Dua minggu kemudian. Pukul 22:30, suasana di stasiun Tangerang tidak begitu ramai, malam ini tidak begitu sesak, cukup lengang dan tidak bising, bersamaan dengan aroma tanah basah sebab hujan baru saja mengguyur kota itu. Nindi keluar dari gerbong kereta, berjalan menyusuri jalan yang lembab. Ia melewati beberapa kursi tunggu yang disediakan di dalam stasiun, masih ada beberapa orang yang tengah berduduk di sana, entah karena sedang menunggu keretanya, ataukah memang hanya ingin duduk sebentar saja di sana.
Nindi melihat seorang lelaki dengan mengenakan hoodie berwarna putih, juga celana berwarna broken white. Lelaki itu memakai penutup kepala yang tersambung pada hoodienya, menunduk, dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie. Nindi hanya melihat sekilas lelaki itu, ia tidak berpikiran macam-macam sebab kursi-kursi yang lain pun beberapa ada yang menduduki.
Akan tetapi, Nindi merasa sedang diikuti, ia tetap melanjutkan jalannya menuju pintu keluar stasiun, sepanjang jalan itu, entah mengapa orang yang sedang di belakangnya memang sengaja membuntuti. Nindi mulai berpikiran yang tidak-tidak, ia menghentikan langkah kakinya lalu menoleh ke belakang, melihat lelaki itu yang ikut berhenti di belakangnya dengan posisi kepala yang masih menunduk. Nindi kembali berjalan, dan lagi-lagi lelaki itu masih membuntuti, ia kembali menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang.
Lelaki misterius itu mengeluarkan kedua tangannya yang sedari tadi ia masukkan ke dalam saku hoodie, ia meluruskan kepala, lalu membuka tudung hoodie.
Nindi terkejut bukan main, matanya terbelalak, mulutnya sedikit menganga, ia seketika mematung di sana.
"Sudah cukup lama kita tidak bertemu, ya." lelaki itu menampilkan senyum yang khas, gigi-giginya amat tertata rapi, matanya kian menyipit, ketulusan itu tidak pernah luruh meski sudah lama ia menghilang.
Bagas. Ia merupakan lelaki yang sejak tadi membuntuti Nindi, entah dari mana datang nya, ia tiba-tiba muncul seolah-olah tidak ada satu hal pun yang semestinya ia jelaskan kepada Nindi. Bagas begitu mudah tersenyum ceria seperti itu, sementara Nindi sedang berjuang melanjutkan hidup dengan dibayang-bayangi pertanyaan 'mengapa'.
Air yang semula membeku kini mencair, bohong sekali jika saat ini Nindi tidak merasakan bahagia. Ia betul-betul bahagia, namun masih ia sembunyikan di balik wajahnya yang datar. Seketika rasa sesak dan puluhan pertanyaan itu buyar tidak bersisa, kehadiran Bagas amat menyembuhkan, rasa rindu dan sepi yang menggelapi hidupnya.
Bagas membentangkan kedua tangannya, bersikap seolah-olah siap menerima pelukan dari Nindi.
"Kemarilah. Aku akan men-transfer kehangatanku untuk mengobati rasa rindumu padaku. Hehehe." Bagas cengengesan. Percaya diri sekali, ia mengira Nindi akan mendekap tubuhnya, kenyataan nya tidak akan mungkin Nindi melakukan itu.
Nindi berbalik lalu berjalan menuju pintu keluar stasiun, mengabaikan Bagas yang masih teguh pada pendiriannya itu, meski sebetulnya ia sungguh ingin menyentuh tubuhnya yang hangat, merasakan aroma dari tubuh menenangkan itu, akan tetapi, ia berusaha menahan, menahan untuk tidak melakukan hal yang menurutnya berlebihan. Berlabuh dan bergantung pada manusia yang tidak tahu latar belakang kehidupannya. Nindi hampir merenggut nyawa seseorang, ia pernah terjerat hukum, dan menjadi bagian dari alasan seseorang meninggal.
Di tengah-tengah ia sedang memulihkan rasa bersalah dan trauma dalam dirinya, Bagas selalu datang mengganggu, lelaki itu datang dengan seenaknya, datang tanpa diundang, dan pergi tanpa berpamitan. Ceroboh, Nindi menerima peluang itu, menerima penawar sementara, mengabaikan peran terpenting yang dapat menjadi penyembuh sebenarnya. Bukankah diri sendiri lah yang berperan penting atas semua hidupmu, orang lain hanya membantu, kamu lah yang mengemudikan nya.
Bagas berjalan di belakang Nindi, ia berjalan lebih cepat dari Nindi hingga tiba tepat di depan Nindi, mengunci pergerakan gadis itu dengan tubuh semampainya. Tidak tanggung-tanggung, Bagas langsung meraih tangan Nindi lalu menggenggam nya dengan erat, mimik wajahnya menyiratkan rayu, berharap Nindi bersedia menuruti kemauannya.
Nindi tidak menolak, ia memperbolehkan Bagas menggenggam tangannya, seketika telapak tangan itu mengeluarkan keringat dingin, gemetar ringan dan terasa kaku. Nindi gugup. Ia baru pertama kali merasakan sentuhan ini, degup kencang dari jantung rasa nya hampir pecah, napasnya terasa sesak, dan gadis itu tidak berani menatap mata lelaki yang ada di hadapannya. Nindi ahli dalam menyembunyikan apa yang sedang ia rasakan, oleh sebab itu, Bagas tidak pernah tahu tentang Nindi yang sudah lama menyukainya.
Mobil dan perjalanan nya. Bukan kembali terulang, tetapi melanjutkan kisah nya. Kisah Nindi dan Bagas telah berlanjut, bersama mobil yang menjadi saksi bisu di antara dua insan beda kepribadian itu. Bagas mengemudi sambil terus mengoceh, meriuhkan suasana, dengan cerita menarik dan celotehan yang mengundang tawa. Bagas memang orang yang seperti itu, terlebih ia sedang berusaha untuk memberikan kenyamanan pada Nindi, mengembalikan senyumnya, dan menjadi pendukung pertama proses penyembuhan Nindi.
Mereka saling terkait, akan tetapi, belum ada yang menyadari, keduanya belum berada di waktu yang sudah semestinya saling mengetahui, tentang kesalahan terbesar Nindi, juga kemalangan yang menimpa keluarga Bagas. Ada sembuh dan kambuh, ada sembuh lalu kambuh, bagaimana jika nanti nya kisah Nindi dan Bagas akan berakhir menjadi kambuh, akankah ada fase penerimaan. Jika Nindi terluka hingga menyiksa, bukankah Bagas lebih terluka lagi, tentu saja semua ini bergantung pada proses penerimaan Bagas.
____________________
Ternyata Bagas masih hidup gessssss, ayo siapa yang bisa tebak makna dari paragraf terakhir? Yang tau coba komen di bawah yaa. Gomawo!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Pulih
RomanceBerdamai dengan masa lalu merupakan proses paling berpengaruh dalam membentuk masa depan, ingatan pahit itu sama seperti luka, merobek permukaan kulit, berdarah, dan membekas. Nindi harus berkawan dengan sepi, ia menutupi kisah menyakitkan itu hingg...