Sakit. Teramat. Sangat. Tidak ada kata membaik, mungkin sampai hari nanti. Selama ada trigger—atau mungkin tidak—ingatan pedih itu perlahan akan terus datang sambil mencabik-cabik hati.
Minuman dengan kesenangan sesaat atau obat yang gue konsumsi supaya mencegah ingatan kembali itu, ah, mereka menggoda akal sehat. Mungkin karena hati gue keliatan melambai-lambaikan tangannya, akal ngiranya gue udah gak sanggup. Padahal, cuma hampir gak sanggup. Kewalahan aja sama emosi-emosi yang belum sempat teregulasi akibat lupa ingatan.
Napas gue kerasa berat banget after diserang ingatan tentang Moza, kucing kesayangan gue, yang ternyata dibuang atas perintah ayah.
Pantes sih, gue yang usianya saat itu masih 8 tahunan sampe kena amnesia. Ini beban berat banget buat anak usia segitu. Anak mana yang bisa kuat dapet perlakuan gak ramah dari keluarganya setelah ibunya meninggal? Bahkan, setelah itu, dia harus mendapati kenyataan kalo kucing kesayangannya dibuang gitu aja gara-gara takhayul ciptaan Omnya yang lagi lempar tangan sembunyi batu. Innerchild gue terluka banget-banget deh inimah!
Sebelum beranjak dari kasur, gue sempet berbagi kabar dulu sama Kiran. Seperti biasa, dia begitu khawatir pas tau gue lagi gak baik-baik aja. Selain berbagi kabar, gue juga nanyain ke dia, soal salat-salat yang terlewat karena pingsan dari sehabis zuhur dan baru bangun jam sembilan malem lebih. Maklum, masih awam hehe.
"Aku pernah denger soal ini di kajian beberapa minggu lalu dari ustazah. Gini, An, sebenernya ada ikhtilaf ... emm perbedaan pendapat. Nah, ustazah aku ini ngambil landasannya dari Siti Aisyah, kalau tidak ada qadha dalam salat. Aku coba sederhanain penjelasannya, ya. Jadi, karena kamu ketinggalannya asar, magrib, sama isya, kamu cukup kerjainnya yang magrib sama isya aja. Di jamak gitu, karena waktu dua salat ini berdekatan. Cara pengerjaannya sama, terus niatinnya salat jamak takhir," jelas Kiran melalui voice note. Emang niat banget sih dia.
Cepet-cepet gue kirim ucapan terima kasih. Lalu lekas beranjak mengambil wudu.
Vibes salat malam ini bener-bener deep rasanya. Semua beban yang menumpuk di pundak, dipasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Terasa jelas sekali, diri ini tak bisa berbuat apa-apa, tak memiliki kemampuan apa-apa, lemah. Sudah sepantasnya bersandar pada Dia Yang Maha Perkasa.
...
Gue beranjak ke ruang atap, lalu mengunci pintu rapat-rapat. Enggan menetap di kamar, takut Ayah masuk dan mengganggu kesendirian gue yang masih shock mengingat peristiwa traumatis yang pernah terjadi. Apalagi, Ayah punya peran yang cukup besar dalam peristiwa itu. Rasanya gak sanggup buat natap matanya.
Selama 30 menit gue cuma tercenung di balik pintu. Memutar kembali ingatan tentang Moza. Kucing hitam manis yang gue temuin sama Ibu dan juga Zayn di deket vila.
Yaah, walaupun pedih pake banget, setidaknya kenangan manis sama Moza, Ibu, Zayn, hampir lengkap kembali di ingatan gue. Jadinya, gue nostalgia sambil berlinang air mata dan bibir yang mengukir senyuman.
Setengah jam sudah puas bernostalgia, otak gue mengingatkan tentang hal yang mesti gue perhatikan mulai saat ini.
"Gak ada kesempatan buat mata-mata Om Bram masuk. Tapi, cctv ... dan mungkin juga ada kamera tersembunyi yang mantau gerak-gerik gue di sini," gumam gue.
Gue mulai beranjak dari tempat duduk. Naikin kursi buat nutupin cctv ruangan sama pouch berbahan kain. Abis itu, gue coba nyisir seluruh sudut ruangan ini, takut ada kamera tersembunyi, sekalian beres-beres ruangan.
Udah lama banget gak bersihin ruangan ini, berdebu banget. Anyway, ruangan ini gak boleh dibersihin sama ART, cuma gue yang boleh bersih-bersih di sini. Alasannya, gue gak mau ada lukisan yang rusak gara-gara kecerobohan orang lain. Biasalah, perfeksionis.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in Black (Cat)
RandomSaat membuka mata, hatiku terguncang Mahakaryaku dilalap si jago merah Kembali membuka mata, tubuhku berbulu hitam dan berkaki empat Lantas aku bertanya, apa aku dikutuk karena setitik dendam yang membara di hati? Lagi, aku membuka mata, akhirnya k...