40. Agam

10 3 4
                                    

Seorang lelaki berusia 45 tahun menghentikan aktivitas Nindi, lelaki itu sedang berdiri di depan kasir dan tersenyum menatap Nindi. Ia bukan ingin berbelanja, melainkan ingin mengatakan sesuatu.

"Salam kenal, aku Agam." Agam. Ia menjulurkan tangan kanannya hendak bersalaman dengan Nindi, senyumnya begitu ramah hingga matanya menyipit.

Nindi membalas tangan itu, ia tampak kebingungan sebab sama sekali tidak mengenal siapa Agam.

"Bagaimana kabar ayahmu?" Agam menurunkan tangannya. Menyudahi sesi bersalaman tadi.

Nindi makin kebingungan, raut wajahnya dipenuhi pertanyaan, siapakah orang ini.

Agam tersenyum sambil menundukkan kepala, ia terlupa akan suatu hal, semestinya ia menjelaskan terlebih dahulu mengenai hubungannya dengan Hadi. Ia pun kembali menatap Nindi dan mulai menjelaskan padanya.

"Aku teman ayahmu, kami pernah bekerja dalam satu project komik digital."

Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi otak Nindi akhir nya terjawab sudah, Nindi tersenyum kepada Agam yang sejak tadi tidak henti menyunggingkan senyum.

"Kabar ayah masih sama seperti sebelumnya." Nindi menunduk. Ia mengalihkan pikirannya dengan merapikan plastik-plastik belanja yang ada di laci kasir.

Agam tidak terkejut, seakan sudah mengetahui keadaan Hadi saat ini, ia hanya ingin memastikan praduganya benar.

"Kau bisa mengantarku bertemu dengannya?" bertahun-tahun bekerja bersama Hadi, membuat Agam sudah merasa dekat dengannya, mungkin tidak bagi Hadi, Hadi berbeda, ia selalu menutupi lukanya sendiri yang sudah jelas terlihat oleh Agam.

Akan tetapi, Nindi menolak.

"Tidak bisa, aku masih harus bekerja sampai malam." Nindi masih melakukan aktivitasnya, merapikan tumpukan plastik yang sudah keluar dari bungkusan nya.

"Baiklah, aku akan menunggumu." Agam mengerti. Ia rela menunggu Nindi hingga malam hari demi bisa bertemu dengan temannya.

Nindi tidak menjawab, apalagi memberikan keringanan, ia juga tidak menoleh. Agam pun berpamitan dan tersenyum, meski senyumnya sama sekali tidak dilirik oleh gadis itu.

Pukul 21:30, Nindi menuju dapur, ia mencari keberadaan alat pel lalu mencuci nya terlebih dahulu sebelum digunakan. Setelah selesai dicuci, ia langsung menuju area customer sambil membawa ember pel yang di dalam nya sudah diisi air sabun lantai. Lantai Daily Restaurant hari ini tidak terlalu kotor, membuat Nindi dapat dengan mudah membersihkan nya.

Dina menghampiri Nindi, ia menyapa Nindi yang sedang melepaskan apron dan memakai hoodie.

"Lelaki tampan itu kok tidak terlihat lagi?" Dina mengatakan itu dengan nada yang lembut. Ia adalah wanita yang ceria dan satu-satu nya pegawai yang ingin selalu dekat dengan Nindi.

"Entahlah, aku juga tidak tahu." Nindi membalas perkataan Dina dengan wajah yang datar. Meski sebenarnya ada kekecewaan yang masih ia sembunyikan rapat-rapat.

"Menurutku, ia tidak akan semudah itu melupakanmu." Dina sangat percaya diri ketika menyatakan pendapatnya. Ia masih membuntuti Nindi.

Seketika Nindi terdiam, ia menghentikan aktivitasnya. Sorot matanya menampilkan harap, gara-gara ucapan Dina, Nindi jadi berandai-andai lagi.

"Kau jangan berpikiran macam-macam, ya. Percaya saja denganku." Dina terkekeh. Ia tertawa kecil dan masih kokoh dengan pendiriannya, meminta Nindi untuk meyakinkan hatinya bahwa Bagas tidak akan pernah meninggalkannya.

Nindi menurut saja, ia mengangguk tanda menyetujui, tidak ingin memperumit opini Dina.

Nindi berjalan menuju pintu keluar, ia berpamitan dengan rekan-rekan yang lain, Dina yang paling bersemangat menanggapi Nindi.

Mobil sedang terparkir di area Daily Restaurant, mobil itu bukan milik Bagas. Nindi tidak tahu itu milik siapa, tidak ingin membuang-buang tenaga untuk berpikir tentang hal itu, ia pun melanjutkan perjalanannya menuju stasiun Duri. Akan tetapi, suara klakson menghentikan langkah gadis itu, ia sontak menoleh ke belakang, dan rupa nya mobil itu adalah milik Agam.

Agam keluar dari dalam mobil, ia melambaikan tangan dan tersenyum kepada Nindi. Nindi tidak membalas sapaan itu, ia hanya diam berdiri di sana tanpa menatap ke arahnya.

"Kau masih punya janji denganku, kan?" Agam berjalan mendekat ke arah Nindi. Ia sedang menagih janji Nindi yang akan mengantarnya menemui Hadi.

"Apa alasan om ingin bertemu dengan ayahku?" Nindi tidak langsung menyetujui. Ia terlebih dahulu memberikan pertanyaan kepada Agam sebelum dirinya membuat keputusan.

"Aku ingin membawanya pulang, mengeluarkannya dari dunia gelap buatannya sendiri."

Nindi termangu, berusaha memahami setiap kata yang baru saja diucapkan Agam.

"Masuklah." Agam berjalan menuju mobilnya kembali. Ia duduk di kursi kemudi dan menunggu Nindi di sana.

Tidak ada pilihan lain, Nindi memutuskan untuk menuruti pinta Agam, membawa masuk seseorang ke dalam keluarganya.

Tidak ada obrolan selama dalam perjalanan, Nindi mengatupkan mulutnya rapat-rapat seakan mengunci perbincangan yang mungkin terjadi.

Tiba di rumah, Agam menghembuskan napasnya dengan pelan, ia sudah berdiri tepat di depan rumah Hadi. Melangkah dengan pasti menuju pintu rumah. Sunyi dan sendu. Dua kata yang Agam simpulkan saat menginjakkan kaki di rumah itu.

Nindi memimpin Agam di depan, menuju kamar Hadi yang letak nya paling ujung dekat dengan dapur. Pintu kamar Hadi selalu dalam keadaan tertutup, Nindi mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum membuka nya, tiga ketukan sudah ia lakukan, ia pun meraih kenop pintu lalu membuka nya. Hadi sedang dalam keadaan tertidur, tidur nya begitu nyenyak hingga mendengkur.

Nindi hanya berdiri di sana, membiarkan Agam melakukan apa yang ingin ia lakukan. Agam pun masuk ke dalam kamar dengan pelan, ia duduk di sana menunggu Hadi terbangun dengan sendiri nya.

Lima belas menit telah berlalu, dengkurannya mulai pelan, ia bergerak dan mulai membuka matanya. Telinganya mendengar sesuatu yang bergerak di sebelah sana, Hadi menoleh dan mendapati Agam sudah berada di dalam kamarnya, matanya terbelalak, ia langsung membenarkan posisi tubuhnya dan duduk.

Tubuh Hadi amat tegang, ia masih belum berani menatap Agam di sana, sorot matanya dipenuhi kecemasan, ketika melihat wajah itu, yang ada di benak Hadi hanya impian yang gagal ia raih.

"Aku rindu saat kau tersenyum. Di pagi hari, membuka laptop dan membawa Ipad kesayanganmu." Agam berhasil memecahkan suasana. Tetapi, tidak membuat Hadi menoleh ke arahnya.

"Kau selalu berbicara dengan nada yang lantang, itu karena kau begitu bersemangat. Kau sangat mencintai pekerjaanmu, bahkan kau selalu mencari-cari perhatianku agar dapat ilmu baru dariku."

Hadi terjebak dalam dunianya sendiri, ia tersesat di dalam pikirannya sendiri, tidak terkendali dan akhir nya kelelahan. Kini, ia hampir menyukai tidur, bukan karena ingin, melainkan sebuah pelarian. Hidupnya dibayang-bayangi oleh hal buruk yang paling berpengaruh, belum dapat menyelesaikan kekecewaannya terhadap diri sendiri, ia sudah dihujani oleh ucapan pedih yang bertubi-tubi orang lain lemparkan. Ia hanya mengingat kekecewaan itu, memorinya sama sekali tidak tersisa hal indah ketika dirinya berproses menggapai mimpi. Proses, bukan lagi tentang hasil akhir dari proses, tetapi bagaimana seseorang menjalani bab permulaan itu. Jika ingin menemukan jalan, pusatkan ingatan pada proses itu.

"Kau hebat. Kau bisa membantu menyelesaikan tenggat ku, jatuh dan bangkit, aku mencintai semangatmu."

Agam berdiri, ia mendekat perlahan ke arah Hadi yang masih duduk di atas kasurnya. Sampailah ia di sana, berdiri tepat di hadapan Hadi. Ia menjulurkan tangannya, menatap Hadi yang masih enggan untuk bertemu mata.

"Ceritamu belum berakhir, aku menantikan cerita barumu." Agam tersenyum. Masih tetap dalam pendiriannya, menjulurkan tangan menanti tangan itu bergerak ke arahnya.

_________________________

Hayoooo, masih ingat Agam ngga, yang baca dengan teliti pasti tau dong 🤭

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang