11. Ayah

23 11 4
                                    

'Ayah. Seuntai kata penuh makna, bisa dibilang sosok ayah itu seperti mentari yang menyinari dunia, akan tetapi ada waktu dimana mentari tidak bisa menunjukkan sinar nya, ada kala nya mentari tertutupi oleh awan, terhalang air hujan, dan terbenam. Meski begitu, mentari tetap akan kembali, ia akan terbit. Kuharap ayah hanya beristirahat saja. Tidak redup dan tidak mati.'

Lelaki paruh baya itu kini berdiam diri, duduk termenung di lantai dengan tatapan yang kosong. Wajahnya begitu sendu dan lembab, ia menekukkan kedua kakinya dan memeluknya, sebab banyak kesedihan yang menggelayut di pikirannya. Nindi memutuskan untuk masuk ke kamar Hadi, ia duduk di lantai kamar yang lengket itu, belum berani untuk mendekati ayahnya. Gadis itu terpaku memperhatikan Hadi. Ia beranjak dari kamar itu lalu menuju dapur, mengambil satu piring nasi juga lauk yang ia taruh di atas nya. Nindi kembali ke kamar Hadi, membawa makanan itu untuk diberikan kepada ayahnya.

Mata Hadi semakin memerah, terasa begitu perih, hatinya merasakan amat sakit, ia meneteskan air mata, membanjiri wajahnya dengan tangisan yang entah apa alasannya. Lelaki itu memang sering melakukan hal yang tidak terduga, seperti saat di toko buku beberapa waktu lalu, ia tiba-tiba merasa damai namun seketika sikapnya berubah, berteriak menangis di depan banyak orang.

Namun bagi Nindi, saat ini ayahnya sedang benar-benar terpuruk. Entah mengapa perasaannya meyakini bahwa Hadi ingin ditemani, ia merasa harus ada yang singgah di sampingnya. Lelaki itu ingin tangisan dan kekesalannya diperhatikan oleh orang lain, ia ingin ada yang memahami keadaannya dengan duduk bersamanya. Permintaan itu mungkin terdengar biasa, akan tetapi bagi Hadi, ia belum pernah mendapatkan sesuatu yang orang lain biasa menerima nya.

Hadi semakin mengeraskan suara tangisannya, ia terisak dan tersedu-sedu, terhanyut dalam keterpurukan, tubuhnya gemetar, menandakan emosinya berada di puncak. Ia mengepalkan tangan dan memukul-mukul lantai, ia juga menghentak-hentakkan kakinya. Sudah lebih dari sepuluh menit lelaki itu menangis, meluapkan seluruh emosinya dengan menangis dan berteriak, ia ingin diperlakukan seperti ini, ia ingin ada yang menemaninya, ia ingin orang lain ikut merasakan rasa sakitnya. Lelaki itu ingin diperhatikan dan sedikit dimengerti.

Nindi masih diam, ia memperhatikan tingkah laku Hadi dengan sendu, kini akhirnya ia ikut merasakan sesak seperti yang dialami Hadi selama ini, mengurung diri di dalam kamar yang sempit dan lembab, tanpa ada satu orang pun yang betah menemaninya, bahkan putrinya pun hanya menengoknya sebentar. Gadis itu hanya memastikan ayahnya masih hidup atau tidak, ia tidak pernah berpikir bahwa sebenarnya ayahnya sangat membutuhkan kehadiran orang lain.

Nindi mencoba untuk mendekati Hadi, ia merangkak dengan pelan dan penuh hati-hati, takut lelaki itu merasa tidak nyaman. Kini pertama kali nya setelah sekian lama Nindi melihat dengan jelas raut wajah ayahnya yang semakin keriput dan warna kulitnya berubah menjadi gelap. Nindi melayangkan tangannya mendekati wajah Hadi, jemari mungilnya berusaha mendekati pipi yang sudah basah itu. Akhirnya Nindi berhasil mendaratkan jemarinya di pipi Hadi, dengan penuh lembut gadis itu mengusap air mata ayahnya, tangannya gemetar karena ini pertama kali baginya. Tangisan itu semakin pelan dan sudah tidak terdengar lagi, Hadi sudah merasa lebih tenang, kedua matanya masih menyisakan air mata, matanya nampak merah dan layu. Hadi tidak pernah menyangka bahwa sentuhan dari putrinya lah yang berhasil menenangkannya.

"Ayah harus makan." ucap Nindi dengan suara yang lembut. Ia menawarkan sepiring nasi dengan lauk tumis tahu putih yang kini berada di tangannya.

Nindi menyendok kan makanan itu lalu di arahkan ke mulut Hadi. Hadi masih diam dengan tatapan kosong, meski tangisnya sudah reda namun ia masih belum mau untuk berdamai. Hadi belum mau membuka mulutnya, dengan sabar Nindi merajuk Hadi agar ia segera membuka mulut. Lelaki itu pun membuka mulut dan mengunyah pelan makanan yang diberikan putrinya. Satu piring akhirnya berhasil dihabiskan Hadi, ia menyantap nya dengan lahap. Selama ini Nindi hanya memberikan ayahnya makanan tanpa menyuruhnya untuk makan apalagi menyuapi. Pikiran Nindi sedikit terbuka, ia baru teringat bahwa perhatian yang seharusnya ia berikan untuk ayahnya belum ia berikan sepenuh nya, banyak hal yang ia lewati, ia terlalu mengabaikan perasaan ayahnya.

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang