Perpaduan warna biru pastel, hijau pastel, dan warna putih berpadu membangun gradasi abstrak untuk latar belakang lukisan indah yang berhasil gue buat. Kiran sampai meneteskan air mata usai lukisan ini telah sampai di titik akhir. Katanya, itu air mata bahagia.
Dua hal yang gue pahami tentang kenapa Kiran bisa sampai se-'terharu' itu. Pertama, untuk pertama kalinya Kiran memeluk mahakarya gue dalam ukuran kanvas yang lebih besar daripada biasanya. Ya, biasanya hanya ukuran kanvas-kanvas kecil yang menggambarkan keindahan alam, entah itu langit pagi, senja, malam, suasana pantai dan lain sebagainya, yang gue kasih ke Kiran.
"Itu hadiah buat lo yang udah selalu bertahan sama sikap menjengkelkan gue. Bahkan, lo rela jagain gue di rumah sakit, padahal keluarga gue acuh gak acuh."
Alasan yang kedua, gue yakin bukan karena kata 'hadiah'-nya yang bikin Kiran terharu. Tapi, Kiran amat terharu setelah gue menjelaskan filosofi dari lukisan itu.
Ketiga warna yang terlukiskan secara abstrak itu menjadi background dari highlight lukisan gue. Dua perempuan muda yang sama-sama mengenakan penutup kepala—-hijab—-ceritanya sedang membelakangi kami (pengamat lukisan ini) sembari merangkul bahu satu sama lain. Satu perempuan mengenakan hijab segitiga panjang, sedang satunya mengenakan hijab pashmina. Dan gue sengaja menggambarkan sosok perempuan yang mengenakkan hijab panjang itu dengan sayap ala peri-peri di punggungnya. "Ini tuh kamu, Ran. Kamu itu peri baik dalam hidup seorang Diandra yang berantakan. Kamu teman yang gak melihat aku karena 'ada sesuatu' yang sedang kamu incar, sampai akhirnya aku mantap bersahabat denganmu. Kamu yang selalu sabar mengingatkan hal-hal baik buat seorang Diandra yang kacau-balau."
Gue menjeda sejenak ucapan gue, "Makasih udah hadir di hidup gue, peri baik bernama Kiran."
Air mata Kiran banjir setelah mendengar rangkaian kata-kata yang mengalun dari palung hati terdalam gue hingga ke mulut.
"Udah loh, Ran. Niatnya gue ngasih ini tuh biar lo gak sedih-sedih lagi. Eh, malah terus nangis begini, gue jadi gak enak. Apa gue gak jadi hadiahin lukisannya, ya?" goda gue, berharap Kiran terhibur.
Kiran agak melotot sedikit sambil meninju pelan lengan gue. "Enak aja, gak bisa!"
"Makanya udahan mellow-nya!"
"Iya, iya deh. Nih aku senyum yaa." Kiran menarik kedua sudut bibirnya supaya tampak senyum lebar dengan kedua jari telunjuk. Kesannya malah jadi kayak terpaksa.
"Kurang keliat bahagia ah," protes gue.
Kiran lekas menunjukkan senyum lebar ala iklan pasta gigi di televisi.
"Nah, gitu dong!"
...
Saat azan zuhur berkumandang, gue ngajak Kiran buat salat bareng di kamar. Lumayan kan, nanti salatnya bisa diimamin sama besti sendiri.
"Tapi gue mau ke Kak Zayn sama Umi dulu, Andra," Zayn sama Umi masih ada di rumah sakit? Ah, mungkin dokternya dapet kunjungan banyak pasien, jadinya Umi sama Zayn harus nunggu giliran dipanggil. "Mau ikut?"
Sebenernya gue pengen banget ikut sama Kiran supaya bisa cipika-cipiki dan berpelukan sama Umi sekaligus ketemu Zayn yang udah sabar banget gue recokin pas masih jadi Moza. "Emmm ... kayaknya enggak, Ran. Malu gue. Titip salam aja, ya hehe."
Kiran tentu tidak aneh dengan sikap gue yang seperti ini, sejak dulu gue memang dikenal Kiran sebagai orang yang sangat menghindari ketemu keluarga temen. Gue emang suka kikuk kalau ngobrol sama orang yang lebih tua, kayak gak nyambung aja gitu obrolannya. Makanya males banget.
Tapi, gue yakin banget kalau sama Umi gak bakal ngerasa kayak gitu, karena Umi itu orangnya asik. Cuman, gue gak bisa nunjukkin sikap yang di luar kebiasaan, takut ada yang curiga. Terlebih lagi, pas jadi Moza gue menyadari satu hal, ada mata-mata di sekitar perempuan gila bernama Diandra ini, entah suruhan siapa dan untuk apa, yang jelas mata-mata itulah yang membocorkan informasi soal Umi dan Zayn yang datang jenguk, sampai akhirnya bikin Kiran diusir sama bokap dan ... Moza ditendang-tendang sama Om Bram.
"Ooh oke deh, nanti gue nyusul. Wudu duluan aja."
"Siap!"
Di perjalanan menuju kamar, gue ngeliat Sus Ratna nenteng alat salat. "Loh, Sus? Mau ke mushola?" tanya gue yang ditanggapi dengan anggukan ramah. "Kenapa gak salat di kamar aja?"
"Itu, ada Pak Brama di kamar. Tadi udah saya suruh ke taman aja buat nyusul kamu, tapi Pak Brama mau nunggu di kamar aja katanya. Malu saya kalau salat di kamar hehe."
Mendengar itu, spontan gue menelan ludah susah payah. Akhir-akhir ini kalau inget atau denger nama Om Bram, gue serasa dikasih alat kejut jantung."Om Bram udah lama nunggunya, Sus?"
"Baru lima belas menitan kok?"
"Ooh oke, Sus. Makasih."
Setelah berpisah dengan Sus Ratna, gue memberanikan diri untuk menghampiri kamar inap. Entah mengapa, padahal siang bolong begini, tapi aura horor terasa begitu mencekam. Ritme detak jantung gue kenceng banget, ditambah keringet dingin tipis-tipis keluar dari dahi. Sekarang, ketemu Om Bram malah kayak ketemu guru pengawas killer pas ujian. Duh, inhale ... exhale ....
"Gue gak mau tau, ya! Lo harus jamin seratus persen kalau gak ada kekeliruan lagi. Sebentar lagi gue udah mau deket sama tujuan. Jangan macem-macem lo! Kalau sampe lo macem-macem, abis lo!"
Gue cukup tersentak saat mendengar nada bicara Om Bram yang sedang teleponan dengan orang lain, tampak emosi seperti itu. Buru-buru gue sembunyi di balik tembok yang berada dekat pintu kamar yang terbuka sedikit.
"Lo gak usah ngeyel deh, pemilik Brawn kan, gue!"
"Brawn?" lirih gue keheranan, karena gue tau betul perusahaan itu. Bisa dibilang, Brawn adalah kompetitor perusahaan ayah. "Mana mungkin? Maksudnya Om Bram bekhianat gitu?"
"Gak bener, kan?" Gue kembali bermonolog.
***
Garut, 15 April 2024
Thank you so much yaa udah baca sampai sini. Jangan lupa vote, komen, dan share cerita ini, yaa!☺️
Kamu boleh tag instagram aku @nah.aida23 kalau share di instastory yaa🙌
Pantengin terus yaa😇
See you💞
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in Black (Cat)
RandomSaat membuka mata, hatiku terguncang Mahakaryaku dilalap si jago merah Kembali membuka mata, tubuhku berbulu hitam dan berkaki empat Lantas aku bertanya, apa aku dikutuk karena setitik dendam yang membara di hati? Lagi, aku membuka mata, akhirnya k...