🏠 - Sembilan Belas

656 54 15
                                    

"Semua akan baik-baik saja seiring
waktu berjalan."

***

"Sendiri mulu, lo gak kangen kita?"

Suara dari Artha berhasil mengejutkan Chandra. Dia tersenyum kikuk pada Artha yang berada disamping Aden.

"Sekangen itu sama kita, ya? Sampe kaya orang gak kenal," cibir Aden dengan senyum tipisnya.

"Maaf."

Hanya satu kata yang bisa Chandra ucapkan. Dia tidak terlebih dahulu memikirkan perasaan sahabatnya ketika melontarkan kalimat menyakitkan yang amat sangat menjadi masalah terbesar Artha.

"Gue udah maafin. Dari zaman kudanil." Artha memukul kuat di lengan kiri Chandra. "Cus meluncur ke getuk lindri Pak Syukron. Nunggu apa lagi?"

Mereka bertiga berdampingan berjalan disepanjang koridor. Menuju ke stand getuk lindri yang ada di kafetaria kampus mereka.

Aden, Artha dan Chandra duduk di meja ujung namun ke tengah. "Gue kedepan dulu, ya. Mau pesen," pamit Aden pada keduanya yang dibalas anggukan.

"Ar, maafin gue. Gue bener-bener kalut waktu itu," tutur Chandra masih dengan nada yang pelan. Artha malah membalas dengan senyuman. "It's oke. Gue juga tau realitanya gimana. Udah gue maafin juga, kok. Santai aja."

Chandra menempeleng kepala Artha dengan kuat, hingga si korban mengaduh kesakitan.

"Cieee. Udah baikan, nih!" heboh Aden yang baru datang bersama tiga porsi getuk lindri beserta toppingnya. Dia memposisikan duduk sambil memberikan mika berisi getuk lindri tersebut.

Agak lama, setelah mereka melempar canda tawa dan obrolan.

"Gue iri sama lo, Chan ...."

Chandra menghentikan kegiatan makannya, menatap Artha yang barusan melontarkan kalimat itu padanya. "Iri? Sama gue?"

Artha mengangguk, sementara Aden masih sibuk dengan getuknya. "Lo punya saudara, meskipun lo sering berantem sama mereka, kalo lo ada masalah juga bisa saling cerita, saling ngerti. Lah gue? bantal aja kadang diajak curhat."

Chandra terdiam, benar juga apa yang dikatakan Artha. Seolah saat ini Chandra merasa menjadi orang paling tidak bersyukur. Ditambah lontaran yang ia berikan kepada Andy, membuat Chandra semakin tidak nyaman dengan perasaan si bungsu.

Tak hanya Andy, bahkan dia tidak memikirkan bagaimana Jevin, Jendral, Leon bahkan Juna yang menutupi keluhan tentang Mahen. Justru dirinya yang selalu mengungkit-ungkit hal yang sudah tidak ada.

Aden turut mengangguk. "Gue sama aja. Jadi anak tunggal, bonyok udah sibuk banget sama kerjaan. Alesan gue milih punya apart sendiri itu ya... karna dirumah juga gue udah cape dengerin Mama sama Papa yang ribut terus."

"Jangan pernah sakiti saudara lo itu, Chan. Mereka berharga banget buat hidup lo. Contohnya aja kita, gak punya saudara, gak punya tempat buat cerita hal-hal random."

Chandra menatap sendu kearah meja. "Sebenernya kemarin malem, gue abis ngomong gak pantes sama Andy."

"Ngomong apa?" tanya Artha.

Chandra-pun menjelaskan secara rinci. Membuat kedua manusia itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Aden nampak memegang dagunya, dengan tampang sok berpikir. "Gue tau caranya biar Andy gak marah lagi!"

***

Chandra menilik arloji hitamnya. Bel pelajaran telah berbunyi, seluruh siswa dan siswi sekolah itu berhamburan keluar. Banyaknya orang menghalangi pengelihatan Chandra. Akhirnya, dia menemukan siluet bocah yang dicarinya.

Argana || NCT Dream [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang