Part 10: Kiran

16 1 0
                                    

Lagi-lagi, gue mengalami hal yang serupa. Entah udah berapa kali, gak dihitung juga sih, gue berada—-lagi-—di tempat asing sendirian dengan tubuh seorang Diandra, bukan Moza. Setiap gue mengalami ini, seluruh saraf di otak kompak bertanya, apa ini mimpi?

Seperti biasa pula, gue bertemu sosok Moza di sini. Kali ini, makhluk berbulu hitam mengkilat itu sedang tidur meringkuk di bangku taman. Di beberapa kesempatan sebelumnya, biasanya Moza selalu aktif mengajak gue bermain. Apakah hari ini dia kelelahan?

Gue memutuskan untuk duduk di sebelah Moza, diam tak mau mengusik. Dalam keheningan itu, gue cuma bisa melamun dan mencoba berpikir, tapi itu semua hanya sia-sia belaka, karena isi pikiran gue kosong. Apa yang harus dilamunkan dan dipikirkan? Apakah mimpi yang mirip setiap kalinya patut gue pertanyakan secara serius? Karena bagaimana pun, mimpi adalah mimpi, hanya bunga tidur, kan? Percuma saja berpikir terlalu keras kalau hanya mimpi belaka.

Seiring berjalannya waktu, rasa bosan menyergap hati. Sedang Moza masih terlihat tenang, menikmati tidurnya yang indah.

Gue menatap seksama wajah Moza yang tenang dan imut itu. Menggemaskan. Tangan pun lantas terulur untuk mengusap-ngusap puncak kepala Moza. Mungkinkah Umi dan Zayn merasakan hal serupa saat mereka melihat wajah Moza yang selucu ini?

Mendadak terpikir hal random di pikiran gue. Kucing dan manusia punya kesamaan jika puncak kepalanya dibelai, sensasi nyaman dan bahagia lantas terasa berlipat-lipat. Hingga kemudian rasa itu menyebar ke seluruh sel tubuh.

Entah kebetulan atau bagaimana, gue membuka mata perlahan--dalam raga Moza--dan merasakan belaian seseorang di kepala gue. Ini bukan tangan Umi ataupun Zayn, tekstur tangan mereka tidak seperti ini. Tapi, gue bisa memastikan, ini tangan perempuan.

Tangan yang kasar karena bekerja keras, tapi memancarkan kelembutan dan juga kehangatan yang berasal dari hatinya yang baik. Gue sampai merem melek menikmati sentuhan perempuan satu ini, antara ingin tidur kembali atau memandang parasnya.

Hah?!!

Mata gue membulat sempurna, disusul sisa rasa kantuk yang lari tunggang langgang bersamaan dengan lirikan mata gue ke arahnya. Jika saja gue gak milih buat melihat wajah perempuan pemilik inner beauty ini, gue gak akan pernah tau kalau dia ... bidadari surga yang kerap kali gue impikan akhir akhir ini!

...

"Gimana Kiran? Kamu sudah agak baikan setelah ketemu Moza?" tanya Umi yang kemudian duduk di sebelah Kiran sembari meletakkan segelas teh hangat di meja.

"Alhamdulillah, Umi. Udah gak terlalu galau," jawab Kiran diakhiri dengan simpulan senyum tipis.

Sementara itu, gue cuma bisa bengong di sebelah Kiran. Seluruh persendian di tubuh gue rasanya rontok, lemasnya meresap sampai ke tulang-tulang. Sedang isi otak gue riuh dengan ragam pertanyaan baru.

Kenapa Kiran ada di sini?

Kiran siapanya Umi dan Zayn?

Kenapa Kiran gak pernah ceritain soal mereka ke gue?

Tapi, saat melihat dua bola matanya yang memprihatinkan, semua pertanyaan-pertanyaan itu bungkam dengan sempurna, yang tersisa hanya rasa iba. Kondisi Kiran saat ini, sama persis dengan yang ada di mimpi-mimpi gue beberapa waktu lalu. Matanya sembap karena sering menangisi kepergian gue, kurang tidur, dan kurang makan. Lihat saja, tubuhnya jadi agak kurusan.

Mungkin inilah kenapa gak ada baiknya kalau keinginan gue dikabulkan Tuhan. "... Enakan hidup jadi kucing, haha ... tidur seharian gak masalah, makan banyak gak masalah. Gak ada yang nuntut buat jadi orang hebat demi memuaskan ekspektasi egois orang lain." Karena nyatanya, gue malah bikin seseorang menderita seperti ini. Bisakah gue kembali menjadi seorang Diandra dan memeluk Kiran?

"Eh, ini Kiran, kan, Umi?" Zayn yang baru keluar kamar lantas tersenyum mendapati seorang perempuan berjilbab di samping uminya--dan gue juga.

"Bang," sapa Kiran yang kemudian menyalami tangan Zayn.

Mereka saudara? Adik kakak? Atau apa?

"Ya Allah, Ran, kamu di Jakarta udah lima tahun, tapi baru mampir ke rumah sekarang? Parah sih!"

"Waktu SMK aku sibuk, Bang. Tau sendiri dapet beasiswa di sekolah elit tuh effort-nya harus ekstra!" balas Kiran.

Benar, SMK gue sama Kiran itu sekolah elit. Gak murah biayanya. Tapi Kiran pinter, makanya dapet full beasiswa, asalkan dia bisa bertahan di ranking tiga besar.

Kebayang, kan, betapa bagai bumi dan langitnya gue sama Kiran?

"Kiran selama kamu KKN lumayan sering berkujung ke sini kok, cuma Umi belum cerita aja ke kamu, soalnya emang ada permasalahan yang gak bisa Umi sampaikan lewat hp," sela Umi.

"Iya gitu, Bang. Nanti Kiran ceritain ke Abang."

"Ooh, oke?" balas Zayn terlihat agak bingung.

Zayn duduk di sofa berbeda sembari membawa gue ke pangkuannya. "Kenalin Moza, Kiran itu sepupu saya. Dulu, pas saya belum pindah ke Jakarta, pas masih jadi bayi-bayi mungil, kita sering main bareng. Bahkan, udah terikat tali persaudaraan yang kuat, karena ada hubungan saudara sepersusuan."

Ternyata, mereka punya hubungan persaudaraan. Tapi gue gak pernah tau soal ini, Kiran gak pernah cerita atau memperkenalkan Zayn ke gue sama sekali.

"Aku tadi ketemu saudara aku di toko buku, terus abis itu diajak jajan dong, An. Kamu mau aku kenalin gak? Ganteng loh!"

"Enggak, makasih!"

Oh iya, bukan mutlak salah Kiran, ya? Hehe. Gue aja yang selalu menghindar kalau ditawarin kenalan sama cowok, karena ngerasa bakalan percuma. Gue orangnya bebal, siapa pun pasti bakal ilfeel sama gue.

"Abang kayak lagi ngejelasin Kiran ke anak Abang deh." Kiran tampak terkekeh, dan kekehannya itu membuat perasaan gue sedikit lega. Setidaknya, dalam kesedihan yang melingkupi hatinya, dia masih bisa tertawa.

"Eh, jangan salah Kiran. Moza ini anak kesayangan Umi, tau! Sebagai anggota keluarga baru, dia harus tau dong Kiran itu siapa," balas Zayn sembari memainkan kedua tangan gue--kaki depan sebenernya.

Umi tertawa kecil. "Ran, Umi tuh gak pernah tau, ya, Zayn anaknya cemburuan. Pas ada Moza, eh cemburuan abis dia tuh."

"Oh iya? Kasian banget Bang Zayn!" kata Kiran diakhiri tawa kecil.

Kalau sudah begini, apakah pertemuan ini akan ada hikmahnya? Karena mau bagaimana pun, Kiran akan tetap menganggap gue hilang, dia akan tetap menangis, sementara gue yang terjebak di tubuh 'Moza' hanya dikira seekor kucing saja dan kemudian hidup dalam perasaan bersalah--apakah itu selamanya?

***

Garut, 30 Januari 2024

Long time no update🙌

Sorry yee, pekan kemarin itu beneran pekan padet sekali, jadi aku baru bisa update sekarang deh😸🙏

Semoga bisa dinikmati

Penasaran sama kelanjutannya?

Stay tuned yaaa!

Salam hangat, author🥰

I'm in Black (Cat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang