🏠 - Delapan Belas

766 53 11
                                    


"Dipaksa keadaan untuk mendadak jadi sulung itu sulit."

-Rendra Juna

***


"Abang pernah punya pemikiran untuk bunuh diri, nggak?"

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya kaya gitu?" Mahen bertanya balik.

"Gak papa, cuma pengen tau aja."

"Abang memang punya pemikiran kaya gitu. Tapi abang singkirin karena abang tau kalo itu, dosa besar." Mahen menatap Juna dengan tersenyum. "Mungkin kalo abang beneran melakukan, tandanya abang udah bener-bener capek."

"Ish, kok abang ngomong gitu, sih!"

"Ya kan emang bener, Juna." Dia menjeda sejenak ucapannya. "Hidup kamu jangan pernah kamu anggap susah, ataupun seakan itu semua berat. Percaya deh, kalo kita semua selalu bersama pasti bakalan bahagia."

"Tapi nggak setelah abang pergi. Separuh kita hancur, Bang. Dan, Juna juga capek."

Juna bergumam di dalam kamarnya, lebih tepatnya di depan meja kerja yang penuh dengan dokumen penting milik Juna. Malam itu, Juna ditemani dengan secangkir kopi hitam dan kedamaian malam yang membuat dirinya merasa lebih tenang.

"Apa Juna bisa gantiin peran Abang yang susah ini? Juna tau Abang itu gak gampang menyerah, tapi kalo kaya gini ... Juna semakin berpikiran kalo Juna juga nggak bisa. Dan nyatanya, mendadak jadi sulung itu bener-bener nggak enak, Bang. Juna juga belum siap buat jadi dewasa. Juna belum siap punya tanggung jawab yang besar buat kita semua. Juna ..., sebenernya hancur, Juna gak bisa."

Gumaman Juna yang terdengar nyaris terisak itu didengar oleh Chandra yang kebetulan sedang ingin kekamar mandi. Rasa yang tadinya sudah tidak tertahan, akhirnya hilang entah kemana saat telinganya mendengar satu persatu penuturan Juna dikamarnya.

"Abang pergi terlalu cepet. Juna dan kita semua masih butuh peran Abang disini. Juna belum sempet balas semua yang abang kasih ke Juna. Juna juga belum bisa jadi kaya abang yang sekuat tenaga cari uang demi kebutuhan kita. Dan Juna..., Juna masih butuh abang. Juna nggak sekuat abang, Juna ka-ngen abang."

Mata Chandra berkaca mendengar itu. Seorang Juna yang galak dan humoris itu ternyata memiliki sisi kerapuhan juga. Apakah Chandra sejauh itu sampai tidak mengetahui tentang Juna?

Sekarang Chandra benar-benar merasa jika dirinya egois. Dia salah. Seharusnya Chandra juga memikirkan bagaimana perasaan saudaranya yang lain, dia tidak sendiri.

Terlebih Juna, menjadi anak sulung mendadak tentu tidaklah mudah. Itu membuat rasa bersalah Chandra semakin menyeruak.

Akhirnya Chandra memberanikan untuk masuk kekamar bernuansa abu hitam itu.

"Bang ...."

Juna menyempatkan menghapus jejak air matanya sebelum menoleh. Dirinya mendapati Chandra yang berjalan kearahnya dengan wajah masam. "Kenapa belum tidur? Udah malem loh, ini."

Chandra menggeleng. Dua detik kemudian, dia menangis didepan Juna. Dia terisak sambil menutupi kedua matanya dengan tangan. "Maafin Chandra... Gue nggak mikir banget, dan udah ngerasa paling tersakiti, gue bahkan lupa sama eksistensi lo disini, Bang."

Juna tersenyum tipis, merentangkan kedua tangannya memberi isyarat pada Chandra. Tanpa basa-basi, Chandra langsung berhambur ke pelukan Juna. Sebenarnya memalukan sekali jika dilihat adik-adiknya.

"Gak papa, kok. Abang juga paham sama posisi kamu. Jangan nangis lagi dong, emang nggak malu diliatin adik-adik kamu?" balas Juna tulus.

"Maafin gue, Bang."

Argana || NCT Dream [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang