33. Petaka Paras Cantik

9 2 6
                                    

Langit menitikkan hujan, wiper kaca mobil bergerak ke kiri dan ke kanan menyapu air hujan yang kian deras. Malam yang gelap bersamaan dengan rinai hujan, aspal menjadi licin dan rawan kecelakaan. Bagas mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, melaju pelan dan sesekali melihat ke arah spion. Tidak ada pengendara lain yang melintas jalan itu. Setelah mengantar Nindi pulang ke rumah, ia kembali ke Jakarta pada pukul dua belas malam. Bulan-bulan ini sudah memasuki musim hujan, tidak menentu kapan hujan akan datang. Ia melewati barisan ruko yang sudah terbengkalai, bangunan-bangunan itu masih tampak kokoh, hanya saja tidak dirawat dengan benar, terkesan kumuh dan menyeramkan jika melewati jalanan ini.

TINN!! TINN!!

Suara klakson saling beradu, ada dua kendaraan motor yang menghalangi mobil Bagas. Masing-masing motor diisi oleh satu penumpang, mereka berjumlah empat orang, entah apa sebab nya memboikot jalan itu.

Bagas mematikan mesin mobil, mematung di sana, melihat satu pengendara motor yang ia kenali. Dari sorot matanya, ia sudah memahami hal apa yang akan terjadi padanya malam ini. Pasrah dan marah, dua perasaan itu saling bertengkar, tidak ada yang ingin mengalah. Akan tetapi, ia lebih memilih pasrah. Mengesampingkan amarah yang mungkin saja orang lain akan memilih itu.

Ferdy. Berusia 35 tahun. Adik perempuannya menjadi salah satu korban Arief, ia kehilangan wajah cantiknya dan terpaksa menjalani sisa hidup mengurung diri di dalam kamar. Wajahnya terkena sayatan pisau cutter hingga berulang-kali. Arief melakukan itu karena permintaan klien, hingga kini baik polisi maupun keluarga korban belum ada yang mengetahui siapa saja yang menduduki daftar klien Arief. Ferdy adalah satu-satu nya keluarga korban yang paling aktif, ia aktif dalam melampiaskan dendam. Jika bukan Bagas, siapa lagi yang akan Ferdy hukum. Andai saja ada lelaki lain dalam daftar keluarga Arief, mungkin lelaki itu akan bernasib sama seperti Bagas.

Ferdy mematikan mesin motornya, ia menyuruh seorang teman yang masih duduk di jok belakang untuk turun terlebih dahulu, sebab ia akan memarkirkan motor. Ia berjalan mendekat ke arah mobil Bagas, menatap penuh benci dan dendam yang kian meluap. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, jika dibandingkan dengan Bagas, Ferdy berada jauh di bawahnya. Ototnya kekar, memiliki rahang yang kuat, dan urat-urat tangan yang menonjol seakan telah siap untuk membanting seseorang.

Gugup, gelisah. Bagas dikendalikan oleh perasaan itu, ia harus siap dengan apapun yang akan terjadi malam ini. Ia memencet tombol untuk membuka jendela mobil, angin malam bertiup menyentuh lehernya ketika jendela itu terbuka. Kini, Ferdy telah berada di sebelah jendela, tanpa mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, ia berdiri dengan gagah menatap tajam pada seseorang yang menumbuhkan dendam itu.

Bagas menoleh ke arah Ferdy, ia melihat mata yang penuh amarah itu. Tidak berani menatap lama-lama, Bagas menurunkan pandangannya, ia meraih kenop pintu mobil dan menurunkan kakinya. Ia sudah berada tepat di hadapan Ferdy, tingginya sangat jauh melampaui Ferdy, tetapi kekuatan Ferdy jauh lebih berani, bukan karena Ferdy kompeten dalam seni bela diri, tetapi karena amarah dan dendam telah menguasai jiwanya.

Ferdy berjalan seakan memberi perintah, tidak ada kalimat yang terucap tetapi Bagas memahami apa yang seharusnya ia lakukan. Bagas mengikuti Ferdy dari belakang, ia merunduk dan pasrah. Tiga orang anak buah Ferdy berada di belakang Bagas, mengawasi Bagas jika sewaktu-waktu ia akan melarikan diri. Pakaian mereka semuanya basah, tidak ada yang memakai pelindung hujan. Mereka melewati gang kecil nan sepi, lampu bohlam berwarna kuning semakin menambah ngeri tempat itu. Ferdy menghentikan langkahnya ketika ia sampai di ujung gang, tidak akan ada yang melintasi jalan itu, Ferdy sudah hafal betul seluk-beluk tempat ini, ia sudah survei tempat terlebih dahulu sebelum memulai aksinya.

Ferdy masih memunggungi Bagas, kali ini ia mengeluarkan sebuah kalimat.

"Adikku masih saja menangisi wajahnya yang sudah hancur itu, haruskah aku merusak wajahmu juga?" tangan Ferdy mengepal, bahunya naik turun. Bagas melihat itu dengan jelas, ia mengetahui seperti apa raut marah Ferdy saat itu.

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang