Pada akhirnya, gue harus menghadapi masalah gue.
Kali ini, gue sampai di rumah dikawal tiga orang tim keamanan rumah. Tak tanggung-tanggung, gue langsung disuguhkan dengan perawakan Ayah di depan pintu. Dia berdiri tegap di sana, tangannya bersidekap di depan dada, tatapan matanya keliatan tegas, dan itu juga didukung sama raut mukanya yang jauh dari kata ceria. Sederhana saja, Ayah sudah murka.
Dalam perjalanan ke rumah, baru gue nyalain lagi ponsel gue. Jumlah panggilan tak terjawab nyampe 124 kali. Lebih mengejutkan lagi, Ayah ngehubungi gue lewat surel, WhatsApp, dan SMS, jumlah masing-masingnya 20 pesan. Gila sih, Ayah nyepam banget. Cuma gara-gara si Om tukang sandiwara itu, huh!
Sampai di deket pintu, gue langsung di sambut titah Ayah, "Masuk ke ruang kerja Ayah, sekarang juga!"
"Maaf, Yah. Barusan azan zuhur, Diandra mau salat dulu. Ayah juga mending salat dulu deh, biar hatinya tenang," kata gue yang kemudian masuk ke rumah tanpa menunggu respons Ayah.
Setelah selesai mandi, salat, dan berdoa buat dikuatin pas ngadepin gimana keukeuh-nya bokap nanti, gue lantas turun ke bawah dan menuju ke ruang kerja Ayah. Di sana, Ayah sedang duduk di kursi kebesarannya dengan bersilang kaki di atas meja sambil ngisep cerutu.
Ayah pasti lebih milih ngerokok daripada salat zuhur. Kalau Kiran ngeliat yang begini-gini dia pasti bakal bilang ... Allahu yahdik, semoga Allah memberimu petunjuk.
Tanpa basa-basi, gue langsung duduk aja di kursi terdakwa. Persis di hadapan sepatu Ayah.
Ayah lantas menurunkan kakinya, duduk dengan 'normal'. Menyadari kelakuannya yang 'tidak sopan'? Ah, entahlah apa diksinya.
Dia menyimpan cerutunya di asbak, lalu berdeham. "Diandra, udah cukup puas kamu lari dari masalah?" tanyanya dengan tatapan menusuk dan dingin.
Gue gak akan angkat suara buat pertanyaan ini. Harusnya, Ayah ngerti perasaan gue, kan? Setelah berkelut dengan perasaan karena ingatan pedih itu kembali teringat, Ayah tega menghakimi anaknya atas fitnah yang dilayangkan Kakaknya yang diam-diam berkhianat?
Terdengar embusan napas Ayah yang berat. "Diandra, sejujurnya Ayah gak mau percaya tentang tuduhan itu. Itulah kenapa, Ayah crosscheck ke pihak restoran, menyelidiki siapa yang reservasi. Lebih tepatnya, siapa yang berbohong."
Oke, gue akui usaha Ayah buat gak percaya gitu aja sama Om Bram, atau mungkin yang sebenernya terjadi, Ayah mau mastiin perasaan sangsi ke anaknya itu relevan sama fakta yang ada.
"Dan kamu tau, Dra? Pihak restoran bilang, yang reservasi meja itu bukan suara laki-laki, tapi suara perempuan."
"Ok, kalau emang itu suara perempuan, bisa gak Ayah mastiin kalau itu suara aku?" Tentunya gue harus membantah, kalau itu bukan gue.
Ayah mengambil ponselnya, entah mencari apa. "Ayah gak setengah-setengah nyari taunya, Dra. Ayah juga nyari tau, suara perempuan yang dimaksud pihak resto itu kamu atau bukan. Coba kamu dengarkan."
Oh, Ayah memutar hasil rekaman suara perempuan itu.
"Selamat pagi, Kak. Ada yang bisa dibantu?"
"Saya mau pesan meja yang ada di ruangan private buat makan malam nanti, Kak. Apa masih available?"
"Available, Kak. Untuk menunya apakah mau dipesan sekarang?"
"Iya, Kak. Tolong pesan steak premiumnya. Oh, dessertnya yang lagi viral itu, Kak. Choconut. Kebetulan Paman saya suka banget sama kacang!"
Tempo detak jantung gue udah gak bisa santai setelah sapaan Mbak resepsionis itu terucap. Tapi otak gue ngedadak lambat buat ngerespons. Gue bener-bener tersentak ngedenger suara dan aksen bicaranya bener-bener persis. Orang itu juga tau, kalau gue mau reservasi tempat bareng Om Bram, pasti pake kata 'paman', karena takut disangka simpenan om-om.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in Black (Cat)
RandomSaat membuka mata, hatiku terguncang Mahakaryaku dilalap si jago merah Kembali membuka mata, tubuhku berbulu hitam dan berkaki empat Lantas aku bertanya, apa aku dikutuk karena setitik dendam yang membara di hati? Lagi, aku membuka mata, akhirnya k...