34. Warna yang Hilang

11 3 2
                                    

(Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, silakan tinggalkan pesan.....)

Sudah lebih dari sepuluh kali, Leo menghubungi Bagas melalui panggilan telepon. Wajahnya sungguh panik, ia mengirimkan banyak pesan yang mengatakan dimana dirinya berada. Ia cemas jikalau ada kejadian buruk yang menimpa Bagas malam ini, sebab ia teringat dengan kejadian-kejadian sebelumnya, Bagas sulit dihubungi dan rupa nya hal naas itu kembali terulang.

Seketika Leo teringat, ia telah meminta Bagas untuk saling memasang sebuah aplikasi berbagi lokasi di ponsel. Hal itu Leo lakukan karena kejadian di Tangerang beberapa waktu lalu yang menimpa Bagas, saat Bagas terkulai lemas di sebuah ruko terbengkalai lalu seorang gadis menolongnya.

Leo membuka aplikasi tersebut dan mulai melacak lokasi Bagas.

***

"Bangun!" Ferdy menggertak. Ia menendang tubuh Bagas dengan sengaja untuk memancingnya agar kembali bangun.

Bagas masih sepenuhnya sadar, ia hanya pasrah akan diapakan dirinya oleh Ferdy. Rasa sakit dan sesak yang dialami korban tidak sebanding dengan rasa sakit yang Bagas alami, bahkan hal itu tidak cukup membayar semua perilaku keji yang ayahnya perbuat. Bukan hanya korban yang merasakan sesak, tetapi keluarga korban juga ikut merasakan nya. Bagas memikirkan itu ratusan kali. Merasa harus dan pantas menerima hal ini. Ia terjebak dalam kurungannya sendiri.

Ketika mendengar Ferdy meminta ia untuk segera bangun, Bagas menyetujui. Ia mulai menggerakkan tubuhnya kembali, beranjak dan berdiri hingga Ferdy harus menatap dengan mendongakkan kepalanya.

Itu adalah jebakan.

Ferdy kembali memukul wajah Bagas menggunakan tangannya, seketika tetesan darah terpental keluar dari hidung Bagas. Bagas masih dalam posisi berdiri meski keadaan tubuhnya sudah mulai melemas, ia sudah tidak sanggup untuk berdiri dengan tegap. Ferdy melakukan teknik itu lagi, menendang bagian wajah Bagas menggunakan kaki dengan balutan sepatu kulitnya. Bagas terjatuh, terkulai lemas di sana. Kesadarannya hampir hilang, sekitar matanya sudah lebam, dan sulit untuk mengatur napasnya kembali, ia pun pingsan dalam keadaan seperti itu.

Ferdy dan tiga orang anak buahnya pergi meninggalkan Bagas begitu saja, mereka berlari menuju kendaraan motornya. Menyelipkan kunci motor di sana dan langsung tancap gas, tanpa ada perasaan bersalah dalam hatinya. Ferdy menumbuhkan dendam kepada seseorang yang tidak seharusnya mendapatkan itu, ia telah menghukum orang yang tidak bersalah, melibatkan sesuatu tanpa jiwa yang bijak.

Leo hampir tiba di titik lokasi keberadaan Bagas, ia menyusuri jalanan sepi bersama hujan yang tidak kunjung padam. Perasaannya campur aduk, kecemasan semakin membuat ia berpikir macam-macam. Ia melewati barisan ruko yang sudah terbengkalai, lampu bohlam berwarna kuning terpasang di sana sebagai penerang jalan.

Leo berpapasan dengan dua pengendara motor dengan satu penumpang di masing-masing kendaraannya, ia melihat empat orang lelaki itu berkendara dengan ngebut dan ugal-ugalan, bukan karena sedang bersenang-senang, tetapi seperti sedang lari dari sesuatu yang mungkin mengejar mereka. Kabur.

TINN!! TINN!!

Leo menekan tombol klakson dengan kasar, ia memukul-mukul stir mobil karena telah menyadari alasan mengapa empat orang lelaki itu berkendara kalang kabut.

Leo memencet tombol untuk membuka jendela mobilnya. Kepalanya menyembul ke luar jendela.

"Dasar sialan. Orang-orang sampah!" hanya Bagas yang dapat membangkitkan amarah Leo.

Ia membuka pintu mobil dan berniat untuk mengejar mereka, masih berteriak memanggil-manggil mereka. Gemuruh guntur mengagetkan Leo, langkahnya terhenti, ia kembali teringat dengan Bagas.

Ferdy bersama ketiga komplotannya semakin mempercepat laju kendaraan, mereka sama sekali tidak menoleh sebab ketakutan wajahnya akan diketahui oleh Leo.

Leo menyudahi kalimat umpatan yang sedari tadi ia lemparkan untuk melampiaskan amarahnya. Ia langsung kembali ke dalam mobil, dan bergegas menemukan Bagas yang sudah pasti dalam keadaan tidak baik-baik saja. Napasnya terengah-engah, wajah Leo memerah, ia benar-benar sedang dikendalikan oleh amarah. Ingin sekali menghabisi orang-orang itu.

Leo melihat ada sebuah mobil berwarna putih yang terparkir di sisi jalan, setelah membaca plat mobil itu, ia langsung mengenali bahwa itu adalah mobil milik Bagas. Ia memarkirkan mobilnya, membuka kenop pintu, dan langsung berlari menyusuri gang kecil yang remang dan sepi, mengabaikan rintik hujan yang membasahi pakaiannya.

Tiba di ujung gang, ia menemukan Bagas tergeletak di tanah dalam keadaan luka di wajah yang cukup serius. Bagas pingsan. Leo mengangkat sebagian tubuh Bagas untuk menaruh di pangkuannya, ia menyandarkan kepala Bagas tepat di pangkuannya, melihat wajah itu yang hampir seluruh nya tertutupi oleh luka. Leo kembali berteriak mengeluarkan kalimat-kalimat umpatan, ia sungguh marah mendapati orang yang sudah ia anggap seperti adiknya itu dalam keadaan hancur begini. Seketika air matanya menetes, bersama rintik hujan yang belum kunjung menyudahi kebiasaan nya.

Leo membopong tubuh Bagas untuk sampai di dalam mobilnya, ia merasakan hawa dingin dari tubuh Bagas, napas Bagas terasa hangat berhembus di tengkuk lehernya, tubuhnya hampir membeku. Guntur kembali bergemuruh, kilatan cahaya dari langit menyilaukan matanya, ia berusaha sekuat tenaga membopong tubuh Bagas di atas punggungnya. Leo belum sempat untuk menyeka air mata yang sejak tadi berderai di pipinya, tanpa ia seka air mata itu telah hanyut bersamaan dengan air hujan.

Tidak ada satu orang pun yang menyangka, dua insan dengan dua kepribadian yang berbeda itu memiliki perasaan yang hangat. Mereka juga bisa terluka, memiliki setumpuk masalah, merasakan cemas, dan menitikkan air mata.

***

Area parkir Daily Restaurant, tidak lagi disinggahi sesosok lelaki tampan dengan senyum indah, tidak ada lagi lesung pipit yang menyapa. Tidak ada mobil yang menanti kepulangan seorang gadis, area parkir yang luas itu amat kosong seakan tidak bernyawa.

Nindi termangu, berdiri dengan tote bag yang tersemat di lengannya. Ia diam menatap area parkir tanpa Bagas yang menanti kedatangannya. Satu minggu, ia masih menantikan moment itu kembali, menyimpan angan dalam hati dan menahan kerisauan. Sepotong sandwich dan susu stroberi kesukaannya, menjadi hidangan yang penuh makna. Akan tetapi, hilang makna ketika lelaki itu tidak lagi muncul di hadapannya. Bagas menghilang tanpa kabar.

Tiba di stasiun Duri, Nindi memasuki gate dan men-tap kartu kereta, berjalan menuju peron dan menunggu keretanya di sana. Kereta yang akan mengantarkan Nindi menuju kota Tangerang pun tiba, ia mulai memasuki gerbong dan memilih untuk berdiri meski banyak kursi kosong di sana. Tangannya mengapit pada hand strap, wajahnya lesu, ada kekecewaan yang berlabuh di sana. Benaknya dipenuhi oleh tanda tanya, mengapa lelaki itu pergi begitu saja tanpa ada sepatah kata pun yang ia selipkan untukku.

Stasiun Tangerang, pintu gerbong sebelah kanan terbuka, Nindi menurunkan kakinya kemudian berjalan menuju pintu keluar. Biasa nya Bagas selalu datang di tempat dan di waktu yang tidak pernah ia duga, Nindi sungguh mengharapkan itu. Ia berharap malam ini ketika ia berada di pintu keluar stasiun, Bagas menampakkan dirinya dan mengantarkan Nindi pulang kembali. Akan tetapi, ketika ia tiba di pintu keluar, tidak ada sosok itu yang sejak tadi menjadi tokoh khayalannya. Mata Nindi memutari setiap sudut di sana tetapi tidak ada Bagas yang tengah menantinya.

Nindi berjalan kaki menyusuri jalanan sepi, menenteng satu kantung plastik yang di dalam nya berisi sandwich dan susu rasa stroberi, ia enggan untuk menyantap hidangan itu, hidangan penuh makna yang kini makna nya kian memudar.

__________________

Kira-kira Bagas kenapa ya, apa dia masih bisa diselamatkan? 😭

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang