Kenapa dunia gak adil banget sama gue? Pas jadi manusia, derita gue sepenuh langit dan bumi. Menyesakkan. Sedikit sekali ruang buat menikmati oksigen sehat di antara karbon dioksida yang ada. Bahkan, cuma sebatas ngerasain manisnya kisah asmara pun enggak bisa gue rasain. Se-enggak mudah itu buat gue jatuh cinta.
Mungkin, karena sosok bokap, abang, dan adek gue sebagai figure laki-laki yang setiap hari raga dan ekspresi tajamnya berseliweran di indera penglihatan, ucapan ketusnya keluar-masuk indera pendengaran gue, bikin gue jadi 'takut' menaruh hati.
Gue takut aja, orang yang gue puja-puja malah sama mengintimidasinya kayak keluarga gue sendiri. Nanti 'rumahnya' bukan jadi 'rumah'.
Sekarang, ketika tubuh gue berubah jadi kucing hitam begini, dunia juga sama gak adilnya. Kenapa gue harus dipertemukan dengan pria berkharismatik, baik hati, dan pengertian, bernama Ahmad Zaynal? Kenapa juga detak jantung ini rasanya abnormal?
Dalam hal ini, gue dan dia adalah dua spesies yang berbeda--karena gue udah bukan manusia. Bagaimana mungkin cinta ini terealisasi sebagaimana putri raja bertemu dengan pangeran berkuda putih? Apakah takdir hidup gue emang gak selalu beruntung? Sekalinya mengagumi, tidak bisa memiliki. Ah, mungkin ini yang namanya sakit tapi tak berdarah.
Brot!
"Ah, lega banget rasanya."
Yah, setidaknya gue masih bisa buang air besar. Bukannya itu harus disyukuri?
Seperti biasa, pagi buta begini, gue lanjut membersihkan tubuh gue yang lengket-lengket tak nyaman. Berendam di bath-up--ember--sambil memejamkan mata.
"Astagfirullah!"
"Zayn?!" Gue sama kagetnya.
"Meng, saya kira apa tadi item-item di ember. Ternyata kamu! Ya Allah, ini jam tiga pagi, ngapain kamu di sini?" Zayn langsung mengangkat tubuh gue dari ember. Sorot matanya menyiratkan segenap kekhawatiran.
"Kayaknya kamu hobi basah-basahan gini, ya, makanya kemarin hanyut di sungai?" Pria itu membawa gue meninggalkan wc umum. Dengan agak berlari, Zayn membawa gue ke pelataran rumah yang disinggahi peserta KKN perempuan.
Pintu rumahnya terbuka. Dari luar Zayn berseru, "Assalamu'alaikum! Tolong yang udah bangun keluar dulu sebentar."
Tak berselang lama, perempuan teduh, gue sebut begitu karena orang ini keliatan kalem banget. Tudungnya berlabuh panjang, wajahnya tenang dan menenangkan, dan budi pekertinya halus. Kalau tidak salah, nama perempuan ini Sri. Dan Sri inilah yang sering dijodoh-jodohkan teman-teman kelompok KKN ini dengan Zayn. Yaaa ... mereka cocok sih, sama-sama ada hawa surganya.
Skip deh, gue mau mundur alon-alon.
Setelah menjawab salam, Sri terkejut melihat kondisi gue yang basah kuyup begini.
"Tolong kasih hairdryer, Sri. Kasihan Moza kedinginan."
"I-iya, baik, Zayn. Tapi kenapa bisa begini?"
"Saya gak ngerti Sri, tapi Moza kayaknya suka banget basah-basahan deh. Saya temuin dia anteng berendam di ember soalnya."
"Ya Allah, kucing apa ini? Unik banget!" puji Sri yang entah mengapa membuat gue merasa tersanjung, "Ya udah, makasih udah anterin ke sini. Aku bakal keringin Moza."
"Baik, terima kasih, Sri. Saya mau pamit dulu."
"Iya, Zayn."
...
Ok, gue mau meralat keluhan gue tentang hidup ini gak adil. Tapi gak seratus persen sih, masih ada hal-hal yang belum gue terima sepenuh hati. But, at least, gue menerima sebagiannya. Sekurang-kurangnya sedikit menerima bakal bikin gue lebih enjoy ngejalanin 'hidup baru' sebagai kucing berbulu hitam-—kenapa harus bulu hitam? Bukannya sebagian orang nganggep kucing hitam pembawa sial?
Ribuan pertanyaan atas bentuk ingin protes ini, emang belum bisa gue bungkam sepenuhnya dan emang gak mau gue bungkam—-karena pasti ada alesannya entah apa pun itu. Yaa apa pun itu deh, gue mau nikmatin perlakuan lembut Sri yang di pagi buta begini udah gue repotin.
"Kok bisa sih kamu mandi subuh-subuh begini? Aku aja sebagai manusia gak mau mandi jam segini, dingin banget, tau! Mending abis salat subuh atau nunggu langit agak cerahan, baru mandi."
Mau gimana lagi, ya? Gue udah kebal mandi di pagi buta begini pake air dingin. Pas duduk di bangku SMA, gue udah membiasakan mandi pukul tiga pagi. Abis mandi baru deh gue mejeng di depan kanvas, nuangin imajinasi gue di sana. Menurut gue, itu waktu ternyaman buat melukis, karena suasananya tenang dan keadaan otak masih fresh.
Kalau gak ngelukis, biasanya gue bakal nonton film bernuansa fantasi atau nontonin konten orang-orang yang hobi ngelukis buat mengapresiasi karya-karya mereka lewat like dan komen positif, hal itu gue lakuin sambil nyari ilmu dan inspirasi juga. Yaa ... sambil menyelam minum air deh gitu.
"Atau justru kehadiran kamu di sini tuh jadi motivasi biar aku semangat mandi subuh? Biar seger di pagi hari dan wangi-bersih pas salat? Ah, masyaallah ... bisa jadi gitu, ya, Moza?"
Seketika gue merasa terjungkal, tersambar, tergubrak, tertohok, tertampar!
Sri ... murni banget hati lo. Ah, gue pengen nangis. Boleh gak sih gue iri sama yang kayak gini?
Selama bertahun-tahun, yang berputar di otak gue cuma tentang lukisan, lukisan, dan lukisan. Start pukul tiga hanya untuk lukisan semata. Lukisan yang gue puja dan puji, yang gue agung-agungkan, yang gue galaukan, yang gue bela sampai titik darah penghabisan sampai tak tau malu mabuk di acara bokap.
Tapi, Sri ... dia berpikir tentang romansa indah bersama Tuhan lewat ibadah wajib yang telah Dia tekankan kepada hamba-Nya?
Gelenyar aneh terasa jelas di hati gue.
'Tuhan'. Entah selama ini di mana posisi-Nya di hati gue? Entah di nomor berapa gue menaruhnya? Tidak heran, kalau setiap ada masalah larinya ke mabuk-mabukkan terus. Dasar Diandra Setan!
"Moza? Moza mau ke mana?" Sri memanggil ketika gue memilih untuk melenggangkan kaki.
Gue pikir, badan gue udah kering. Lebih baik gue pergi.
Gue gak kuat menerima kenyataan kalau gue udah sejauh itu sama Tuhan.
Tuhan, apakah ada kesempatan untuk si Pendosa ini menjadi pribadi yang lebih baik?
***
Garut, 20 Oktober 2023
Hai hai, apa kabar kalian? ☺️
Sudah lama sekali aku tidak menyapa kalian🤭
Alhamdulillah bisa update setitik nih setelah sekian lama🙈Semoga ceritanya bisa dinikmati yaa🤗
Makasih udah mau baca☺️❤️
Salam hangat, Author
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in Black (Cat)
RandomSaat membuka mata, hatiku terguncang Mahakaryaku dilalap si jago merah Kembali membuka mata, tubuhku berbulu hitam dan berkaki empat Lantas aku bertanya, apa aku dikutuk karena setitik dendam yang membara di hati? Lagi, aku membuka mata, akhirnya k...