28. (7) Air Mata Hujan

19 5 9
                                    

Nindi tidak pernah melampaui batas, ia selalu berada di baris paling rendah hingga hampir tidak terlihat. Saking rendah nya, ia membiarkan dirinya ditindas, menahan amarah yang seharusnya ia luapkan, seharusnya Nindi melawan, bukan hanya diam.

Ia belum berkawan dengan amarah, sekali nya berkenalan malah terlalu akrab hingga ia tidak bisa mengendalikan diri, jiwanya jadi rentan dikuasai oleh amarah. Sebab ia belum bisa mengukur sebatas mana amarah itu harus diluapkan, ia belum bisa mengira-ngira seberapa parah kerugian dan penyesalan jika ia hilang kendali. Bukan sebab amarah yang baru saja mengajak berkenalan, tetapi karena anak itu yang terus-menerus menahan.

Pisau itu berhasil menembus kulit bagian perut dan menusuk hingga ke dalam organ vitalnya. Terdengar suara rintihan lirih dari seorang lelaki, ia memegang kulit yang robek nya parah itu dan berusaha menahan rasa sakit yang dideritanya. Tidak berpikir panjang, lelaki bertubuh kekar itu menarik pisau dengan sekuat-kuat nya hingga pisau itu berhasil dicabut. Ia mengerang kesakitan, suara teriakannya terdengar pekik, karena keputusannya itu, ia pun harus merelakan darah dari tubuhnya mengucur lebih deras dari sebelumnya, darah itu akan semakin terkuras habis jika tidak ada pertolongan pertama.

Ani menangis, ia berteriak tetapi suaranya sangat sulit diartikan. Ani sangat terkejut ketika melihat pisau menancap di tubuh seseorang. Ani menangis, ia hampir gila, mengapa? Karena ia melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri bahwa putrinya lah yang melakukan itu.

Nindi mematung di lantai kamar, ia amat tidak menyangka tangannya dengan berani melakukan itu, ia telah melukai seseorang dengan tangannya sendiri. Dalam hati, Nindi menangis dan menjerit, ia dibayang-bayangi oleh rasa takut, tatapan matanya sangat kosong, ia seperti berada di neraka yang akan menghukumnya seumur hidup.

Dalam kekosongannya, lamunannya terhentak, ia kembali tersadar ketika mendengar suara ibunya yang berusaha memanggil-manggil namanya. Nindi melihat lelaki itu sedang kesakitan, darah mengucur sangat deras di bekas tusukan nya, kini ia sudah diambang kematian.

Nindi mulai memutar otak, ia harus berpikiran jernih, tenangkan pikiran dan kembali berpikir. Ia mengambil sebuah selimut lalu dilinting-linting hingga bisa diikat, ia langsung melangkah mendekati lelaki itu dan mengikat kain selimut tadi di perutnya, kain selimut itu sebagai pertolongan pertama, membantu menahan darah agar tidak semakin banyak yang keluar.

Lelaki itu menatap Nindi dengan tatapan gelisah, kini ia merasakan takut yang menjalar di tubuhnya, merasakan rasa sakit dan sesak yang selama ini Nindi hadapi. Wajahnya banjir keringat, mulutnya menganga untuk mengatur napas, terkadang ia menggigit bibir untuk melampiaskan rasa sakit itu. Wajahnya penuh harap, ia sangat mengharapkan pertolongan dari Nindi, rupa nya lelaki itu tidak ingin mati, ia masih ingin hidup.

Peristiwa yang menimpanya kini apakah akan mengubah cara pandangnya dalam memperlakukan orang lain?

***

Seorang wanita cantik terlihat sedang menangis di depan tempat persemayaman terakhir manusia. Dress hitam dengan kain penutup kepala berwarna hitam di kepalanya melambangkan luka dan kesedihan, jemari itu terus mengusap-usap sebuah nisan yang bertuliskan Arief Widiantara. Ada amarah dalam dirinya namun ada perasaan bersalah yang paling menyiksa. Arief harus kehilangan nyawanya tanpa sebab yang jelas, semasa hidupnya ia telah berulang-kali melukai seseorang dan kini ia mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Ia ditikam oleh seorang gadis kecil yang telah ia usik, tetapi pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk menyelamatkannya hingga Arief berhasil mendapatkan perawatan medis di rumah sakit.

Arief harus mendekam lama di sana, ia harus menjalani proses penyembuhan selama berhari-hari. Hingga suatu ketika, Arief pun siuman, ia berhasil selamat dari masa kritisnya. Ia bisa melihat dunia kembali, melihat istri dan putrinya yang tengah menangisinya. Arief melihat ada beberapa polisi yang bertugas menjaga ruangannya, dua diantara mereka mulai memasuki ruangan dan menghampiri Arief yang masih terbaring dalam keadaan sadar. Mereka mulai menginterogasi Arief, melemparkan banyak pertanyaan yang harus ia jawab dengan jujur. Arief tidak bisa mengelak, ia tidak bisa membohongi seorang polisi, wajahnya akan tampak jelas jika ia ketahuan berbohong.

Seseorang memberikan saksi bahwa ia melihat Arief tengah mengintip jendela rumah Nindi. Ia melihat sebuah batu berukuran besar pada genggamannya, memecahkan kaca jendela, kemudian mendobrak pintu rumah.

Selang beberapa hari dari itu, Arief dinyatakan meninggal dunia karena serangan jantung.

Seorang anak perempuan bernama Ayra berada di pelukan Inara, wanita yang tengah menangisi mendiang suaminya. Ayra masih belum mengerti mengapa ibunya harus menangisi sebuah batu dan tumpukan tanah, ia terus merengek dan merajuk ingin segera pergi meninggalkan tempat itu. Bagi Inara, ini adalah sebuah kegagalan, ia tidak bisa menghentikan Arief, selama ini ia hanya menutupi kesalahan suaminya, membiarkan Arief melakukan suatu kejahatan yang kini menjadi bumerang untuknya.

Inara memeluk nisan itu hingga menyentuh dada, ia merasakan hawa dingin di sana, meraba dengan lembut sebuah ukiran yang membentuk nama mendiang suaminya itu. Air mata terus mengucur deras bak air hujan yang membasahi bumi, hidungnya dipenuhi air tangisan, isak membuat bising tempat pemakaman itu, dan isak tangis menjadi teman mereka berdua.

Seseorang berusaha mati-matian menutupi kegelapannya, menunjukkan sisi terang dalam dirinya, menoreh kebahagiaan untuk orang lain, akan tetapi ia kebingungan saat kaki sudah tidak sanggup lagi untuk menahan beban tubuhnya.

"Ayra tidak suka dengan kakak itu, kakak itu wajahnya pucat seperti hantu. Tetapi Ayra bingung, Ayra juga kasihan melihatnya." ucap Ayra dengan suara khas nya yang cempreng dan artikulasi yang masih belum jelas.

Inara mengerti apa yang dikatakan putrinya, ia sontak kaget ketika mendengar Ayra melontarkan kalimat itu. Rupa nya anak itu menyadari sesuatu yang telah terjadi pada keluarganya, Ayra telah melihat gadis kecil itu, ia mengetahui siapa yang telah membuat ibunya menangis. Kelak jika Ayra sudah dewasa, Inara berjanji akan menjelaskan tentang peristiwa ini, tentang kematian ayahnya.

Sejak kejadian itu, Ayra jadi membenci warna hitam, pertama kali ia melihat ibunya menangis adalah saat ibunya sedang mengenakan pakaian berwarna hitam, bahkan barang-barang yang dikenakannya saat itu hampir semuanya berwarna hitam.

***

Hujan lebat mengguyur kota Jakarta, suasana semakin lembab dan sembab, amat sepi namun sesak, pijakan kaki mulai mengeluarkan aroma seperti biasanya, aroma tanah basah yang diguyur hujan, kubangan air dan tanah yang anjlok membuat kaki semakin sulit berpijak dan melangkah, kaki itu sudah sangat lelah menahan bobot tubuhnya hingga belasan tahun lama nya, namun ia harus bersusah payah lagi memilah jalan yang rata dan mengendalikan keseimbangan di atas pijakan yang berlubang.

Seorang anak lelaki berusia 17 tahun berdiri di sebuah pemakaman, kepalanya merunduk, tangannya mengepal dengan begitu kuat, mulutnya seperti akan mengerang menanggapi perasaan marah. Ia melempar payung yang sejak tadi ia gunakan, payung itu terlempar terbang bersama angin. Anak lelaki itu bersimpuh di depan makam mendiang ayahnya, memukul sisi makam dengan kepalan tangan, ia menangis sambil menjerit, menangis di tengah hujan tanpa payung yang melindungi tubuhnya. Ia memejamkan matanya, ada setumpuk emosi yang terkubur di sana, ingin sekali tumpah tetapi harus ia tumpahkan kemana. Tubuhnya pun gemetar diserang oleh amarah dan kedinginan.

Hujan deras membasahi seragam sekolah dengan tanda pengenal yang bertuliskan Bagas Widiantara, seragam putih itu menerawang sangat jelas hingga ke bagian dalam tubuhnya. Rambutnya sudah basah kuyup, berulang kali ia mengelap wajahnya dengan kasar tetapi rintik hujan kembali mengguyur wajahnya. Jerit tangisnya tidak akan bisa menembus deras hujan, rasa sesal menumbuk tubuh Bagas, ia sedang bertengkar dengan dirinya sendiri.

Otaknya mulai berandai-andai, seandainya ia memilih menempuh pendidikan di Indonesia, ia akan menghiasi hidup ayahnya dengan warna-warni, ia tidak akan membiarkan ayahnya melakukan pekerjaan keji. Arief memakai setelan jas bukan karena ia bekerja di sebuah perusahaan, tetapi karena ia sedang menutupi perbuatannya. Ia adalah seorang pelaku kekerasan yang mendapatkan bayaran dari klien.

Bagas masih bersimpuh di sana, membiarkan hujan merobohkan tubuhnya, bibirnya mulai membiru, wajahnya pucat pasi, kulit di sekitar kuku mulai mengerut, dan akhirnya ia tertidur di samping makam ayahnya.

_____________________

Halo, mana nih komen nya, happy reading guys 🌼

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang