🏠 - Tujuh Belas

560 48 5
                                    


"Bukan cuma lo yang kehilangan.
Jangan merasa sok paling tersakiti."

-Jevinza Narendra

***

Dua hari belakangan menurut seorang Chandra sangatlah jengah. Artha dan Aden terus saja menjauhinya. Chandra adalah tipikal orang yang jarang terlebih dahulu meminta maaf.

Lagi pula, itu bukan salah Chandra, kan?

Tetapi, perlu diakui jika Chandra terlalu kasar melontarkan kalimat itu pada Artha.

Dia mengacak rambutnya. Danau biru, masih ingat? Tempat seribu kenangan bagi ketujuh Argana. Chandra tampak menelfon seseorang. Dia memutuskan menelpon Jevin karena dia-lah satu-satunya orang yang tidak sibuk saat ini.

Selang lima belas menit, suara motor yang begitu Chandra kenal terdengar, motor milik kembar. Tetapi, saat ini Jevin hanya datang sendiri karena Jendral menginap dirumah temannya.

Sebentar lagi, senja menyapa. Kedua manusia itu terdiam beberapa saat selepas melontarkan candaan dan tawa.

"Je."

Jevin menimpali dengan dehaman. "Gue ngerasa, gue ini ... gak bisa lupain Bang Mahen, gak akan bisa." Chandra menjeda kalimatnya. "Dan ini semua, karna Ibu dan Ayah yang pergi."

Jevin menghembuskan nafas gusarnya. "Stop mikir kaya gitu, Chan! Kita emang gak harus lupain Bang Mahen. Semua udah diatur! Perginya Bang Mahen itu cuma karena takdir!!"

"Takdir?"

"Takdir lo bilang?! Jelas-jelas Bang Mahen gak akan pergi kalo Ibu sama Ayah gak pergi juga!! Dia udah cape gantiin peran mereka berdua sekaligus, kalo nggak karna mereka berdua, pasti keluarga kita masih kayak dulu!!" Chandra berada di puncak emosinya. Ia sungguh muak, kesana kemari hanya jawaban yang sama yang dia dapatkan. Tidak adakah satu orang yang mengerti dirinya?

"LO GAK PERNAH TAU GUE, JEVIN. GUE YANG SELALU KEINGET BAYANGAN BANG MAHEN, GUE YANG SELALU NUTUPIN SEMUA LUKA GUE DARI KALIAN. APA LO PERNAH NGERTIIN GUE??!!"

Chandra mengatur nafasnya sejenak. Selalu begini, apakah dengan Chandra rindu akan sosok Mahen itu salah? Apakah dengan ini dia bisa disebut egois?

"Dan lo ... Lo nggak pernah ngertiin posisi kita. Lo selalu ngerasa seolah paling tersakiti. Buka mata lo!! Gak cuma lo doang yang kehilangan, Chandra! Lo cuma berpikir kalo lo doang yang tersakiti!!"

"Lo bener-bener egois, Chandra." Jevin menatap tak percaya kearah saudaranya ini. "Lo nyalahin Ayah dan Ibu itu karena apa?! Karena definisi bahagia lo itu cuma di Bang Mahen hidup! Apa lo nggak mikir?! Apa lo nggak mikir gimana jadi Jendral? Andy dan Leon? Atau bahkan Bang Juna? Lo punya otak gak sih, Chan??!!"

"BAHKAN ANDY YANG PALING KECIL DIANTARA KITA AJA BISA BERPIKIR LEBIH DEWASA DARIPADA LO!!"

"Gila, lo!"

Jevin menatap Chandra dengan sorot emosi. Dia memilih untuk memakai kembali jaketnya dan berjalan kearah motor miliknya setelah berdebat dan menunjuk-nunjuk wajah saudaranya itu. Dapat disimpulkan jika memang Chandra egois.

"Semua orang sama aja. Nggak ada yang bisa ngertiin gue."

"Tapi ... Apa gue terlalu egois?"

***

Sudah terhitung dua jam dari Chandra menapakkan kaki dirumah, dia tidak aktif seperti sedia kala. Bahkan saat kelima saudaranya makan malam bersama, Chandra justru mengurung diri didalam kamarnya.

Argana || NCT Dream [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang