Tamu tak diundang

35 4 3
                                    

"Dari dulu bahkan sebelum kita kenal gue sudah suka Genta. Seperti Ody, hanya dalam diam. Bedanya waktu itu gue mengenalnya sebagai teman. Kami mulai berhubungan sejak pertengahan kelas 10" ia berhenti dan menatap kosong seolah menerawang. Aku menahan nafas begitu juga yang lainnya.

"Gue juga merasa bersalah saat itu, tapi ternyata hati gue terlalu egois. Gue juga menginginkan Genta bukan hanya Ody dan disitulah gue tanpa pikir panjang menjalin hubungan dengan Genta"

"Jadi di sini ternyata gue yang salahnya ya" monologku sembari terkekeh seolah hal ini lucu.

"Ody.." lirih Emma.

"Kami sudah putus setahun lalu, hubungan kami tidak bertahan lama. Sebenarnya salah gue yang menyakiti Genta dan itu masih jadi penyesalan terbesar gue" ucapnya lagi dengan sorot mata meredup dan sendu.

"Memang apa yang lo lakuin?" Tanya Aula.

"Gue ninggalin dia saat paling rapuhnya seorang Genta. Gue dengan egoisnya tidak mengerti kalau ia sedang hancur-hancurnya. Kalo memikirkan lagi alasan gue dulu hanya karena ia tidak memiliki banyak waktu membuat gue mempermasalahkannya. Tidak pernah terpikirkan kalo dia juga sibuk buat merawat Neneknya" Emma menundukkan kepala dan ku lihat matanya berkaca-kaca. Entah itu air mata kekecewaan atau penyesalan.

Aku sendiri mendengarnya cukup tercengang dan tidak menyangka. Memang kalo menjadi Emma pastinya penyesalan akan menghantuinya.

"Gue gak tau harus ngomong apa, bahkan siapa yang salah di sini tidak bisa diketahui. Gue juga gak ada hak buat ngomentari hubungan lo sama Genta. Tapi it's oke semua akan mereda pada waktunya" ucapku menatap langsung ke matanya.

"Sudah kan? Penjelasan lo sama sekali gak ada bobotnya buat permasalahan kita. Yang gue maksud di sini adalah lo nyembunyiin rahasia besar dari kita dan membuat kami seolah-oleh bertindak seperti  badut di mata lo!" Ella memang masih keras kepala dan ia seolah tidak puas dengan penjelasan dari Emma.

"Ella! Sudah jangan menambah masalah yang gak perlu!" Seru Aula. Aku juga merasa kini Ella sudah terlalu kelewatan.

"Gue gak menambah masalah, cuma gue merasa terbodohi aja selama ini. Jadi persahabatan kita selama ini cuma sebatas ini?" Ella bangkit dan terlihat menatap tajam Emma kemudian ia pergi berbalik.

"El! Ella!" Teriakku mencoba memanggil Ella yang menjauh tapi ia seolah tidak mendengarkan.

"Maaf" lirih Emma membuatku dan yang lainnya menatapnya penuh tanya.

"Maaf karena gue udah membuat suasana gak enak dan persahabatan kita jadi renggang" ucapnya dengan nada penuh penyesalan.

Aku mendekati Emma dan duduk di sampingnya lalu merangkul bahunya. "Setiap orang pasti membuat kesalahan dalam hidupnya, tanpa terkecuali. Lo udah ngakuin kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahan juga udah bagus banget. Gak usah khawatirin tentang Ella, ntar amarah dia reda juga kok"

"Thanks" ucap Emma menatapku dengan berkaca-kaca.

"Jangan nangis, gue jadi ikutan juga kan" celetuk Melia ikut berkaca-kaca matanya.

"Sini gue buka jasa pelukan" ucap Nadira membuat gerakan seperti hendak memeluk membuat Melia bangkit dan menjauhi Nadira.

"Jijik!" Serunya dengan ekspresi jijik yang kentara sekali.

Aku tertawa begitu juga Emma yang terkekeh dan membuatnya tidak jadi menangis. Memang ada untungnya juga ada Nadira dan Melia setidaknya suasana tidak setegang tadi.

"Aula aja yang gue peluk, gue juga gak mau meluk elo" Nadira mendengus dan berpaling ke arah Aula yang juga tiba-tiba bangkit dan menjaga jarak dari Nadira.

I Love You, Genta!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang