Part 7 : Menyelinap

18 3 0
                                    

Semilir angin pagi ini, membawa serta rintik-rintik di pelupuk mata. Tas-tas ransel berat di punggung mahasiswa-mahasiswi UIN Jakarta itu, sepertinya tidak seberat seonggok kerinduan yang akan segera menyambut mereka selepas beranjak dari tempat ini. Baik warga desa, maupun peserta KKN saling melepas peluk dengan anak-anak, dan juga orang dewasa—-yang se-mahram.

Orang bilang, jika tangis warga pecah saat KKN berakhir, artinya KKN mereka berhasil.

Gak heran sih. Gue adalah salah satu saksi mata kerja keras mereka. Satu sama lain bahu-membahu menuntaskan program, saling mengingatkan, saling mengayomi. Satu bulan bersama mereka—-selama menjadi Moza—-adalah hari-hari yang sangat berharga.

Karena itulah ... gue, si makhluk halus ini, mengambil kesempatan supaya bisa menyelinap masuk ke mobil jemputan di saat mereka masih beruraian air mata. Maaf, kalau gue tak memedulikan kesedihan kalian dan enggak ikut merasakan nuansa melankolis. Menyelinap masuk lebih penting. Gue harus ikut Zayn, harus bisa sampe Jakarta!

Dua minggu lepas, setelah acara makan malam bersama, bakda Isya. Gue yang kekenyangan dapet jatah makan daging ayam bakar buatan si Azis yang top markotop, ngeliat Zayn melepas penat di pelataran masjid setelah membereskan bekas acara tadi.

Desau angin malam, membuat anak rambut Zayn melambai-lambai. Zayn sendiri sepertinya gak ngerasa kedinginan, dia menikmati itu, karena peluh keringat—-yang artinya dia sedang kegerahan—-mendapat kesejukan alam.

Semua orang sudah kembali ke posko masing-masing. Zayn yang suruh. Takut anggota kelompoknya tidak cukup tidur. Dia emang seperhatian itu ke semua orang.

Drrtt ... Drrtt ...

Tatapan gue berubah heran, saat ada panggilan masuk di ponsel Zayn. Tengah malam begini? Siapa yang telepon Zayn?

"Assalamu'alaikum." Suara perempuan, kisaran usia setengah abad, terdengar lembut memasuki lubang telinga gue.

Rasa penasaran gue tinggi. Itulah kenapa, gue loncat ke paha Zayn dan melongokkan kepala ke layar ponsel.

Zayn sedikit terkejut dengan tingkah gue. Tapi, setelahnya dia mengusap-ngusap punggung berbulu gue.

Pikiran gue sontak terlempar ke kenangan lain saat melihatnya. Wajah ibu Zayn tampak bersih, teduh, dan menenangkan. Ia memakai mukena, sepertinya baru selesai salat malam. Itu semua mengingatkan gue sama Kiran. Besti spek bidadari surga yang mau-mau-an deket sama manusia spek setan kayak gue?!

"Wa'alaikumussalam. Ya Allah, Umi?!"

Zayn menyebut ibunya dengan sebutan "Umi"? Wah, kalau aku manusia, terus ketemu ibunya, bisa minder duluan kalau mau deketin anaknya. "Mundur, Wir. Ibunya spek ustadzah!" celoteh gue.

"Apa? Jangan ngomel dulu ah. Umi ketiduran tadi di depan tv sekitar jam sembilan, bangun-bangun jam sepuluh. Eh, abis itu malah susah tidur. Abis salat malem juga masih belum ngantuk ini Umi. Liat story kamu, ternyata sepuluh menit yang lalu, jadi Umi vidcall aja sama anak ganteng Umi. Kangen."

"Masyaallah, Umii! Maafin Zayn, ya, yang kurang perhatiin Umi akhir-akhir ini. Lumayan padet kegiatannya. Zayn jadi gak enak nih, bikin Umi ngasih sinyal terang-terangan gini."

"Bisa aja ngerayunya bujang satu ini."

Rasa cemburu merambat cepat di rongga hati gue setelah melihat betapa akrab dan mesranya mereka berdua. Bagi gue, "Ibu", adalah satu panggilan yang hanya bisa gue ucap di bibir atau sekadar digaungkan di hati, tanpa bisa menerima sahutan lembutnya balik.

Zayn beruntung, dia pasti sangat bahagia. Masih bisa berbalas kabar dengan umi yang dicintainya, bisa mendengar lembut suara yang memeluk hatinya di perantauan, membagi kisahnya, dan bersenda gurau dengan sang ibunda.

Zayn sangat beruntung.

Kata ayah, waktu gue kecil, ibu udah ada di surga, udah bahagia. Tapi sepertinya, ibu berlebihan membawa 'bahagia'-nya. Kepergiannya merenggut serta rasa bahagia di keluarga Wirawan. Ayah dan saudara-saudara gue jadi sulit bersikap lebih ramah dan hangat—-ke gue.

"Ibu bawain kamu kanvas sama cat air, kita melukis bareng, yuk!" Gue inget betul tatapan hangat ibu dulu, gue inget betul senyumnya yang manis, gula pun kalah manis dengan senyuman ibu.

Ibu ... semuanya berubah setelah kepergian Ibu.

Bahagia Diandra gak lagi sama.

Kenapa Ibu pergi?

"Ini namanya Moza!"

Ah, Gue kaget! Gue ngelamun terlalu dalem. Baru inget, kalau gue lagi sama Zayn. Tiba-tiba tubuh gue udah diangkat aja. Dia memamerkan gue di depan layar ponselnya.

"Moza? Sebentar, itu ... kucing itu-"

"Bukan, Mi. Mang Awi juga waktu itu sempet ngira Moza kucing yang sama. Tapi bukan kok, Mi. Moza yang ini bukan Moza milik Rara."

...

Gue gak bisa diem aja saat kejanggalan demi kejanggalan meraba pikiran gue terus menerus. Tentang Om Brama, tentang sisi gelap Zayn, dan Moza yang katanya pernah menjadi milik 'Rara'. Siapa sebenarnya makhluk halus berbulu hitam yang raganya gue tempatin ini?

Moza. Rara. Zayn. Om Brama. Ah, kalau gue gak ikut Zayn, dan tetap tinggal di kampung ini, bisa-bisa kepala gue pecah karena diprotes ribuan tanda tanya yang nuntut gue untuk segera dipertemukan dengan jawabannya.

Orang bilang, "Gak ada yang kebetulan di dunia ini."

Izinkan gue mempercayai kalimat itu sekarang. Karena jika memang di dunia ini gak ada yang namanya kebetulan, pasti ada alasan kenapa gue berubah jadi kucing hitam dan menemukan kejanggalan demi kejanggalan.

Gue harus nemuin benang merahnya. Gue harus mengurai benang-benang kusut ini.

Gue ..., "Aw!!" Buntut gue diinjek siapa?!

"Astagfirullah! Ya Allah, apa ini?!! Apa?!" Suara Azis langsung mengusik seantero mobil jemputan ini. Ah, ya. Berarti gue gak salah masuk mobil.

"Moza?" Azis mengeluarkan gue dari bawah kursi. Lega banget, pengap soalnya. "Lah, kenapa kocheng ini ada di sini? Gak mungkin kita balik lagi, ini udah jauh banget dari desa," gerutu Azis.

Gue langsung melepaskan diri dari Azis. "Zayn!"--"Meow!" Lalu, lekas berhambur ke pangkuan Zayn.

"Waduh, inimah artinya lo udah ditandain jadi babunya, Zayn!" komentar Azis, gue cuma bisa tersenyum.

***

Garut, 23 Des 2023

Emang boleh senempel itu sama Zayn? 😭

Untung kocheng, kalau manusia udah aku giwing kau! 🤬🤬🤬

By the way,
Akankah Diandra menemukan benang merah dari segala keruwetan ini?

Stay tune! 🤗

Salam hangat, Author❤️

========

Follow my instagram:
@nah.aida23

I'm in Black (Cat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang