Part 24 : Sepotong Ingatan

8 2 0
                                    

Gue ngeliat perawakan anak perempuan di salah satu sudut gudang yang sudah ditata senyaman mungkin oleh Ibu. Gue kenal betul siapa dia, itu adalah gue waktu kecil. Dia—Diandra kecil—sedang memoles cat ke lukisan bunga tulip berwarna pink. Ah, gue inget, itu lukisan yang mau dihadiahkan ke Ibu.

Tiba-tiba, pintu gudang dibuka dari luar, dan itu ... "Ibu! Kenapa Ibu masuk? Lukisan Diandra jadi keliatan deh sama ibu. Gak surprise, deh!" bibirnya merengut.

Ibu mendekat bersamaan dengan senyumnya yang meneduhkan. "Gak apa-apa, Sayang." Ibu mengelus lembut puncak kepala putrinya. "Ibu ke sini cuma mau pesen, kalau kamu udah besar, kamu harus bisa jaga diri, ya. Semoga kamu bahagia selalu dan jadi orang sukses nantinya."

Setelah bunga tidur itu datang, mata ini perlahan terbuka. Ternyata, tadi itu cuma mimpi? Rupanya malam sudah menyapa. Kebetulan gue sengaja pasang jam di tembok yang berhadapan sama kasur, jadi bisa gue liat, kalau sekarang udah pukul satu malam.

Walau mimpi itu terasa manis, tapi setelah bangun, hati gue rasanya pedih, sedih, dan terasa sakit. Gue jadi bertanya-tanya, mengapa, dan mencoba mengingat kejadian sebelum gue terlelap di sini.

Gue memutuskan untuk mengubah posisi telebih dahulu, memposisikan tubuh ke arah kanan, dan ... BA! Gue tersentak melihat perawakan seorang laki-laki tua berpakaian hitam sedang duduk di kursi. Huh ... hampir aja jantung gue copot, bulu kuduk gue nyaris merinding disko. Gue kira demit. Rupanya Ayah yang duduk—membelakangi tempat tidur—tengah asik menatap lukisan yang kebetulan dipajang di bagian sana.

Sembari mengamati Ayah, gue juga mencoba mengingat-ngingat momen sebelum gue tidur. Karena yang terakhir kali gue inget cuma momen sarapan bareng Ayah. Habis itu gue ... ngapain, ya? Sekarang kan, udah bukan di hotel lagi, ini di rumah.

Gue mencoba mendudukkan tubuh, tapi tiba-tiba kepala gue kerasa sakit banget.

"Diandra?" Ayah yang sadar kalau gue udah buka mata, membawa kursinya mendekat ke pinggir tempat tidur. "Sekarang kamu gimana kondisinya? Kamu mau minum?"

Ngeliat Ayah khawatir kayak gitu, gue jadi inget kejadian tadi ...

Sehabis sarapan bareng Ayah, kita check out dari hotel pukul sembilan. Ayah gak langsung nyetir mobil ke rumah, dia ngajak gue jalan-jalan dulu di mall. Ayah mau traktir gue apa pun itu, karena udah lama banget gak quality time sama gue—ya iyalah orang terabaikan selama ini. Baru, abis nge-mall kita pulang ke rumah.

Tuss! Kertas warna-warni bertaburan saat gue sampai di dalam rumah. Tulisan "Welcome Home Diandra"dari balon-balon huruf menjadi sapaan hangat yang gue liat. Namun, saat keluarga dan para ART menghampiri ruangan setelah bersembunyi, telinga gue sontak berdenging kencang. Samar-samar yang terdengar adalah ucapan yang serupa dengan susunan huruf dari balon-balon itu.

Semuanya tampak riuh ketika melihat gue menutup kuping sembari mengeluh kesakitan. Ingatan asing ... BUKAN! Potongan ingatan menyedihkan secara acak berputar. Ingatan gue yang sempat hilang, kembali?!

"Kenapa harus dibawa pulang sih, Yah?! Dia itu PEM-BU-NUH!!"

"Kenapa kamu masih hidup, hah?! Kenapa bukan kamu aja yang M*TI?!"

"PERGI DARI SINI!!"

"AKU GAK SUKA KAKAK!"

"Inget, Wanda ... gara-gara kucing hitam itu Novia meregang nyawanya. Kucing itu bawa sial!"

Momen ketika gue pulang dari rumah sakit—seperti halnya sekarang—meninju ulu hati. Gue inget saat di mana didorong Kak Ana, dipukul-pukul Lean, dibentak Kak Andre, dan wajah ketidakpedulian Ayah. Semua itu bener-bener menikam hati!

"BUANG KUCING PEMBAWA SIAL ITU!"

"DASAR ANAK CENGENG!"

"JANGAN PERNAH LAGI DATANG KE SINI!"

"PERGII!!"

"IBU ADA GAK ADA GARA-GARA KAKAK!"

"KAMU ANAK PEMBAWA SIAL, DRA!"

"LEBIH BAIK KAMU MATI AJA!"

Semua yang berputar di memori gue, sama persis dengan apa yang gue dengar di mimpinya Moza. Hanya saja, semuanya jadi lebih jelas saat ini. Suara-suara sumbang yang menusuk-nusuk hati itu, pelakunya adalah keluarga gue sendiri.

"Diandra, kamu kenapa? Diandra ... jawab Ayah, Sayang!" Itu kalimat terakhir yang gue dengar sebelum tak sadarkan diri.

"Diandra? Sayang, kenapa nangis?"

Setelah berhasil mengingat kembali kejadian sebelum gue pingsan, tanpa sadar air mata ini meleleh begitu saja. Pedih hati semakin meradang. Sakit sekali mengingat semua kenangan menyedihkan itu. Tapi kenapa gue dibenci Ayah, Kak Ana, Kak Andre, Lean, bahkan Om nuduh Moza bawa sial. Sepotong ingatan itu belum kembali sepenuhnya. Tapi, sepotong ingatan yang berhasil gue ingat aja udah semenyakitkan ini, apalagi kalau sampai gue inget sebagiannya lagi keinget. Bakal gimana?!!

"Kenapa Ayah?"

Ayah menatap heran. "Maksud kamu?"

"Kenapa Ayah pura-pura gak tau apa-apa selama ini?" Ayah sepertinya udah bisa nangkep maksud gue, sorotan matanya tampak sendu. "Apa jangan-jangan, sekarang Ayah juga pura-pura sayang ke aku?"

Gue liat, ada yang menetes di ujung mata Ayah. Gue memutuskan untuk menunduk setelah ngeliat itu, hati gue makin perih.

"Enggak gitu, Dra. Sekarang, Ayah udah sadar, selama ini Ayah udah salah ke kamu. Ayah pengen nebus semua kesalahan itu dengan memperbaiki hubungan kita. Jangan anggap Ayah lagi berpura-pura, Dra. Enggak, Dra," tegas Ayah.

Ada perasaan lega setelah mendengar pengakuan Ayah, tapi bersamaan dengan itu, dada ini malah kerasa semakin sesak. Air mata gue terjun bebas, semakin deras. Gendang telinga kembali berdenging, isi kepala riuh dengan ingatan-ingatan menyedihkan itu lagi. Ayah yang iba sampai membawa gue ke pelukannya.

"Ke-kepala aku ... berisik lagi." Gue berusaha mengadu sekuat tenaga di tengah-tengah isak tangis dan napas yang sesak ini.

"G-gi-gimana ... gimana, Yah ... cara berhentiinnya?"

Ayah mengusap kepala gue, tak berucap sepatah kata pun. Sebab, dia sedang berusaha menguasai dirinya. Dia juga menangis.

"Diandra denger ... katanya Diandra udah bikin ... Ibu meninggal. I-itu ... gak bener, kan? Gak bener ... kan, Yah? Enggak, kan?"

"Enggak, Sayang ... itu cuma kecelakaan."

"A-Ayah ...-"

"Kenapa, Sayang?"

"Diandra belum inget ... k-kejadian itu ... kenapa Ibu meninggal, d-dimana, k-kapan?"

"Jangan dipaksakan, Sayang. Jangan dipaksa. Nanti kamu yang kesulitan. Gak kamu inget pun, gak apa-apa. Bagaimana pun, Ibu udah tenang di sana. Ibu udah bahagia. Makanya, kamu juga harus bahagia, ya?"

Spontan saja gue mengangguk. Padahal, lubuk hati gue dengan tegas menolak kalau harus menyerah buat gak inget sama potongan ingatan yang lain, tentang kepergian Ibu. Karena barangkali, ini ada hubungannya tentang pernyataan Zayn, kalau Om Brama itu busuk.

Ya, gue akan cari tau itu, walaupun gue bakal kesulitan setelah mengingatnya.

***

Garut, 26 Mei 2024

Setelah beberapa part kemarin berbunga-bunga bahagia, kita kembali bersedih hati yaa reader ;"(

Doakan supaya hati Diandra kuat! ^_^

I'm in Black (Cat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang