Part 5 : Dibakar Hidup-Hidup

14 1 0
                                    

"Andra, Ayah minta besok kamu gantiin Irwen presentasi di depan klien penting. Irwen sakit tenggorokan, gak bisa ngomong dia."

Walau otak gue pas-pasan, sering kena omel bokap karena gak pinter itung-itungan kayak adek gue si Lean. Tapi gue ngerasa bangga, karena dapet kepercayaan bokap buat presentasi, di depan klien penting lagi! Public speaking it's my passion. But, wait ...

"Tapi kalo presentasinya ada angkanya aku kan-"

"Ah, soal dana itu gak ribet kok. Udah ada hasilnya, cukup kamu bacain."

"Oh, oke."

"Tolong, ya, Dra. Kalau kamu sukses bikin klien kita makin mantap buat bekerja sama dengan perusahaan Ayah. Ayah bisa pindahin posisi kamu, gak akan di bawah pimpinan bu galak itu lagi."

Gue tertawa renyah mendengar penawaran ayah yang sangat menguntungkan. Kalau ayah ada maunya, plus baik-baik gini, gue jadi sayang nih sama dia. Semoga ayah selamanya bisa baik gini. Gak ketus-ketus, apalagi sampe ngerecokin soal lukisan lagi.

"Boleh tuh."

"Pukul enam pagi, Dra. Jangan kecewain klien kita!"

Setelah percakapan di mobil, kami menuju tempat kerja masing-masing. Gue sebagai staf biasa di bawah pimpinan 'bu galak', sementara ayah di ruangan nyaman ber-AC--perbedaan kasta yang cukup kontras.

Ketika waktu istirahat tiba, gue dapet telepon dari Om Bram. Gue langsung menyambut panggilannya dengan semangat, sekalian mau ceritain perkembangan hubungan gue sama ayah tadi.

"Om-"

"Dra."

Suara Om Bram terdengar parau, seperti bangung tidur?

"Diandra?"

Ah, tidak. Ini suara habis menangis!

"Om kenapa?"

Perasaan gue jadi gak enak, walaupun gue tahu, kadang-kadang dia ini orangnya agak aneh. Cuma, ya, gue takut terjadi apa-apa sama Om.

"Kamu bisa tolongin Om, kan, Sayang?"

"Tentu, tentu. Om perlu apa?"

"Om suka cerita soal kucing kesayangan Om dulu, kan? Bisa gak kamu lukisin dia buat Om?"

"Lukisin?"

"Iya, supaya Om bisa ngerasain kehadirannya di sisi Om."

"Em, tapi aku gak-"

"Om bayar kok. Satu lukisan seratus juta gimana?"

"Hah? Beneran?"

"Bener. Bisa, ya? Om tunggu besok."

Konyolnya gue malah mengiyakan ucapan Om Bram. Setelah senang mendengarnya beliau berucap terima kasih berkali-kali dan menutup sambungan telepon. Si*l! Mana gue gak sempet klarifikasi. Mulut sama hati gak sinkron banget!

Mau konfirmasi gak bisa, karena harus pimpin presentasi, tapi gue gak enak.

Gue mempertimbangkan keputusan cukup lama, tentang apa yang harus gue lakukan sekarang. Apakah membatalkan ke'iya'an gue tadi atau enggak? Masalahnya, kalau konfirmasi gak bisa, gak enak sama Om yang udah banyak berbaik hati sama gadis malang ini.

I'm in Black (Cat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang