Rencana Liburan

32 5 8
                                    

Setelah selesai makan, kami berdua pergi berjalan-jalan di sekitaran taman dekat restoran tadi. Kami saling diam dan hanya menikmati suasana malam ini yang cerah dan keramaian taman yang seolah tak pernah sunyi.

Genta juga tidak bertanya apapun tentang perempuan tadi, hal itu sangat aku syukuri karena aku tidak tau harus menjawab apa kalau ia bertanya. Masalah yang terlalu sensitif dan terlalu kompleks.

"Duduk di sana dulu" aku menoleh ke arah yang di tunjuk Genta. Tempat itu tepat di depan air mancur di tengah taman.

Kami duduk bersebelahan dengan mata tertuju pada air mancur di depan.

"Lo tau gak kenapa orang-orang ngelemparin koin ke dalam air itu?"

Aku mengernyit mendengar pertanyaan dari Genta, bukannya orang lemparin koin buat bikin permintaan atau harapan.

"Buat bikin harapan" jawabku dengan yakin.

"Kenapa mereka membikin harapan?"

"Ya karena ada yang sedang mereka inginkan" jawabku dengan sedikit bingung, untuk apa dia menanyakan hal ini. Aku melihat Genta hanya tersenyum penuh arti.

"Banyak orang membikin harapan dengan sesuatu, untuk meyakinkan dirinya kalau ia bisa mencapai harapan itu. Manusia itu punya banyak keinginan, tetapi keinginannya itu kadang bukan yang terbaik untuknya" aku tidak mengerti kenapa Genta sampai membicarakan hal ini.

"Langitnya indah" celetuk Genta membuatku jadi memandang langit di atas yang bertabur bintang berkelap-kelip.

"Um memang indah, mungkin karena ini musim panas" jawabku.

"Lo percaya gak kalo orang yang udah tiada itu bakal jadi bintang?" Tanyanya menoleh padaku.

"Dulu percaya, tapi seiring berjalannya waktu gue mulai paham kalau itu bukan kebenarannya"

Genta berpaling dan menatap ke atas lagi, aku tau lelaki di sampingku ini memang penyuka bintang.

"Tapi gue percaya kalau seseorang yang tiada akan menjadi bintang, setidaknya bintang di hati orang yang menyayanginya" ucapnya dengan bibir mengulas senyum.

Aku terpana melihat senyum Genta, walau ia tipe lelaki yang murah senyum tetap saja aku merasa hal itu terus saja membuatku terpana.

Kemudian Genta diam dengan mata tertutup seolah ia begitu menyatu dengan keadaan saat ini. Aku juga tidak mengeluarkan suara apapun, kadang kala sesuatu akan lebih baik dihadapi dengan keheningan.

Aku tau kecanggungan dan kerenggangan beberapa waktu lalu mulai memudar. Pada akhirnya semua akan menjadi lebih baik pada waktunya. Saling memahami dengan diam juga suatu bentuk perasaan yang kuat.

Di langit nan jauh sana para bintang mulai bergerak menyingsing malam yang kian larut. Setelahnya Genta mengantarkanku pulang ke rumah.

...

"Pah" panggilku pada sosok lelaki yang selama tujuh belas tahun ini aku panggil Papah. Aku menaruh secangkir teh ke atas meja ruang tamu.

Aku melirik Papah yang melipat korannya dan menurutnya di samping.

"Terima kasih, nak" ucap Papa dengan senyum hangatnya.

"Papa malam tadi lembur?"

"Iya, ada sedikit kendala di perusahaan" ucap Papa sembari menyesap tehnya. "Buatan Ody nya Papa memang yang terbaik" puji Papa membuatku tersenyum bahagia.

"Papa jaga kesehatan, jangan terlalu larut bergadangnya. Ody gak mau kalau Papa sakit" aku menatap Papa dengan kekhawatiran karena kadang Papa bisa drop kalau terlalu banyak aktivitas berat.

I Love You, Genta!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang