45. Ayah, apa aku layak bahagia?

7 1 2
                                    

Jika ditanya, tidak akan bisa menjawab nya, mengenai alasan mengapa ia tidak bertanya. Kemana saja lelaki itu selama ini, apa yang telah diperbuatnya seakan-akan bersembunyi dari suatu persoalan. Nindi sama sekali tidak terpikirkan mengenai yang seharusnya ia debat kan, rentetan pertanyaan yang semestinya membanjiri Bagas.

Begitu pula sebaliknya, tidak terbesit keinginan bagi Bagas tentang memberikan penjelasan atau alasan mengapa dirinya pergi begitu lama, meninggalkan banyak pertanyaan, juga kesedihan seseorang. Mereka amat acuh, dengan perasaannya sendiri, sesuatu yang seharusnya diungkapkan, tidak mereka lakukan. Hal itu akan sangat bermakna dikemudian hari.

Nindi tiba di kamarnya, membaringkan tubuh di atas kasur dengan kaus kaki juga tas yang masih berada di tubuhnya. Ia memandangi langit-langit, mengingat kembali kejadian tidak terduga yang dialaminya hari ini. Tidak sengaja, bibirnya mulai bergerak membentuk senyum, wajah itu memerah, ingatan tentang lelaki itu kian membuat hatinya berbunga-bunga, Nindi tidak bisa memungkiri, seperti ada yang telah menyalakan lampu ruangan di hatinya, mula nya remang, kini terang benderang.

Hadi mengetuk pintu dengan pelan, ia berdiri di depan pintu kamar Nindi yang dibiarkan terbuka, ia melihat dengan jelas bahwa putrinya sedang tersenyum, ia memahami makna dari senyuman seorang gadis yang sedang menyendiri di dalam kamar, senyuman itu hanya diperuntukkan kepada lelaki. Mulai timbul pertanyaan di benak Hadi.

Nindi masih belum menyadari kehadiran Hadi, sebab ia sedang keasyikkan memutar kembali moment itu.

Hadi melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, kehadirannya membuat Nindi terkejut. Nindi pun membenarkan posisi, menyapa ayahnya dan mengajaknya duduk bersama.

"Ayah tahu isi hatimu saat ini, boleh ayah tebak?" Hadi memulai pembicaraan. Seolah-olah ia sangat mengetahui isi hati putrinya.

Nindi menunduk, ia malu, juga takut, takut tebakan ayahnya benar.

"Siapa lelaki yang sudah membuat putri ayah tersenyum seperti tadi." Hadi tersenyum. Senyumnya makin melebar ketika melihat Nindi tertunduk malu.

Hadi menggerakkan tangannya, menuju kepala Nindi, mengelus dengan lembut sambil terus bergumam dalam hati. "Ayah yakin lelaki itu yang terbaik untukmu, yang terbaik bukan berarti harus selamanya indah, jika ia berhasil membuka pikiranmu—itu juga termasuk yang terbaik, nak."

Nindi mengangguk pelan, memberanikan diri untuk menegakkan kepala, menoleh ke arah ayahnya dan tersenyum. Hadi langsung memahami sikap putrinya, sebetulnya ia belum benar-benar tahu hal apa saja yang mungkin terjadi jika gadis kecilnya itu dekat dengan seorang lelaki. Hadi sudah menemukan jalan menuju pulih, akan tetapi, hal itu belum dirasakan oleh putrinya, ia masih ragu.

"Ayah percaya padamu, apapun jalan yang kau pilih, kelak hal indah akan kau dapatkan." matanya menatap langit-langit kamar seolah adegan romansa sedang berputar di sana. "Letak kebahagiaan ada pada dirimu sendiri, kau berdiri di atas kakimu sendiri, kau lah yang lebih berhak atas kebahagiaanmu." Hadi melanjutkan kalimatnya. Kalimat teduh yang makin sering ia ucapkan semenjak dirinya sembuh.

Nindi menoleh pada lelaki yang ada di sebelahnya, melihat wajah teduh yang akan sering ia temui, kemudian kembali meluruskan kepala dan tersenyum.

"Aku dipertemukan dengan seorang lelaki, ia memiliki banyak warna, aku tidak menemukan warna hitam atau kelabu di sana. Lelaki itu sangat berbeda denganku, itu sebab nya aku menyukainya." tanpa ragu—Nindi mengucapkan kalimat itu. Membeberkan perasaannya kepada sosok ayah yang kini menjadi buku hariannya.

Hadi termangu. Tidak lagi menatap langit-langit kamar, adegan romansa di atas sana berubah menjadi sesuatu yang paling ia takuti. Bagaimana tidak, ia sedang dihadapkan oleh rasa percaya yang paling ia takuti. Hadi sembuh berkat bantuan dari Agam, tetapi tidak semua orang seberuntung dirinya, dan tidak semua orang bisa seperti Agam.

Kalimat teduh yang baru saja diucapkan Hadi—bukan sebuah penyemangat, melainkan nasihat.

"Ayah, apakah aku akan bahagia? Apa aku pantas mendapatkan itu, sedangkan aku telah melukai orang lain."

Lelaki paruh baya itu menunduk. Sekitar pelipisnya bermunculan buliran keringat, mendengar pertanyaan dari putrinya—membuat ia tampak gelisah.

"Nak.."

Hadi meraih tangan putrinya, menutupi punggung tangan itu.

"Kau yang lebih tahu apakah kau layak untuk bahagia atau tidak, nak. Berdamailah dengan dirimu, terimalah kesedihanmu, dan akuilah kesalahanmu."

"Jika kau bertanya pada seseorang yang telah membesarkanmu, tentu saja ia akan menjawab— layak— sangat layak. Kau sangat layak bahagia."

"Kelak kau akan menemukan jawaban nya, bersamaan dengan sosok Nindi yang baru. Anak perempuan satu-satu nya, yang sangat Ayah sayangi."

Hadi mengelus lembut punggung tangan Nindi tanpa menoleh. Dari keheningan itu, ia sudah mengetahui hal apa yang singgah di benak gadis itu, tentang takut dan cemasnya, juga kebahagiaan sesaat yang terus menjadi hantu.

_____________________

Bab 45 akhirnya terbit setelah berbulan-bulan lama nya, dan baru bisa sedikit :(

Tapi aku punya kabar gembira, aku mendapatkan banyak rasa selama beberapa bulan terakhir ini, ada sedih, haru, dan bahagia. Lebih banyak haru yang aku dapatkan, dan aku ngga sabar untuk menuangkan nya ke dalam bentuk tulisan.
Eittsss.. Tapi ini bukan kisahku ya, aku hanya memakai semua perasaan yang aku rasakan untuk dijadikan sebagai nyawa di novel ini.

Kuharap kalian suka dengan semua perasaanku 🫶🏻

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang