Part 16 : Seringai?

13 2 0
                                    

Hari itu, gue bener-bener gedeg sama bokap. Dia gak tau terima kasih banget! Ngelarang Kiran buat jagain gue lagi, Zayn sama Umi juga dilarang jenguk-jenguk gue. Punya masalah apa sih Ayah ini??! Harusnya dia bersyukur karena di tengah ketidakpeduliannya sama anak yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit ini, masih ada yang mau nemenin, ngejagain, ngawasin. Sok banget sih Ayah!

Darah gue udah kayak air mendidih ngeliat keangkuhan Ayah. Tapi gue harus tahan-tahan.

"Silakan tinggalkan ruangan ini, saya tidak butuh kalian, termasuk dengan kucing hitam pembawa sial itu!"

Pembawa sial?!! Gue gak menduga hal seperti ini keluar dari mulut Ayah. Masa Ayah se-kolot itu pikirannya? Amarah gue makin meluap-luap. Akal sehat mencoba menenangkan, tahan, Dra. Tahan.

Tapi ... melihat tangis Kiran yang isaknya terdengar semakin pilu, akal sehat gue tumbang.

"Ayah jahat!!!"

Gue melompat ke arah bokap. Kuku-kuku gue sudah siap menyakar wajah pengusaha angkuh itu. Namun ...

Brak!

Tubuh gue terlempar dengan sangat keras ke dinding.

"Moza!!" Zayn dan Kiran berteriak.

Tak cukup sampai di situ, orang itu ... Om Bram ... dia yang melempar gue ke dinding, menghampiri tubuh berbulu hitam ini dan menginjak-nginjaknya tanpa ampun.

"Dasar kucing s*alan!!" umpat Om Bram.

Zayn dan Kiran terlihat kesulitan menghentikan badan besar Om Bram yang masih menginjak dan berganti menendang tubuh gue. Sementara itu, Ayah cuma terpaku di tempatnya. Sorot matanya tampak kasihan dan tak tega melihat tindakan biadab sang Kakak. Tapi gak bisa gue pungkiri, ada sorot mata 'pengecut' di sana. Dia tidak tergerak untuk menolong makhluk malang ini sama sekali.

Zayn mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa menyelamatkan gue dari sosok iblis yang entah dari mana asalnya. Apa memang sejak dulu Om Bram begitu?

Gue jadi teringat beberapa kejadian sebelum pesta itu. Saat Ayah mau ngasih kepercayaannya ke gue ... "Tolong, ya, Dra. Kalau kamu sukses bikin klien kita makin mantap buat bekerja sama dengan perusahaan Ayah. Ayah bisa pindahin posisi kamu, gak akan di bawah pimpinan bu galak itu lagi."

Gak lama dari itu, Om Bram telepon gue ... "Om suka cerita soal kucing kesayangan Om dulu, kan? Bisa gak kamu lukisin dia buat Om?" Apa itu Om lakukan dengan sengaja supaya hubungan gue sama Ayah gak bisa membaik?

"Wanda, tunggu kehancuran lo sebentar lagi." Kata-kata Om waktu di depan vila itu, apa memang menunjukkan kalau Om sudah punya sifat iblis itu dari lama?

Jika dari segi postur, Om Bram yang besar, berisi, dengan Zayn yang jangkung dan tidak berisi, jelas Zayn akan kesulitan untuk menghentikan tindakam Om. Apalagi Kiran. Mungkin karena itulah, tak kehilangan akal, Zayn rela mengorbankan tubuhnya buat ngehalangin tubuh gue yang masih ditendang-tendang, menyelamatkan badan gue yang udah kerasa remuk.

"Udah, Bram. Berhenti," kata Ayah sambil menarik tubuh Om Bram.

Hahaha .... Rasanya gue ingin tertawa terbahak-bahak mendengar teguran Ayah barusan. Setelah badan makhluk kecil ini remuk, Ayah baru 'bisa' menghentikan saudaranya yang tak punya nurani itu?

Hidup di keluarga seperti apa aku ini?

...

Zayn dan Umi pasti masih berduka atas kepergian Moza. Mereka udah baik banget sama gue, tapi mereka harus menanggung kesedihan atas kepergian gue—-alias Moza.

Setelah kejadian yang mengguncang batin itu, gue, yang masih berada di tubuh Moza ngerasa sakit. Perasaan kian terasa berantakan, sampai makan tak selera. Kesehatan semakin menurun dan sering keliatan lesu di depan Zayn dan Umi. Bahkan, mereka sampai bawa gue ke dokter hewan.

Namun, seminggu setelah kejadian itu berlalu, mereka harus menerima kenyataan pahit. Moza mengembuskan napas terakhirnya.

Dalam ruang yang sudah tidak asing, dimensi di mana Moza--yang asli--sering muncul di mimpi gue. Jiwa gue berdiri di tempat itu bersama dengan Moza, menatap kepiluan dan air mata Zayn beserta Umi.

Moza menatap gue, seakan berkata, tugas atau waktu gue berada di tubuhnya udah berakhir dan selesai. Ia menggesekkan tubuhnya ke kaki gue dan seketika itu, gue tersadar di raga gue sendiri, Diandra.

...

"Ayah beliin kamu hp baru, Dra. Di situ udah ada nomor Ayah, Andre, Ana, Lean, Om Bram juga. Kalau kamu mau kasih kabar bisa langsung chat atau telepon aja."

Bukan tanpa alasan Ayah tiba-tiba beliin gue hp baru, gara-gara kecelakaan di sungai itu kan, hp gue rusak parah. Udah gak bisa di-service.

Gue lantas membuka paper bag yang diberikan Ayah. Benda pipih keluaran terbaru yang lagi diagung-agungkan para elit sekarang berada di tangan gue.

"Maaf kalau kamu gak suka. Ayah tau, kamu gak terlalu suka sama sesuatu yang lagi viral. Tapi, anggap aja itu ganti hpmu yang rusak, sama anggap aja itu hadiah dari Ayah setelah lima tahun gak beliin kamu hp baru."

Kenapa Ayah jadi terlihat lebih peduli dan peka sama gue sekarang ini? Gue jadi bingung, ini bokap gue bukan, ya? Kok kayak beda orang.

"Gapapa, santai aja. Makasih, Ayah."

"Sama-sama."

"Kalau boleh, send nomor Kiran dong. Diandra kangen banget sama Kiran, masa setelah siuman aku gak ketemu bestie tercinta?" Gue harus pura-pura gak tau sama kejadian tempo hari.

"Iya, nanti Ayah kirim." Ayah mencoba tersenyum di tengah ketidaksukaannya, seolah ingin menunjukkan semuanya baik-baik saja.

"Wan, kita harus balik ke kantor lagi," kata Om Bram setelah melihat arlojinya.

"Oke, Kak. Lean, kamu pulangnya pake taksi aja, ya."

"No problem," balas Lean sembari membentuk isyarat 'Oke' di jarinya.

Saat gue ngeliat Om Bram, dia lagi ngangkat tangannya di hadapan gue. Jantung gue sontak dag-dig-dug cemas. Trauma yang masih menjangkit di hati akan kejadian mengerikan itu, membuat otak gue berpikir kalau Om Bram akan menampar gue. Buru-buru gue menghindar dan menutup mata.

"Dra? Kamu kenapa?" Om memegang tangan gue dan seketika itu pula dengan refleks gue tepis tangannya.

"Kakak kenapa jadi aneh gitu sih?" cetus Lean.

Gue membuka mata, menatap Lean, bokap, terutama Om Bram yang keheranan melihat tingkah laku gue, yang mungkin keliatan kayak orang gila?

"Are you okay, Dra?" Om kembali bertanya, tapi tak berani menyentuh gue lagi.

Ah, gue baru keinget sama kebiasaan yang suka dilakuin Om kalau mau pamitan sama gue. Om suka ngusap punuk kepala gue sambil ngacak-ngacak rambut. Duh, kenapa gue lupa sih, malah berimajinasi yang enggak-enggak?

"E-eh i-itu, aku sempet mimpi buruk, jadi kebayang yang enggak-enggak. Maafin Diandra kalau yang tadi nyinggung Om."

"It's okay, Darling."

Sekarang, entah perasaan gue aja atau bukan. Senyum Om Bram kok keliatan kayak seringai?

***

Garut, 29 Maret 2024

😱

Ikut deg-degan gak sih?!!

Sebahaya apa Om Bram ini?

Pantengin terus pokoknya!!😤

I'm in Black (Cat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang