23. (2) Sebelum Tersulut Api

15 6 4
                                    

Lelaki bertubuh kekar itu seringkali berdiri menunggu kedatangan Nindi, di jalan menuju ke rumah yang biasa Nindi lewati setelah pulang sekolah. Ia berdiri seorang diri, menyandarkan punggung ke tembok, jemarinya memainkan putung rokok lalu ia masukkan ke dalam mulut dan di hisap. Asap ngebul dari rokok itu menyambut kedatangan Nindi saat lewat di depannya. Itu selalu terjadi hampir setiap hari. Nindi sangat tidak menyukai bau asap rokok itu, ia juga tidak tahu mengapa lelaki itu terus melakukannya. Apakah Nindi pernah terlibat masalah dengannya, ia berpikir seperti itu berulang-kali, tanpa menemukan jawaban.

Hingga akhirnya, Nindi menemukan jawaban yang sudah lama ia nantikan. Lelaki bertubuh kekar itu tidak sendiri lagi, ia bersama Agnes dan Sandra. Ia berada di tengah-tengah dua gadis itu, memainkan putung rokok dan membuang nya sembarangan. Mereka memboikot jalan, menampilkan senyum menyeringai, dan meninggikan kepalanya.

Nindi menggenggam tali ranselnya, ia tetap berani berdiri di sana, dan berusaha menyembunyikan rasa takutnya. Lelaki itu kini berada tepat di depan Nindi, tingginya sangat jauh melampaui tinggi badan anak itu. Nindi tidak berani mengangkat kepalanya, jika ia mengangkat kepala, wajah menyeramkan itu akan terlihat sangat jelas. Lelaki itu mulai menggulung lengan baju di pergelangan tangannya, begitu santai tanpa ada kalimat yang terucap dari mulutnya. Nindi bergerak mundur, tubuhnya gemetar ketakutan, ia berhasil membuat jarak. Akan tetapi, ia masih belum berani untuk melihat sorot mata itu. Lelaki itu terus bergerak maju.

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Nindi, ia terjatuh ke tanah dan menyembunyikan kepalanya dengan kedua tangan, ia takut mereka akan memukul kepalanya. Nindi sama sekali belum berani untuk menggerakkan tubuhnya, masih tergeletak di tanah, napasnya tersengal, jantungnya berdegup sangat cepat, keringat dingin mulai membasahi seragam sekolahnya. Ia yakin ini belum selesai.

BUK! BUK!

Lelaki dengan setelan jas dan berdasi itu menghantam bagian paha Nindi menggunakan kakinya. Nindi mengerang kesakitan, merasakan sakit di area pinggul hingga kakinya, pukulan itu cukup menyakitkan bagi anak seusianya, jangankan untuk berdiri, menoleh saja ia tidak mampu. Ia memutuskan untuk tetap diam, tidak ada perlawanan sama sekali, ia memang takut, bukan berarti mengalah, tetapi ia berusaha menahan emosi itu, yang entah akan setinggi apa nanti nya.

Hening.

Nindi belum berani untuk bergerak apalagi membuka tangan yang masih melindungi bagian kepalanya. Mereka pergi meninggalkan Nindi begitu saja. Ia masih terkapar di sana, jalanan itu memang sepi, tetapi jalan itu merupakan jalan pintas agar lebih cepat sampai ke rumah, karena alasan itu lah Nindi selalu memilih jalan itu untuk pulang.

Tubuhnya mulai melemas, rasa nya ingin sekali pingsan agar tubuh ini bisa beristirahat tanpa harus memikirkan bagaimana ke depan nya. Ia melihat samar-samar datang sepasang kaki dengan sepatu putih bertali merah jambu berdiri tepat di depan pandangannya. Nindi mengenali siapa pemilik sepatu itu, ia berusaha mengangkat kepalanya untuk memastikan. Ia berada di tengah-tengah kesadaran, ternyata benar, pemilik sepatu itu adalah Lisa. Ia melihat Lisa di atas sana sedang diam berdiri menatap Nindi yang berada di bawahnya. Nindi meminta pertolongan, tetapi ia kesulitan berbicara, sungguh lemas rasa nya, ia hanya bisa memandang sepatu putih itu, tidak bisa mendongak ke atas lagi, tidak kuat untuk membuka mulutnya. Akan tetapi, Lisa tetap tidak melakukan apa-apa, ia sungguh tidak berhati nurani.

***

Cahaya lampu di dalam sebuah ruangan menyilaukan penglihatan anak malang itu, dua gorden di sisi kanan dan kiri seolah menjadi pembatas antara ranjang satu dengan ranjang lainnya. Ia melihat seorang suster sedang mondar-mandir memeriksa pasien yang menginap di sana. Ya, Nindi dilarikan ke rumah sakit, ia ditemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri di tengah-tengah jalan sepi oleh seorang wanita paruh baya yang kebetulan sedang melintas di jalan itu, wanita itu langsung membopong Nindi dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang