Gue mencoba membuka mata, terlihat sedikit buram, hingga gue memutuskan untuk mengerjap beberapa kali buat menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina mata. Tak perlu hitungan detik, mata ini dapat melihat jelas nuansa ruangan.
Ruangan bercat putih dan pemandangan alat-alat medis yang menempel di raga ini, menjadi hal pertama yang tertangkap mata. Suara monitor kemudian menjadi hal pertama yang tertangkap daun telinga.
Embusan napas lega keluar dari rongga hidung gue. Setelah sekian lama, jiwa ini kembali menyatu dengan raga yang seharusnya.
Selama ini, gue sering bertanya, kapan bisa balik ke tubuh gue ... apa gue akan selamanya jadi Moza? Sekarang, semua itu sudah terwujud. Gue kembali ke raga ini usai bersakit-sakit setelah kejadian memilukan itu.
Air mata gue meleleh, terjun bebas membasahi rambut. Apa yang gue rasa, sulit untuk dideskripsikan. Kebahagiaan dan kesedihan bersatu padu dalam bingkai haru biru, sementara rasa takut, khawatir, dan marah menyusul dengan kadar yang tidak terlalu besar.
Ya. Gue bersyukur, sangat-sangat bersyukur karena bisa kembali menjadi diri sendiri. Bukan kucing hitam yang bernama Moza itu. Tapi, bukan berarti gue menafikkan segala hikmah yang didapet dari kejadian di luar kelaziman dan di luar nalar tersebut. Hanya saja, menjadi diri sendiri adalah sesuatu yang membanggakan—setelah gue sadari.
Sejujurnya, tak terkira rasa terima kasih gue buat Moza. Kucing berbulu hitam itu, yang malah dianggap sial oleh beberapa orang, termasuk keluarga gue sendiri, Moza adalah kucing terbaik. Gue pasti akan selalu merindukan si Hitam Manis itu.
Pintu ruangan gue terbuka, tampak perempuan dengan seragam suster masuk ke dalam ruangan sembari mengakhiri obrolan dengan rekannya yang lanjut pergi ke arah berbeda. Dia pasti suster yang disewa Ayah buat jagain gue 24 jam setelah ngusir Kiran.
"Loh?" Perhatian suster kini ke arah gue, dia tampak terkejut karena melihat bola mata gue tidak tertutup seperti biasanya. Dia sampai ngucek- gucek mata, memastikan, kalau dia tidak salah lihat. "Nona sudah siuman!" Wajahnya sumringah.
"Tunggu dulu, ya, sebentar. Saya panggilkan dokter dulu, sekalian ngabarin keluarga Nona Diandra. Pasti mereka seneng denger kabar ini."
Dia terlihat antusias, padahal dia cuma orang lain, bukan keluarga gue. Gue sendiri aja gak yakin apa keluarga gue bakal se-seneng itu?
...
Awal-awal sadar, gue agak kesulitan buat berkomunikasi dan bergerak leluasa, mungkin karena udah sebulan lebih terbaring di kasur, gak aktivitas apa-apa, jadinya kaku. Setelah menjalani perawatan dan beberapa terapi yang cukup intensif, keadaan gue jauh lebih membaik, alhamdulillah.
Sejak siuman, tentunya banyak pertanyaan menari-nari di kepala. Terutama tentang mengapa keadaannya bisa separah ini? Karena yang gue pernah lihat di mimpi, ketika masih di tubuh Moza, tubuh gue enggak terluka atau terbentur cukup parah sama sekali. Sampai akhirnya gue menanyakan itu ke Dokter Mala.
"Dokter, kenapa saya bisa sampai koma begini? Saya ... tidak ingat betul kejadiannya."
"Iyalah gak ingat, kan kamu dalam pengaruh alkohol waktu itu," Dokter Mala tersenyum, senyum yang keliatan gak menghakimi dan gak menyinggung. Gue suka dia. Untung gue gak diurus sama Dokter Purno, Dokter keluarga gue, orangnya gak asik, mirip sikapnya kayak bokap.
"Temen kamu yang jagain kamu kemarin-kemarin tuh sempet cerita ke saya. Dia tinggal kamu ambil minum bentar, eh kamu malah ngilang. Kasian tau, dia khawatir banget sama kamu."
Mendengar pembawaan Dokter Mala, gue tersenyum semakin lebar. Ternyata orangnya bukan cuma ramah, tapi juga storyteller yang baik.
"Kiran?"
Dokter Mala mengangguk. "Kiran gak langsung bilang ke Pak Wanda, katanya takut pestanya terganggu. Dia nyari kamu dulu di sekitar vila, tapi gak nemu-nemu. Nyari lagi tuh Kiran ke dalem, siapa tau kamu masuk lagi, katanya. Tapi, Kiran tetep gak nemu kamu. Adik kamu sampe nanyain gara-gara ngeliat Kiran mondar-mandir terus."
Ah, Lean. Anak itu pasti sambil modus ke Kiran. Gue tau Lean suka sama Kiran. Pas bokap muji Kiran dan banding-bandingin gue, Lean kadang suka ikut-ikutan bokap sambil usaha ngedeketin Kiran, basa-basi, nanya ini-itu. Dasar, Lean!
"Kakak kenapa kayak yang lagi bingung gitu?"
"Em aku lagi nyari Andra. Aku tinggal ambil minum sebentar, malah ngilang. Aku udah cari-cari sekitar vila tapi gak nemu."
"Gak usah pusing nyari Kakak, dia pasti baik-baik aja. Mending Kakak nikmatin jamuan di pesta ini."
"Maaf, gak bisa, Leandra. Aku mau cari Andra. Aku takut dia kenapa-napa."
"Ya udah deh, kalau gitu aku ikut Kakak."
Begitu imajinasi gue.
"Setelah nanya-nanya Kiran, adik kamu ikut bantu nyari."
Nah, kan? Bisa jadi imajinasi gue itu sesuai sama kejadiannya. Gue tahu watak si Leandra.
"Kata Kiran, adik kamu nyaranin cari jejak kamu dengan nyalain senter. Gak lama dari itu, mereka ketemu tuh sebelah sepatu heels kamu di pinggir jembatan. Dari situ, Kiran makin cemas. Adik kamu langsung lari, lapor ke Pak Wanda, dan pestanya pun disudahi pas Pak Wanda tau ceritanya begitu."
Gak mau ge-er (gede rasa), tapi gue baper. Kesannya Lean sama bokap peduli sama gue.
"Pak Wanda manggil tim sar buat nyari kamu. Singkat cerita, besoknya nih, mereka nemuin kamu di hilir sungai."
"Hah? Hilir? Jauh banget dong, Dok? Kalau itu hilir berarti ...-"
"Iya, Diandra. Malam itu arus sungainya cukup deras, karena sempat hujan besar setelah pesta diberhentikan. Kayaknya kamu kebawa arus itu. Kamu sampai ke hilir sungai setelah berbenturan dengan batu-batu besar, cukup parah. Badan kamu luka-luka, terutama kepalanya."
Gue menelan saliva susah payah. Malam itu bukan malam yang mudah, bagi gue maupun Moza. Malam itu yang telah membuat gue koma dan Moza ...
... tidak selamat.
***
Garut, 7 Maret 2024
Halo, apa kabar semuaaa?
Aku ucapkan terima kasih yaa, sudah membaca sampai sini
Kira-kira, setelah sejauh ini, apa yang mau kamu tanyakan tentang cerita ini?
FYI: Alur cerita ini maju-mundur, jadi sorry banget kalau di sini kamu agak bingung.
Stay tuned teruss yaa🙌☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in Black (Cat)
RandomSaat membuka mata, hatiku terguncang Mahakaryaku dilalap si jago merah Kembali membuka mata, tubuhku berbulu hitam dan berkaki empat Lantas aku bertanya, apa aku dikutuk karena setitik dendam yang membara di hati? Lagi, aku membuka mata, akhirnya k...