"Hah!" Kunci di tangan gue spontan terjatuh, terkejut ngeliat banyak penjaga di balik pintu ruang atap.
Tempo detak jantung gue kerasa kenceng banget. Vibes-nya kayak film trihler, buronan yang diawasin sama musuh dalam selimut si 'Big Boss' psikopat. Tapi gue bisa bernapas lega sedikit, sih, soalnya tadi gak langsung buka pintu, gue ngeliat mereka lewat lubang pintu.
Pantesan feeling gue agak lain pas denger samar-samar suara dari luar, jadinya ngintip dulu di lubang pintu. Ternyata bener, kan, ada serigala-serigala lapar yang nunggu mangsa keluar dari sarangnya. Entah apa yang terjadi kalo gue sampe ketangkep?!
"Baik, jika target belum juga keluar dalam waktu setengah jam, akan kami dobrak, Pak Bram."
"Gila!" pekik gue dengan suara pelan. Pokoknya jangan sampe mereka denger suara gue.
Kalau ngeliat mata-mata Om Bram di rumah ini sebanyak itu, bahkan, di antaranya ada yang udah Ayah pecaya banget, Om Bram pasti udah nyium pergerakan gue yang lagi nyari-nyari kunci gudang, yang kemungkinan besar menjadi tempat segala rahasianya tersimpan. Om Bram pasti mau menghanguskan bukti-bukti yang ada di gudang itu.
"Kalau rencana Om sekarang itu penculikan, dia pasti bakal ngerekayasa tragedi ini. Secara, banyak mata-mata dia di sini, bisa sabotase apa aja. Bahkan, dia bisa nuduh gue melarikan diri dari rumah, bukan diculik."
Di tengah kekhawatiran gue, gue tetep berusaha buat berpikir jernih, nyari jalan keluar. Gue gak mau gitu aja menyerah di hadapan musuh.
Gue nyoba nyari petunjuk lagi di laci tadi. Memegang kertas struktur bangunan gudang, mengamatinya dengan seksama, lalu membalik kertasnya.
"Loh? Jalan rahasia?"
...
"Kenapa gue baru tau ada jalan ini sih?!" gumam gue sembari menyorot setiap sisi lorong, memastikan gak ada kamera sama sekali di area ini.
"Kayaknya anak tangga panjang ini bener-bener tempat rahasia."
Setelah agak lama menuruni satu per satu anak tangga, gue ngeliat ada pajangan bingkai foto di sisi kiri dan kanan. Foto-foto keluarga yang dibuat ala-ala foto sejarah, ada keterangan di bawah fotonya. Hingga akhirnya, gue berhenti agak lama di depan sebuah foto.
Kita pernah tinggal bersama di rumah dinas selama satu tahunan. Rumah keluarga kita dikosongkan, benar-benar kosong. Ibu beri tahu alasan dikosongkannya kenapa di bingkai yang ada di bawah ini, ya ....
Bingkai di bawah itu, isinya kolase foto.
Ayah ngasih kejutan buat Ibu yang suka film-film 'unik dan imajinatif' kalau kata Ayah. Selama setahun itu, Ayah cukup sering gak membersamai kita. Ternyata, dia sendiri yang membangun ruang dan jalan rahasia di rumah keluarga kita, lho!
Ini suprise dari Ayah untuk Ibu. Suprise itu Ayah berikan setelah 3 tahun ruang dan jalan rahasia ini dibuat.
Walaupun kedengarannya seperti meledek, 'unik dan imajinatif'. Nyatanya, Ayah juga menyukai hal yang sama dengan ibu. Terima kasih, Ayah. Love you more!
Air mata gue meleleh. Kolase foto dan narasi yang ada di dalam bingkai ini benar-benar menyentuh, rasanya hangat dan penuh cinta. Gue jadi ngebayangin, betapa perihnya hati Ayah ketika mengenang bingkai foto ini sendirian setiap melewati jalan rahasia. Rindunya yang menggunung, tak bisa ditumpas dengan temu.
"Diandra juga rindu banget sama Ibu." Air mata gue masih berjatuhan. Rasa rindu pada sosok yang telah tiada itu mendekap begitu erat.
"Lean masih kecil, dia belum ngerti banyak hal, Sayang. Sebenernya dengan usia kamu yang sekarang ini, gak bisa juga dibilang udah besar. Tapi, karena kamu udah jujur, kalau kamu udah berkali-kali nguping pas Ibu lagi bertengkar, entah itu sama Ayah atau sama Om Bram. Ibu mau jujur sama Diandranya Ibu. Tolong, hati-hati sama Om Bram, ya. Dia gak sebaik keliatannya, Sayang."
Mata gue makin banjir saat ingatan yang sempat hilang itu kembali gue inget.
"Ayah gak bisa pahami Ibu soal ini. Jadi, Ibu harap kamu bisa jaga rahasia ini. Tolong, kamu juga ingat baik-baik. Takutnya, ada hal yang gak Ibu inginkan terjadi."
"Tau, gak, Yang? Ibu beli kotak ini mahal, loh! Nah, coba liat baik-baik."
014N0124
"Aku gabisa inget, Bu. Banyak banget. Itu matematika? Ibu tau, kan, aku gak pinter mtk?"
"Bukan MTK, Sayang. Gini ...." Ibu menulis sesuatu di kertas
0 = D
1 = I
4 = A
12 = R
"Di ... An ... D-Dr-Dra? Diandra? Nama aku?"
"Good job! Betul, Sayang. Diandra!"
Walaupun otak masih proses mencerna ingatan itu, tapi bagi gue gak perlu pikir panjang lagi buat lekas beranjak dari sini. Dengan cepat gue berlari menuju ujung dari anak tangga ini. Hingga akhirnya sampai di depan nakas yang ukurannya sejajar sama pinggang gue. Nakas yang serupa dengan yang tersimpan di kamar mandi ruang atap.
Gue lantas membuka nakas itu. Persis sekali dengan nakas yang ada di kamar mandi, ada lubang kunci yang tertutup. Gue cuma tinggal memutar pegangan nakas tadi sesuai dengan petunjuk yang ada di kertas sketsa ruang gudang itu. Putar ke kanan lima putaran, ke kiri satu kali, dan tekan. Penutup lubang kunci itu kemudian bergeser.
Segera gue buka kotak kunci artistik itu, kemudian memutar lubang kunci.
"Ruang rahasia."
Berdasarkan sketsa ruangan gudang, ruang rahasia di depan gue ini letaknya persis bersebelahan sama gudang. Jika ingin masuk ke gudang lewat ruangan ini, gue cuma perlu masukin kunci artistik tadi ke lubang kunci yang ada di rak buku. Tentu, kode untuk membuka penghalangnya berbeda dengan kode nakas tadi.
Gue menundukkan badan supaya bisa masuk melalui nakas yang terbuka itu. Tak lupa, seperti sebelumnya, gue menutup kembali pintu nakas rapat-rapat, lalu menekan tombol agar nakas bisa tertutup kembali.
"Ruang art rahasia Ibu dan Ayah." Entah udah berapa kali gue nangis. Semua hal yang berhubungan dengan kenangan, yang di dalamnya ada Ibu, sukses bikin hati gue tak berdaya menolak kesedihan untuk singgah di hati.
Ayah keluar-masuk tempat ini hanya untuk mengenang Ibu lewat tulisannya yang menyentuh, lukisannya yang hidup, dan hasil tangannya yang enak dipandang. Semua hal yang ada di ruangan ini didominasi oleh karya-karyanya Ibu. Quotes, puisi, cerpen, lukisan, rajutan, sulaman, anyaman, hasil meronce, dan lain-lainnya lagi.
"Tangan Ibu memang ajaib." Gue mengambil syal hasil rajutan ibu yang tergantung di salah satu sisi ruangan. Menciumnya dan mendekapnya di depan dada. "Hasil tangan Ibu selalu hebat. Masakan Ibu juga lezat. Apalagi karya-karya Ibu, selalu hangat."
"Gimana boneka buatan Ibu ini, Ra?"
"Hah? Ibu yang buat? Serius?"
"Iya, bagus, gak?"
"Iiih, bagus banget, Bu!"
Gue lekas memeluk boneka besar hasil tangan Ibu. Sebuah boneka kelinci yang lucu.
"Dan ... di sini kotak itu berada."
Terdapat kantung di punggung boneka itu. Keliatannya seperti boneka kelinci yang menggendong tas, dan resleting tasnya dibuat mati. Tapi, tidak ada yang tau, kalau pita yang menjadi hiasan tas itu bisa dibuka untuk melihat apa yang ada di dalamnya.
"Ayah kayaknya gak tau soal kotak rahasia ini." Ukurannya seperti brankas, tapi tombolnya lebih banyak.
014N0124 ... gue mengetikkan itu, dan terbukalah pintu kotaknya.
"Handicam, memori card, diary book, and document ...?"
Gak pernah terbayangkan, isinya bikin kepala gue jauh lebih pening dari sebelumnya. Ya, Tuhan! Maaf aku mengeluh lagi, bisakah semuanya normal-normal saja?
***
Garut, 20 Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in Black (Cat)
RandomSaat membuka mata, hatiku terguncang Mahakaryaku dilalap si jago merah Kembali membuka mata, tubuhku berbulu hitam dan berkaki empat Lantas aku bertanya, apa aku dikutuk karena setitik dendam yang membara di hati? Lagi, aku membuka mata, akhirnya k...