sembuh dan Kambuh

6 1 0
                                    

Ruangan dengan banyak memori di dalam nya, dipenuhi oleh sekelompok manusia dengan asap mengebul di kepalanya. Sebuah laptop, Ipad, dan pena digital, berada di atas meja, tertata amat rapi seperti tidak berpenghuni. Agam memutuskan untuk rehat, sudah satu tahun lama nya, ia memberhentikan seluruh asisten dan memutuskan untuk mengistirahatkan otak sejenak.

Hadi. Hanya ada satu nama yang berlabuh di kepala Agam, ia memikirkan Hadi berulang-kali, hingga akhir nya dirinya memutuskan untuk mencari keberadaan Hadi yang awal nya begitu sulit ia temukan.

Pertemuan Agam dengan Hadi kali ini bukanlah suatu kebetulan, ia seperti telah diutus untuk menjadi penawar. Terus berandai dan menyesali keterlambatannya, mengapa tidak sejak dahulu ia beranjak, mengapa hanya berlabuh saja tanpa bergerak.

Perasaan yang terus bersemayam itu akhir nya berbuah haru, Agam hampir berhasil, ia melihat binar mata berbeda yang terpancar dari mata Hadi, bukan karena ambisi yang tumbuh kembali dalam jiwanya, akan tetapi, sebuah penerimaan yang mulai tumbuh dalam jiwanya. Menerima segala kekurangan, menerima bentuk keberhasilan, dan menerima bentuk kegagalan. Hadi telah menerima kekurangannya, ia bersiap untuk terus melangkah, berlari, dan melompat.

Nyawa itu seakan telah kembali, setelah sekian lama kehilangan arah di dalam ruangan gelap nan sempit, Hadi berhasil menemukan titik cahaya, menemukan pintu dan keluar dari ruangan mencekam.

Hadi memencet tombol power pada laptop, menunggu proses layar menyala selesai, bersamaan dengan Ipad yang telah dihidupkan. Hadi meraih pen dan mulai menggambar di sana. Tidak ada keraguan dalam dirinya, bukan karena ia merasa handal, sebab ia hanya melakukan sesuai dengan apa yang dirinya bisa, tidak ada dorongan paksa, atau ambisi.

Agam berdiri di belakang Hadi, melabuhkan satu tangan pada sandaran kursi yang sedang Hadi duduki, ia begitu setia menemani setiap proses kawannya. Bibirnya menoreh senyum, masih di belakang Hadi, ia menyipitkan mata pertanda ketulusan dari senyum yang terukir. Agam hampir menitikkan air mata, senyumnya justru mengundang tangis, akan tetapi, ia ingin menyembunyikan, bukan karena malu, hanya saja air mata ini bukan lah sebuah kesedihan, melainkan haru dan bahagia.

Agam menepuk-nepuk bahu Hadi dengan pelan, ia masih tersenyum, tangan satunya berusaha menyeka air mata yang masih saja enggan untuk berhenti. Tepukan itu begitu hangat, menenangkan, dan menyembuhkan. Hadi menghentikan jemarinya yang sejak tadi belum berhenti menari bersama pen, ia menaruh benda itu, seketika kepalanya merunduk, bahunya mulai gemetar, menahan isak yang susah payah ia sembunyikan. Air mata menetes mengenai kain celananya, rintihan tangis kian terdengar begitu lirih, ia masih bersembunyi di sana.

Agam membiarkan Hadi seperti itu, mempersilakan Hadi untuk mengeluarkan emosinya, menangis, ataupun berteriak. Menangis bukan suatu kesalahan, bukan juga harga diri, tumpahkan saja, kenali rasa sakit itu, jangan biarkan pikiran dan perasaan memegang kendali penuh atas diri, mereka harus memiliki batasan, jangan mau dikuasai oleh pikiran dan perasaan.

***

Suara mesin mobil terdengar berhenti di halaman rumah, suara dua orang lelaki saling bercengkerama, beberapa lama setelah itu, kenop pintu mulai bergerak dan pintu rumah pun terbuka. Nindi tengah duduk dengan menekukkan kedua kaki hingga ke perut, ia sengaja duduk di depan kamar ayahnya sebab menanti kedatangannya. Kepala Nindi menoleh ke arah Hadi, matanya terbelalak ketika menyaksikan seutas senyum itu kembali, tubuhnya menegang, ia sontak berdiri membentengi tempat itu.

Hadi menunduk, kebingungan harus bersikap bagaimana di depan putrinya. Nindi menengadahkan kepala, menatap lekat binar mata itu, memperhatikan sudut bibir, juga apapun yang terlukis di wajah ayahnya. Nindi melihat senyum itu kembali, ia menemukan nya, sontak gadis itu langsung memeluk ayahnya erat-erat, mendekap lelaki itu, dan merasakan kehangatan yang terpancar dari suhu tubuhnya.

Hadi tidak menolak, senyumnya kian melebar, matanya menyipit, hidungnya kembang kempis, ia membalas pelukan putrinya, menempatkan kedua tangan di punggung Nindi, menepuk pelan, dan mengelus pucuk kepalanya.

Hadi merasakan basah dan dingin di dadanya, ia menundukkan kepala mencari keberadaan putrinya, rupa nya gadis itu sedang menangis, bersembunyi di balik tubuhnya. Hadi meraih wajah Nindi, menengadahkan kepala gadis itu, mencari keberadaan air mata, lalu menyeka nya dengan lembut. Akan tetapi, gadis itu justru semakin menangis, banjir sekali, Hadi kesusahan menyeka air mata itu, namun perasaannya amat lega, ia berhasil menjadi tempat persembunyian saat putrinya sedang menangis.

Mereka berdua sama-sama sakit, sama-sama sedang berjuang mati-matian untuk sembuh, akan tetapi, dua insan itu tidak bisa saling menjadi penyembuh, mereka butuh penengah, seseorang yang tidak sedang sakit seperti mereka.

"Nindi minta maaf." Nindi masih terisak. Ia belum berani melepaskan pelukan itu, belum berani keluar dari tempat persembunyiannya.

"Apa kesalahan yang telah kau perbuat, nak? Tidak seharusnya kau yang meminta maaf." Hadi mengelus pucuk kepala putrinya. "Kita sama-sama sembuh ya, nak." Hadi tersenyum lagi. Akan tetapi, senyum itu justru mengundang tangis, ia menangis di sana, kemudian memeluk putrinya, dan menenggelamkan kepala Nindi dalam pelukannya.

Antara bahagia dan menyesali, dua perasaan itu saling beradu, Nindi terpenjara di sana, ia masih belum memaafkan dirinya sendiri, yang dengan tega menelantarkan ayahnya, sedangkan dirinya sangat membutuhkan dukungan keluarga. Ia tidak betul-betul bahagia, penyesalan itu justru menguasai pikirannya. Kini mereka berbalik, ada yang sembuh, ada yang kambuh.

___________________

Hadi, akhir nya kamu sembuh huhu 🥹
Nindi.. Lekas sembuh yaa!

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang