🏠 - Dua Puluh Tujuh

628 48 6
                                    

TOK TOK TOK

"ASSALAMUALAIKUM!!!"

Jam tujuh tiga puluh Waktu Indonesia Barat, suara ketukan pintu beserta salam terdengar dari depan rumah enam Argana bersaudara.

Chandra yang kebetulan sedang menggosok baju yang nanti akan dia kenakan turut mendengar. Dia bergegas keluar ke sumber suara.

"Eeeeeeehhhhh Ayang Bambang. Ada apa, Yang?" Chandra berjalan dengan sok letoy. Menuju keambang pintu dimana Bambang berada.

"Najisun banget kau ge. Istri saya tadi buat Pindang sama Sruit, terus dia suruh saya kasih ke kalian, kebetulan masaknya juga banyak. Jangan lupa dimakan."

"Ih, ayang perhatian banget." Chandra memajukan bibir bawahnya. "Jadi makin cayang."

Bambang menampilkan ekspresi ingin muntahnya. Teringin menonjok anak muda yang agak gesrek otaknya ini, tapi Bambang adalah manusia sabar dan tidak mudah marah.

"BAPAK!! INI KOK ROJALI EEK DIDEPAANNNNN!! EMANG GAK LIATIN KALO IBU ABIS NGEPEL LANTAI TADI PAGI??!!!"

Ini contohnya.

Bambang langsung tersiap dan berlari dari rumah Argana. Menatap cengo Bambang yang berlari layaknya bocil jamet. "Ayang gue agak najis juga, ya."

Chandra langsung teringat sesuatu, bola matanya membulat. "GOSOKAN GUE!! INNALILLAHI!!!!"

Sesuai prediksi, namun lebih parah. Baju kemeja kesayangan Chandra sudah bolong tengahnya. Kemeja ini sangat limited edition, hanya ada satu di dunia. Bukan karena harganya yang menembus langit, ataupun merk dan motifnya, melainkan ini adalah kemeja yang dibelikan oleh Ayahnya saat dia berhasil mendapat juara satu dikelas.

Penuh perjuangan dan kenangan, sebab itu Chandra sangat sayang.

Ingin menangis, tapi Chandra urungkan mengingat makanan yang diberikan Bambang tadi. Sedih memang, tapi rasa lapar lebih seratus persen diatas rasa sedih.

Dia mencabut kabel setrika dari saklar. Rute utama Chandra adalah menuju dapur. By the way, Chandra dirumah sendirian. Juna sudah berangkat kerja, dua bontot ke sekolah dan si kembar yang sedang ada jadwal pagi.

Dia berjalan lesu kearah meja makan. Sejenak menaruh rantang kecil yang berisikan Pindang buatan istri Bambang.

Tak langsung membukanya, Chandra justru menatap lamat kearah piring yang berada di samping dia menaruh pindang, diatas meja.

"Kita makan sama telur aja, nggak papa, kan?"

Arina membawakan piring berisi telur dadar berukuran lumayan besar yang kemudian dia taruh di meja.

"Gak ada ayam goreng, ya?" Chandra menatap lesu ke telur dadar itu.

Raut wajah Arina terubah seketika, menjadi ekspresi bersalah pada penuturan anaknya. Mahen yang peka dengan Ibunya itu, langsung menegur Chandra agar tidak berkata lagi demikian.

"Stt, Chandra. Bersyukur sama apa yang udah Tuhan kasih buat kita. Sekedar telur dadar juga kan ada manfaatnya. Enak juga." Mahen tersenyum pada adiknya itu. "Kita udah termasuk orang beruntung bisa makan. Sekarang, Chandra coba makanannya, pasti enak."

"Maafin Ibu, ya. Lain kali, Ibu masakin kalian yang enak, tapi bukan sekarang, ya?" Keenam adik Mahen itu tersenyum saat Ibunya berkata demikian.

"Sekarang, semuanya makan. Ibu panggil Ayah dulu, ya. Kalian duluan aja."

Arina meninggalkan meja makan tersebut. Berniat ingin ke kamarnya yang sekaligus kamar Devin.

Argana || NCT Dream [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang