Pertanyaan-pertanyaan mengenai jati diri gue—yang baru—timbul-tenggelam. Ketika tiba waktunya timbul, gue ngerasa kewalahan, kayak dikeroyok pertanyaan yang gak ada abisnya—belum ketemu-ketemu jawabannya.
Sebelumnya sempet tenggelam, gue ngerasa tenang aja gitu, setelah menerima takdir dan hidup di antara orang-orang yang belajar agamanya 'bener', pake hati. Tapi, sesaat setelah gue menerima takdir di luar nalar ini, gue malah dibuat risau dengan hal yang gak pernah tersaksikan atau terbayangkan sekalipun.
Dalam arti lain, seiring bertambahnya waktu, gue semakin menemui kerumitan, benang kusut, dan keroyokan pertanyaan baru. Belum sempat rapiin benang dan nemuin jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Belum sempat gue menghela napas dengan damai dalam waktu yang panjang, hati ini udah dibikin gundah gulana lagi.
Bolehkah hamba-Mu yang selama ini hidup bergelimang dosa, meminta pertolongan-Mu? Hamba ingin segala kegundahan ini segera berakhir.
Gue menoleh ke arah Zayn yang baru saja selesai menaruh barang-barang belanjaan di belakang kemudi. Ada perasaan lega saat raut wajahnya yang sempat kusut itu, kini tampak ceria dan bersahaja—sebagaimana biasanya. Tapi, perasaan lega ini hanya 50%, sisanya gue masih menyimpan tanda tanya besar. Zayn ini siapa?
Pria yang seperti gue bilang tadi, selalu tampak ceria dan bersahaja, ternyata punya sisi gelap. Ya, memang sih, setiap orang memiliki sisi gelapnya sendiri, yang jadi highlight di pikiran gue tuh, sisi gelapnya muncul setelah bertatap muka sama Om Bram.
Tapi, Om Bram juga aneh—ah, mereka aneh!
Sisi gelap mereka berdua yang gue dapetin hari ini, gak pernah gue liat sebelumnya. Gue shock berat!
Bagaimana mungkin?
...
"Kucing hitam ini ... apa kamu Moza?"
Pertanyaan itu sontak bikin gue mematung. Ada apa dengan kucing hitam dan nama "Moza"? Apakah kedua orang yang gue kenal ini pernah berkaitan dan mengenal sosok hitam manis bernama "Moza"? Atau semua ini hanya kebetulan? Tapi, seberapa mungkin kebetulan ini terjadi?
Ngomong-ngomong soal kucing hitam manis dan juga Om Bram, gue jadi teringat pada lukisan yang udah ayah bakar hidup-hidup hingga menjadi abu. Kucing hitam itu, kan, pesanan Om Bram. Apakah ia bernama Moza?
"Moza, kamu selama ini di vila ini?" tanya Om Bram kembali.
Penafsiran pendek gue sekarang, mungkin saja beliau yang sedikit "aneh" ini, terjebak dalam kenangan dan luka masa lalu karena kehilangan kucing hitam itu. Saat ngeliat gue, dia mungkin berpikir, hewan kesayangannya itu kembali, bangkit dari kematiannya untuk bersua dengan pemiliknya?
Ooh ... gue jadi kasian sama Om Bram. Apalagi, sekarang gue gak ada di sisinya. Gak ada yang nemenin dia curhat.
"Maaf, jika mengganggu Bapak, itu kucing saya," Zayn menginterupsi. Mendengar itu, Om Bram langsung ngelepas gue. Mungkin, dia tidak enak setelah tahu, kucing yang dikira miliknya, ternyata milik orang lain.
"Om Bram yang malang," gumamku.
Zayn menggendongku. "Tidak baik mengambil apa yang bukan milik Bapak. Sebaiknya, perhatikan tindakan Bapak kedepannya."
Sontak gue menatap terkejut. Zayn yang santun itu, bisa bersikap sedingin ini cuma karena gue? Zayn pasti tipe-tipe orang yang gak suka, kalau apa yang sudah jadi miliknya diganggu orang. Ohoho ... gue jadi ngerasa diperebutin sama dua cowok baik di sini.
"Oh, maaf? Ucapan Anda terdengar kurang ramah." Om Bram menangkap perasaan tidak senang itu. "Ah, tapi saya bisa memahami. Memang ada tipe orang yang kurang senang kalau hewan kesayangannya di pegang orang. It's okay, Man!" kata Om ramah sembari menepuk-nepuk pundak Zayn.
"Oh iya, kamu siapa? Baru kali ini saya liat kamu?" Om Bram mencoba untuk akrab dengan menggunakan kata 'kamu'.
"Dia anak saudara saya, Pak. Ahmad namanya," ucap Mang Awi yang baru tiba di pekarangan rumah.
Sebagai seekor kucing, gue sensitif dengan perasaan orang. Gue bisa merasakan perasaan marah yang sedang Zayn tahan selama sesi basa-basi singkat ini. "Kenapa dia marah?" batin gue.
Gue semakin terheran-heran saat Zayn pamit undur diri. Pria yang gue kenal punya tata krama yang baik ini, menyalami tangan Mang Awi dengan khidmat. Akan tetapi, setelahnya Zayn melenggangkan kakinya tanpa menyalami tangan Om Bram atau 'say goodbye' sama sekali.
"Zayn punya dendam apa sama Om Bram?" tanya gue, yang pastinya gak bakal dia mengerti.
Dia terus berjalan dengan air muka yang tegas tanpa menengok ke belakang, padahal Om Bram sempat menyindir tidak tau sopan santun. Namun, Zayn seolah-olah tutup kuping, dia tidak peduli.
Gue jadi makin bertanya-tanya. Mana mungkin, Zayn ...? Enggak, bukan, pertanyaannya, apa yang membuat dia sangat marah sama Om Bram? Apa cuma karena Om Bram pegang gue? Masa sih, dia secemburuan itu? Walau gue baru seminggu kenal Zayn, tapi gue yakin kok, Zayn gak red flag.
Setelah memasang sabuk pengaman, dia tidak langsung menjalankan mobil. Dia terlihat sedang mengatur pernapasannya—ya, dia mengontrol atau meregulasi perasaannya.
Nah, bener, kan. Zayn gak red flag. Green flag dia.
"Moza," Setelah terlihat lebih tenang, dia ngajak gue ngobrol. Tapi ... tatapan matanya justru berubah sendu. Tunggu, apa itu berarti perasaan marahnya tadi adalah bias dari kesedihan?
"Seandainya kamu adalah kucing yang sama, kamu pasti tau, betapa busuk Om Brama." Setelahnya, gue malah ngeliat noktah-noktah bening berlomba-lomba melompat di pelupuk matanya.
Loh-loh, kok jadi gini?
"Zayn jangan nangis dong, gue gak bisa ngasih permen!!"
***
Garut, 17 Desember 2023Kira-kira, sebusuk apa ya Om Bram baik hatinya Diandra ini?
🙀
Salam hangat, Author🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in Black (Cat)
RandomSaat membuka mata, hatiku terguncang Mahakaryaku dilalap si jago merah Kembali membuka mata, tubuhku berbulu hitam dan berkaki empat Lantas aku bertanya, apa aku dikutuk karena setitik dendam yang membara di hati? Lagi, aku membuka mata, akhirnya k...