Pagi berhembus diiringi dengan lirihan angin yang menyapu dedaunan tepi jalan, suasana rumah yang tenang tidak terdengar suara beberapa manusia yang tengah mengobrol, kericuhan dipagi hari tidak dirasakan oleh orang-orang yang menghuni di rumah itu, terdengar suara langkah kaki dan gerakan tangan seraya merapikan tempat ia melepas penat di malam hari, tubuhnya yang mungil membuat ia cepat dalam beraktivitas.
Terlihat seorang wanita paruh baya tengah tertidur di dalam kamar yang hanya terisi beberapa perabotan rumah tangga, nampak nya rumah itu sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Ada seorang gadis berparas cantik, berkulit putih pucat tanpa riasan juga dengan gaya rambutnya yang diikat asal membuat anak-anak rambutnya terurai di sekitar dahi hingga pelipisnya. Gadis berbadan mungil berusia 21 tahun itu bernama Nindita Wardani, raut wajahnya yang datar dan tak secuil pun garis senyum menghiasi wajah redupnya.
Wanita paruh baya yang tengah tertidur itu merupakan ibunya. Seraya memakaikan tas ransel di bahu, gadis itu menyuapkan beberapa sendok nasi dan sayur bening bayam untuk ibunya, dilanjutkan dengan segelas air putih yang sudah ia taruh sedotan berwarna putih untuk ibunya minum.
Nindi langsung bergegas menuju Stasiun Tangerang yang jarak nya hanya tiga ratus meter dari rumahnya, ia melakukan nya dengan berjalan kaki, dengan langkah kakinya yang cekatan tidak butuh waktu lama untuk sampai ke stasiun.
Pukul enam pagi adalah waktu ramai di sebuah stasiun karena di waktu itu semua pegawai maupun siswa berbondong-bondong untuk berangkat bekerja atau sekolah. Nindi yang sudah terbiasa dengan suasana itu yang dipikirannya hanya naik lalu turun. Kurang dari tiga puluh menit kereta yang mengantarkannya menuju kota Jakarta akhirnya tiba. Arloji yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit, Nindi hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke Blue MartYa, Nindi adalah seorang pegawai Minimarket yang gerai nya sudah tersebar di seluruh penjuru Indonesia, ia menjabat sebagai Kasir. Keahlian Nindi di bidang itu ialah tangan dan kakinya yang cepat, otaknya yang cerdas sehingga ia cukup dipercaya oleh atasannya.
***
"Nindi, tolong ambilkan plastik ukuran sedang di lemari ya!" pinta seorang lelaki dengan suara yang tegas.
Tidak perlu menjawab Nindi langsung mengambil plastik berukuran sedang yang ia taruh di dalam lemari.
Hari itu seperti biasa Blue Mart selalu ramai pembeli, tidak ada pembicaraan atau obrolan selain mengenai pekerjaan, yang dilakukan Nindi setiap hari nya hanya bekerja dengan baik tanpa ada banyak patah kata yang dikeluarkan dari mulutnya, seolah tangan dan kakinya saja lah yang dibutuhkan. Rekan-rekannya pun sampai dibuat bingung dan geleng-geleng kepala melihat kepribadian Nindi yang muram, tidak sedikit yang membenci sifatnya. Namun, Nindi tidak pernah menghiraukan penilaian dari orang lain, karena baginya orang berkelakuan baik hanya untuk mereka yang memiliki banyak uang.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, shift Nindi telah selesai, ia langsung merapikan barang-barangnya lalu memasukkan nya ke dalam ransel. Tanpa berpamitan dengan rekan yang melanjutkan shift nya, Nindi bergegas pergi dengan menaiki bus seperempat, ia sampai di sebuah Restoran yang jarak nya hanya lima belas menit dari Blue Mart. Restoran itu bernama Daily Restaurant. Di sana ia mengerjakan pekerjaan paruh waktu untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Nindi adalah gadis murung yang hidupnya hanya mementingkan uang, gadis beruntung yang masih memiliki orang tua lengkap, sekaligus gadis malang yang tidak mendapatkan kasih sayang semestinya dari sosok ayah dan ibu.
Nindi baru sampai rumah pada pukul sepuluh malam, aktivitas pertamanya sepulang kerja yaitu mendatangi kamar ibunya. Wanita itu tampak terbaring lemah di kasur karena tubuhnya yang lumpuh, ia hanya bisa menjatuhkan harapan kepada Nindi sang buah hati satu-satunya.
Wanita paruh baya itu bernama Ani Larasati, ia sudah terbaring kaku selama delapan tahun.
Ani mengidap penyakit stroke, pengobatan sudah dilakukan kesana-kemari namun takdir yang seperti itu terus ditekankan padanya. Tuhan pernah memberinya kesempatan untuk bisa berjalan kembali, namun hanya selama tiga bulan saja, Ani terjatuh kembali dari atas kursi yang pada akhirnya ranjang lah tempat ia menghabiskan sisa hidupnya.***
Keesokan hari nya,
"Nin, tolong ambilkan aku kursi, aku mau taruh barang ini ke ambalan paling atas!" pinta seorang wanita yang memiliki nama Ratna. Ia adalah rekan kerja Nindi yang sudah lebih lama bekerja di perusahaan retail itu.
Nindi mengambilkan kursi itu dengan cara mendorong kasar menggunakan kakinya, gesekan dari kursi itu menimbulkan suara bising. Ratna pun kesal. Nindi memang amat tidak sopan.
"Bisa gunakan tanganmu tidak?" bentak Ratna. Kedua mata itu melotot dan masih berusaha untuk menahan diri agar tidak terbawa emosi, meski ia sudah lama menaruh benci pada gadis itu.
Mendengar omelan dari Ratna, Nindi hanya diam dan tidak menggubris ucapan yang dikeluarkan dari mulut rekannya itu.
"Hei, kau tidak punya mulut ya!" lanjut Ratna sembari menyudutkan jari telunjuk ke wajah Nindi dengan raut yang sudah memerah karena amarahnya sudah berada di puncak.
Jawaban Nindi merupakan awal mula api itu merambat.
"Tidak lihat tanganku sedang pegang apa?" Nindi menjawab sambil masih menenteng barang-barang yang tadi nya hendak ia display ke rak. Tanpa ba-bi-bu ia langsung menaruh semua barang yang dipegangnya di lantai, diletakkan begitu saja.
Lalu gadis itu pergi dengan seenaknya. Ratna berniat untuk memukulnya tetapi Nindi sudah terlanjur pergi.
Di area meja kasir terlihat seorang lelaki berpostur tegap dan tinggi, memiliki wajah yang matang, dan berkulit sawo matang. Rupa nya sedari tadi lelaki itu mendengarkan perdebatan Ratna dan Nindi dari balik rak. Ia merupakan seorang Head Store yang memiliki nama Handika Putra Siregar. Pegawai-pegawai di sana biasa memanggilnya Putra.
Nindi sudah berdiri di depan komputer dengan raut wajah tanpa nada, tanpa emosi, dan tanpa rasa. Gadis itu melanjutkan kembali pekerjaannya, merapikan barang-barang yang bertengger di area kasir, membersihkan debu-debu tipis menggunakan kemoceng, menghitung kembali uang kasir dan menyinkronkan nya dengan jumlah penjualan serta jumlah pengeluaran. Ia selalu menyimpan buku catatan kecil untuk mencatat pengeluaran hari ini agar ketika penutupan kasir nanti tidak ada selisih apapun.
Nindi selalu fokus dengan apa yang tengah dikerjakannya, ia tidak pernah menghiraukan rekan-rekannya yang berlalu-lalang atau tawa-tawa riang yang menjadi pemecah kesunyian. Gadis itu hanya melemparkan senyumnya kepada para pembeli yang datang berbelanja. Ketika tersenyum wajahnya terlihat begitu manis, tahi lalat tipis di buah pipinya membuat wajah itu semakin ayu, namun keindahan itu hanya bisa dilihat ketika Nindi sedang berinteraksi dengan pembeli. Mungkin pujian ayu nan manis itu hanya bagi sang pembeli, tidak dengan rekan-rekannya di sana.
Putra bertanya kepada gadis dingin yang bernama Nindi itu, "Kau tidak bisa bersosialisasi dengan pegawai-pegawai di sini?"
"Aku di sini hanya ingin bekerja. Bukankah itu sudah cukup."
___________________
Nindi adalah seseorang yang berkepribadian introvert, orang yang berkepribadian pendiam, kaku, dan terbiasa menyembunyikan perasaannya. Sering kita temui orang yang memiliki sifat seperti itu, atau justru kamu lah sosok yang sama seperti Nindi?
Sebenarnya apakah yang membuat Nindi sulit mempercayai orang lain, dan seperti apakah kehidupan masa lalu keluarganya? Kita sama-sama telaah yuk di Bab selanjutnya.
Aku sangat membutuhkan kritik dan saran dari teman-teman, jangan lupa tinggalkan komentar dan vote karyaku ya! 🤗
Ini visual Nindi ya, next aku akan kasih visual cast yang lainnya juga.
Nindi kelihatan berantakan ya, tapi sebenarnya dia cantik banget tahu, cuma belum dipoles aja. Hihi. Semoga kalian suka dengan cerita 'Jalan Menuju Pulih' ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Pulih
عاطفيةBerdamai dengan masa lalu merupakan proses paling berpengaruh dalam membentuk masa depan, ingatan pahit itu sama seperti luka, merobek permukaan kulit, berdarah, dan membekas. Nindi harus berkawan dengan sepi, ia menutupi kisah menyakitkan itu hingg...