12. Luka yang Belum Sembuh

25 12 7
                                    

Di sebuah Restoran ternama daerah Jakarta, mereka menghidangkan makanan ringan hingga makanan berat, suasana di sana cukup ramai dipadati oleh segerombolan keluarga yang tengah menyantap makan malamnya. Anak-anak kecil berseliweran bermain berlarian kesana-kemari dengan teman-teman sebayanya, suara tawa riang mereka memecahkan suasana malam itu.

Ada area indoor yang letak nya sedikit berjauhan dan terpojok, tempat itu lebih sepi dan biasa nya dipakai untuk pertemuan bisnis atau meeting perusahaan. Bagas tengah duduk sendiri menyantap secangkir Coffee Latte Art dengan pola hati, membuat minuman penyegar mata itu semakin cantik menggunakan foam yang dibuat oleh mesin kopi. Di sebelah nya terdapat sepiring nasi putih dan satu porsi menu sapi lada hitam dengan garnis selada juga mentimun.

Bagas tetap asyik menyantap makan malamnya meskipun berbarengan dengan aktivitas mengutak-atik laptop, seorang penulis pasti akan selalu berdampingan dengan benda itu. Bagas sudah bergelut di dunia kepenulisan selama kurang lebih tiga tahun, kemahirannya di bidang itu membuat penerbit yang menerbitkan karyanya meraup keuntungan cukup banyak, terlebih ia dibantu oleh Ilustrator yang membuat ceritanya semakin hidup.

Seorang anak remaja cantik dengan gaun merah kelap-kelip dan gaya rambutnya yang di kuncir dua kiri dan kanan, datang menghampiri Bagas bersama ibunya. Bagas menghentikan aktivitasnya sejenak, ia melihat ke arah remaja itu sambil mempersembahkan senyum manisnya. Anak remaja itu begitu kegirangan ketika melihat lelaki yang diidolakannya, ia menyukai karya Bagas yang sangat memotivasi dan menginspirasi, Bagas selalu menyajikan karya dengan tema kehidupan, baginya karya Bagas itu seperti pembangkit keterpurukan. Ibu dari remaja itu pun meminta izin pada Bagas agar anaknya bisa berfoto dengan Bagas, ia menyiapkan ponsel genggam yang akan digunakan untuk memotret. Bagas pun menyambut dengan hangat dan penuh semangat.

Satu, dua, tiga, cekrek!

Remaja itu tidak henti-henti nya memandangi wajah tampan Bagas. Bukan hanya tampan, Bagas memiliki aura kebahagiaan tersendiri, sosoknya yang ceria kerap membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Setelah selesai memotret, Bagas membungkukkan tubuhnya untuk menyamai tinggi badan gadis itu.

"Gadis manis, sehat-sehat ya."

Gadis remaja itu mengangguk dengan penuh semangat, bola matanya berbinar, ia masih tidak menyangka bisa berbincang dengan penulis favoritnya, ia juga mendapat pujian. Ibu dari remaja itu pun berpamitan dengan Bagas dan mengucapkan terima kasih, karena telah memberikan kesempatan untuk berfoto bersama. Bagas melambaikan tangan pada mereka.

Setelah urusan perutnya sudah selesai dan imajinasinya sudah dituangkan ke dalam sebuah tulisan, Bagas langsung menghampiri kasir dan melakukan pembayaran. Lelaki itu mengemudikan mobil pribadinya melewati gedung-gedung tinggi yang bertengger begitu gagah, juga lampu-lampu jalan yang memperindah suasana malam di kota Jakarta.

Mobil itu berhenti di sebuah rumah megah nan kokoh dengan pekarangan rumah yang luas dan berbagai macam tumbuhan bunga, rerumputan hijau di sana menambah kesan asri dan menyegarkan, apalagi saat pagi hari, halaman rumah Bagas seperti hotel yang ada di Puncak Bogor. Sangat sejuk dan asri. Bagas disambut oleh Pak Satpam yang tengah bertugas di depan, Satpam itu menyapa Bagas dengan ramah, ia menundukkan kepalanya dan menyunggingkan senyuman. Dengan sigap ia langsung membuka pintu gerbang lalu segera menutupnya kembali saat mobil Bagas sudah berhasil masuk.

Bagas langsung disambut oleh bibi yang tengah merapikan meja makan sisa makan malam tadi.

Dengan suara khas medok jawa nya, Bi Imah menyapa Bagas, "Sudah pulang, den? Mau Bibi buatkan minuman hangat?"

Karena Bagas sudah makan dan minum di luar, ia pun menolak tawaran Bi Imah dengan lembut, ia langsung bergegas menuju kamar tidurnya di lantai dua. Rumah Bagas bisa dibilang luas dan mewah, banyak pegawai yang dipekerjakan di sana. Ayah Bagas sudah tiada, jadi ia hanya tinggal bersama ibu dan adik perempuannya. Rumah itu terasa sangat tenang dan damai, tidak ada perkelahian, tidak ada tawa atau tangis yang berlebihan. Bagi Bagas rumah itu adalah satu-satunya kenangan ia bersama ayahnya, banyak memori yang tertanam di sana, banyak ingatan tentang ayahnya yang belum bisa ia lepaskan.

Jalan Menuju PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang