42. Proses Penyembuhan Kedua

3 2 0
                                    

Sebuah buku bertemakan pengembangan diri barangkali akan membantunya melihat pintu itu, pintu terbuka diantara pintu-pintu yang tertutup. Agam dan Hadi kembali ke taman setelah selesai makan siang, di tengah-tengah mereka terdapat meja yang di atas nya sudah diisi oleh dua buku dengan tema yang berbeda. Buku yang pertama merupakan buku motivasi, sedangkan buku yang kedua merupakan buku novel.

Agam memberikan buku bertemakan pengembangan diri itu kepada Hadi. Hadi langsung menerima dan matanya terpaku menatap judul pada buku, ia belum membuka nya. Agam meraih buku novel lalu membuka dan mulai membaca nya. Tidak lama dari itu, Hadi menirunya, ia membuka lembar pertama dan mulai membaca daftar isi nya. Banyak sekali yang tertuang di sana, banyak poin dari bab yang disampaikan, Hadi membaca bab pertama terlebih dahulu, ia membaca dengan pelan poin pertama dari bab tersebut.

Hening.

Tidak ada cengkerama, kedua nya tengah fokus membaca buku yang sejak tadi bersanding di tangannya, butuh waktu yang tidak sebentar jika harus menghabiskan satu buku itu. Agam menaruh bukunya, ia menatap Hadi yang masih fokus bergelut dengan aktivitasnya, perasaan Agam merasa tenang, sungguh bahagia, meski baru ada secercah asa yang ia temukan dari mata itu. Agam menyudahi Hadi, ia menyuruh Hadi untuk beristirahat sejenak, menatap langit yang tidak terik dan tidak gelap itu. Hadi menurut saja, ia menandai halaman terakhir dibacanya dengan bookmark. Menutup buku lalu menatap langit yang tidak menyilaukan mata, awan nya begitu indah, meski tidak terlihat jelas, jika diperhatikan dengan seksama, awan bergerak sangat lamban, tetapi peristiwa itu membuat hati seseorang merasa damai, bagian dari keindahan yang Tuhan ciptakan. Hadi sampai tidak berkedip, sungguh menikmati pesona langit kala itu.

Agam hendak mengantarkan Hadi pulang ke rumahnya, ia meminta Hadi untuk membawa buku itu, untuk di baca dan sebagai proses penyembuhannya.

Kamar yang mula nya lembab dan sendu itu kini seakan telah bernyawa, penerang nya masih sama, cat tembok nya masih sama, hanya saja saat ini terlihat berbeda, mulai ada warna yang merasuk ke dalam kamar itu. Hadi sedang membaca buku tadi, ia duduk di lantai bersama meja kecil sebagai tumpuan buku, seperti yang dikatakan Agam, matanya tumbuh secercah asa yang telah lama memudar, dan itu menjadi awal perjuangannya.

Otaknya mulai ada aktivitas, berpikir sebab sedang mencerna setiap kalimat yang tertulis di dalam buku.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar sana, Hadi masih fokus, namun ketika pintu itu mulai terbuka, fokusnya teralihkan, ia meluruskan kepala dan melihat putrinya sudah berada di sana.

Nindi membawakan satu piring berisikan roti tawar dan susu putih sebagai topping, ia juga membawa segelas air untuk ayahnya. Ia tidak menyangka, Agam berhasil membuat Hadi mengenali dirinya kembali, meski baru secuil, tetapi itu merupakan perubahan yang terbilang sulit, bahkan dirinya pun belum mampu membawa perubahan itu.

Bodoh. Nindi amat bodoh. Seharusnya dirinya, bukan Agam. Bertahun-tahun ia baru menyadari itu, sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak dahulu, hanya menemani, tidak lebih, tetapi ia tidak melakukan apapun. Abai sekali, bertahun-tahun lama nya ia sungguh abai dengan sakit yang Hadi alami, bahkan ayahnya harus menghadapi itu sendirian, istrinya tidak mungkin bisa, tetapi putrinya? Ia justru enggan.

Kata andai mulai merambah, mengusik matanya hingga perih, urat-urat mata mulai memerah, Nindi menangis di balik pintu yang tertutup, ia terisak di sana, tetapi tangannya menahan suara itu agar tidak jelas terdengar. Sesal adalah satu kata yang menggambarkan perasaannya saat ini, ia sungguh egois, tidak memikirkan manusia yang hampir mati, manusia yang hampir terbunuh oleh pikirannya sendiri, seharusnya Nindi menjadi penengah, seharusnya ia lebih mengutamakan jiwa yang hampir mati itu, seharusnya, dan seharusnya, kata andai lagi-lagi kembali mengusik.

Perasaannya berkecamuk di dalam, dibayang-bayangi oleh penyesalan dan rasa bersalah. Ia adalah seorang pembunuh, berani bermain-main dengan benda tajam, membuat seseorang terluka hingga harus mengalami masa kritis. Lantas, apa beda nya hal itu dengan perlakuan yang ia lakukan kepada ayahnya, bukankah itu sama saja, membiarkan seseorang terbunuh, munafik sekali jika seseorang menyangkal pernyataan itu.

Taman. Rerumputan hijau dan bunga mawar tertanam elok di sana. Sebuah kanvas dengan easel sebagai penyanggah berada di sana, di sebelah nya terdapat cat acrylic, kuas, juga kursi kayu yang ukuran nya tidak terlalu tinggi. Alat lukis itu disiapkan untuk dua orang, Agam dan Hadi. Diperbolehkan melukis apapun yang ada di dalam benak. Agam sudah mulai mencelupkan kuas nya pada cat, imajinasinya sungguh cepat, kuas dengan warna hijau itu mulai ia tumpahkan di atas kanvas, membuat warna dasar dan mencampurkan dengan warna lain sebagai permulaan. Hadi menoleh ke sebelah, ia terpaku dengan pergerakan Agam, warna-warna yang ia lukis sangat indah, Hadi menyukai kombinasi warna itu. Ia pun mulai menirunya kembali.

Kanvas putih, dan acrylic painting, Hadi menuangkan cat warna biru di atas acrylic, ia juga menuangkan sedikit warna putih di atas nya lalu di aduk perlahan, kombinasi warna itu di aplikasikan pada kanvas untuk melukis langit, ia mencampurkan warna putih kembali di atas kombinasi warna tadi untuk melukis warna langit yang lebih muda lagi. Hadi menumpahkan sedikit cat warna putih lagi di atas warna tadi, ia menyapu kanvas dengan kuas hingga keseluruhan. Hatinya begitu damai, pikirannya mulai bekerja kembali, imajinasi itu tampak mengalir begitu saja.

Selanjutnya, Hadi menggunakan kuas datar itu untuk melukis tanaman, memberikan warna hijau tua dan mulai berimajinasi kembali, tangannya begitu lihai, ia mulai mengingat keahliannya. Dedaunan kecil terlukis di sana, Hadi menggunakan kuas yang lebih kecil untuk menggambar sudut-sudut kecil. Setelah itu, ia melukis awan dengan cat putih, menampilkan nuansa langit yang biru dan indah. Tahap terakhir, Hadi menuangkan cat berwarna merah muda di atas acrylic, membuat titik-titik di atas tanaman untuk melukis bunga, ia juga menggabungkan warna itu dengan warna merah muda yang lebih terang, tampak sekali bunga-bunga indah berwarna merah muda di sana.

Satu jam telah berlalu, Agam selesai lebih dahulu, ia menoleh ke arah Hadi dan memperhatikan wajah itu kembali, ada perbedaan di sana, Hadi mulai mengalami perubahan, dahulu ia sangat senang menggambar, menggunakan pensil, pena, cat warna, ataupun menggambar dalam bentuk digital, Hadi sangat menyukai bidang itu. Kuas itu sangat cocok dengan tangannya, mereka kembali bersahabat, menari bersama untuk membentuk keindahan.

Hadi menaruh kuasnya, ia memundurkan sedikit kursi untuk melihat dengan jelas hasil lukisannya. Mata Hadi terpana, bahkan tidak sempat berkedip, ia mematung di sana, sungguh tidak percaya kini dirinya bisa melakukan itu kembali, sesuatu yang telah lama tidak ia jumpai, bahkan selama bertahun-tahun ini membuat lingkaran pun tidak mampu. Taman bunga dengan langit biru adalah lukisan pertama dalam masa pemulihannya.

_________________________

Setiap penyakit pasti ada obat nya, yakinlah kau pasti bisa sembuh 🤗

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang