Part 20 : Bertemu

10 2 0
                                    

Gue bergegas meninggalkan pintu depan ruang inap sebelum ketahuan Om Bram nguping percakapan 'pengkhianatannya'. Sampai di depan pintu lift, gue gak bisa langsung masuk karena lift-nya lagi beroperasi, ada yang pake. Perasaan gue jadi gak karuan, detak jantung abnormal, cemas, takut keliatan Om Bram.

Sekian detik kemudian, pintu lift sebelah (lift yang naik ke lantai atas) terbuka. Dari rombongan orang di lift itu, salah satunya ada Kiran.

"Kiran!" Gue buru-buru manggil. sambil narik tangannya. Dari nada bicara dan gelagat gue, pasti Kiran bisa nebak kalau gue lagi panik.

"Kenapa? Ada apa?"

"Salat di mushola aja, yuk? Please."

Tampak beberapa lipatan di dahi Kiran, seolah bertanya kenapa sahabatnya tiba-tiba panik dan merubah tujuan awal yang akan salat di kamar? Beruntung Kiran bisa menyikapinya dengan bijaksana, "Oke, ayoo!" Kiran menarik tangan gue ke lift turun yang kebetulan udah kebuka.

Selama di lift dan perjalanan menuju ke mushola, gue sama Kiran gak bicara apa-apa. Karena Kiran tahu betul cara menyikapi gue kalau datang panik, cemas, dan overthinking, dia bakal ngasih waktu buat sahabatnya sendiri terlebih dulu untuk menjernihkan pikiran. Baru kalau gue udah keliatan tenang dan lega, Kiran bakal ajak bicara.

Mushola letaknya bersebelahan dengan kantin. Gue liat Sus Ratna lagi duduk di meja kantin, menunggu pesanan. Untung aja Sus Ratna udah keluar dari mushola, kalau masih di sana nanti gue ditanya-tanya. Gue gak bisa jelasinnya. Dan gue cukup beruntung juga karena Sus Ratna gak ngeliat keberadaan gue. Mungkin Sus Ratna udah lapar banget, fokusnya lagi ke makanan haha.

Sampai di mushola, gue ngeliat Zayn dan Umi yang wajahnya basah dengan air wudu lagi ngobrol-ngobrol sambil jalan menuju pintu mushola. Padahal gue tadi berusaha ngehindar, sekarang malah dipertemukan gini.

"Eh, kalian salat di sini juga?" Zayn yang pertama kali menyadari keberadaan gue dan Kiran.

"Iyaa nih. Imamim dong Bang Zayn!" kata Kiran diakhiri tawa kecil.

Gue yang sengaja memasang wajah canggung dan menyapa mereka dengan senyum kikuk, jadi terkejut dengan apa yang Kiran katakan. Setelah perasaan menegangkan yang gue dapet di depan kamar tadi, sekarang perasaan gue berubah senang sekaligus tak percaya.

"Boleh, yok!"

"Hah?!" Gue keceplosan saking kagetnya. Refleks gue tutup mulut pake tangan. Gak nyangka Zayn bakal mengiyakan.

"Gak usah khawatir, An. Wong dia ini calon ustadz kok," tutur Kiran.

"Bisa aja kamu, Ran," komentar Zayn.

Mendengar itu gue hanya membalas kikuk, "Hehe ... i-iya."

...

Air mata gue jatuh setelah salat bersama mereka. Dulu, saat masih di tubuh Moza, ngeliat Umi sama Zayn salat, kadang secara sendiri-sendiri dan kadang salat bersama, sukses bikin hati gue bergetar karena kagum pada kekhusyukannya. Sampai-sampai gue berangan, seandainya saat ini aku bukan Moza, aku pengen banget salat bareng kalian, terutama diimain sama Zayn. Kapan, ya, itu bisa terjadi? Atau jangan-jangan keinginan ini bakal jadi angan-angan semata, gak akan terwujud?

Dulu, perasaan gue didominasi dengan kepesimisan, karena menganggap seorang Diandra gak akan bisa balik ke tubuh asalnya, bakal jadi Moza selamanya. Namun ternyata, tanpa disangka gue balik lagi ke tubuh ini. Angan-angan yang mengudara saat masih berada dalam tubuh Moza akhirnya terwujud juga di depan mata.

"Alhamdulillah," lirih gue sambil mengusap tetesan air mata sebelum keberadaannya disadari Kiran, Umi, ataupun Zayn.

Setelah selesai berdoa, gue dan Kiran saling berjabat tangan, sedang pada Umi kami mengecup punggung tangannya. Ketika Umi dan Kiran berjabat tangan dengan Zayn, untung otak ini sinkron, gak ikut-ikutan. Karena gue sadar akan kebiasaan Zayn yang tidak mau menyentuh seseorang yang bukan mahramnya. Tangan gue terkatup di depan dada. Ajaibnya, hal ini bersamaan dengan apa yang sedang Zayn lakukan.

Dan entah kenapa ... keadaan ini seperti de javu.

Setelah keluar dari mushola, gue lekas menghampiri kucing belang kurus yang sedang tertidur di teras. "AAA GEMESS!!" Itu reaksi otomatis gue kalau liat kucing plus langsung gendong dia. Gak peduli dia baru istirahat atau apalah, yang penting gue puas bisa deket-deket sama makhluk berbulu ini.

Sekilas gue liat ekspresi Kiran, Zayn, dan Umi bahagia ngeliat gue kegirangan ketemu kucing.

"Kamu pasti lapar, ya? Eh, aduh ... gak ada stok makanan kucing lagi aku, emm nanti aku pesenin pake ojol deh, ya? Nanti kamu ikut aku ke kamar, Meng."

Kalau Om Bram masih ada di kamar, setidaknya dengan bawa anabul ini, bisa meminimalisir rasa cemas gue.

"Aku bawa makanan kucing, Ra. Kasih aja ke dia sekarang. Mungkin dia sengaja tidur tuh buat ngelupain rasa laparnya," saran Zayn sembari membuka resleting sling bag yang dia bawa.

Zayn ngeluarin dry food kemasan sachet sama snack kucing, dan yaa ... itu makanan-makanan yang pernah dikonsumsi gue—Moza—dulu. Rasanya cukup lezat pas gue rasain waktu jadi kucing, tapi pas gue jadi manusia, lidah yang ada di tubuh Diandra ini gak cocok sama makanan kucing—ini dari hasil nyoba beli snack kucing dan icip sedikit secara sembunyi-sembunyi dari pihak rumah sakit, terutama Sus Ratna.

Kami semua pun beranjak untuk duduk di kursi kantin yang kosong buat nemenin kucing belang ini makan dengan nyaman.

"Biasanya kalau ketemu kucing, kamu suka bilang gini An, 'Duh, pengen jadi kucing deh. Enak kayaknya hidup jadi kucing'. Tumben enggak, An?" tanya Kiran sembari terkekeh mengingat hal konyol itu.

"Oh, gitu, Ran?" Umi tampak terkejut, tetapi kemudian tawanya terdengar renyah.

"Berarti Rara masih sama kayak dulu." Meski pelan, tapi gue bisa denger kata-kata itu. Tapi gue pura-pura gak nangkep apa yang Zayn omongin, "Kenapa Kak Zayn?"

"Ah, enggak ada apa-apa kok."

Seandainya gue inget saat-saat kita masih kanak-kanak, pasti seru deh bisa nostalgia bareng. Maaf, ya, Zayn.

"Gue mau mensyukuri hidup gue sebagai manusia aja, Ran. Karena kayaknya, jadi kucing gak selamanya enak. Manusia di muka bumi ini gak semuanya suka kucing. Kayaknya gue gak akan siap kalau harus dicemooh, dianggap sial, sama dianiaya. Bukankah itu lebih parah dari nasib gue yang manusia? Gue gak siap."

Gue yang sejak tadi bercerita sambil menunduk, tak mampu menatap mata mereka, tapi kini gue mencoba memberanikan diri untuk mendongak sejenak. Gue liat Kiran, Zayn, dan Umi saling bertukar pandang, seolah mengatakan, itu yang terjadi pada Moza ... itu yang terjadi pada Moza ... Sungguh malang kucing itu.

Terlebih lagi mereka pasti ingat jelas kejadian di ruang inap kala itu, Kiran dan Zayn yang mendapati penganiayaan itu pasti menyimpan lukanya sampai saat ini. Om Bram benar-benar tidak punya hati.

"Moza, seandainya kamu adalah kucing yang sama, kamu pasti tau, betapa busuk Om Brama." Zayn pernah bilang begitu sehabis ketemu Mang Awi dan Om Bram di vila.

Apa bener Om Bram lebih buruk dari ekspektasi gue saat ini? Ah, setidaknya gue udah tau sedikit, gimana wajah aslinya yang selama ini ditutupi topeng.

***

Garut, 22 April 2024

Seperti biasa, thanks udah baca cerita ini sampai ke part ini yaaa🤗 Gak kerasa udah sampe di part 20. Dulunya aku nargetin bikin novel mini aja sampe 20 part, eh ternyata ... dasar author tipe plantser, malah jadi di luar rencana dan ketagihan buat ngembangin alur😂😂

Btw, jangan lupa vote, komen, dan share ke temen-temen kamu yaaa🙌

Salam hangat, Author🥰

I'm in Black (Cat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang