ARDAN menghempaskan tubuhnya pada sofa di kamar. Kedua tangan dilipat di atas kepala. Arah matanya memandangi langit-langit kamar yang berisi Asmaul Husna.
"Ya Allah, maafkan saya. Bukannya saya menutupi yang Engkau larang. Saya tau apa yang saya perbuat adalah larangan-Mu. Saya janji pada-Mu yang Maha Mengatahui semua isi hati, izinkan saya melamar gadis itu. Hehe. Amiin."ucap Ardan lalu mengubah posisi duduk.
"Amiin Ya Allah."
Ardan terkejut mendapati Zahra di pintu yang terbuka sedikit. Zahra tertawa kecil melihat tatapan polos Ardan.
"Jadi, hm---siapa tuh kak?"ucap Zahra sembari duduk di samping Ardan.
"Nanti juga pasti kamu tau, Ra. "jawab Ardan berusaha semaksimal mungkin agar keluarga nya tak tau apapun dulu.
"Oh, jadi Kak Ardan mau main rahasia-rahasia an nih? Oke, Zahra tunggu waktunya. Yang penting, dengar pesan Abi, Kak. Sebelum dihalalkan tolong jangan melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama." ucap Zahra sembari menepuk bahu Ardan.
Ardan mengangguk mantap.
"Oke sip, kapten kecil."sahut Ardan sembari mengangkat tangan di kepala memberikan hormat pada Zahra.
"Ahahha. Apa sih, Kak. Bikin malu aja. Ya udah, Zahra mau balik ke kamar. Dah."ucap Zahra berlalu dari kamar Ardan.
Ardan memastikan Zahra sudah balik ke kamarnya. Dia menutup rapat pintu kamarnya dengan hati-hati.
Terdengar suara dering hp nya dari atas meja. Secepat mungkin Ardan meraih dan mengangkat panggilan istimewa.
"Waalaikumussalam, Bidadari surgaku. Ada apa?"
***
Rista mendekatkan telinganya di dekat Riska. Riska yang malu langsung mendorong kepala Rista dengan pelan.
"Apa kamu ada waktu? Besok aku mau ke perpustakaan."
"...."
"Jam segitu ya. Hm." Riska memutar kepalanya sebentar. Karena penasaran akhirnya Rista bertanya dengan berbisik.
"Kenapa?"
"Bisa, tapi jam sembilan malam."jawab Riska berbisik juga.
Rista terdiam sejenak. Pasalnya, Ibu nya itu pasti tak setuju jika kedua putrinya pulang di atas jam 8 malam. Apalagi alasannya sepasang kekasih itu ingin bertemu.
"Kak Riska setujuin aja dulu, selebihnya biar aku yang beresin."ucap Rista sembari memberikan 'jempol' untuk kakaknya itu. Setelahnya, Rista keluar kamar.
Riska mengangguk cepat.
"Hm, Ar. Oke, nanti aku share lock ya. Maaf mengganggu waktumu. Hehe. Assalamualaikum."
"...."
Setelah memutuskan panggilan, Riska lanjut berkutat dengan baju satu keranjang di ujung mejanya. Melanjutkan tugas 'menyetrika'.
Dari dalam kamar, Riska mendengar suara adiknya. Walaupun samar, tapi Riska berusaha mendengar percakapan Rista dan ayahnya.
"Ayolah, Ayah. Ini urgent banget. Kalau Rista ngga ikut, nilai Rista untuk tugas kelompok akhir ini bakal jadi hambatan masuk Universitas nanti."
"Huh! Rista, boleh ngga jangan melanggar apa yang menjadi aturan rumah ini?"
"Satu kali aja, Yah. Please." ucap Rista sembari menelungkup kan kedua tangannya
"Siapa yang menjamin bahwa kamu akan baik-baik saja di sana? Temen kelompok mu kan kebanyakan cowok."
"Aku akan minta Kak Riska ikut, jadi Ayah ngga perlu khawatir."
"Huh! Baiklah. Untuk kali ini saja ya? Inget! Untuk kali ini saja. Lewat dari jam sepuluh, kamu bakal Ayah hukum. "
"Terimakasih, Ayah."
"Iya, sama-sama."
Riska tersenyum senang dari balik pintu. Adik perempuan nya itu sangat membantunya. Dari awal pacaran, Rista memang sangat membantu.
Ya, walaupun awalnya Rista menolak justru melarang hubungannya dengan Ardan. Lama-kelamaan adiknya itu menuruti juga, asal Riska bahagia dengan pilihannya .
***
Keesokan paginya, Rista bangun kesiangan. Padahal hari ini Matematika adalah pelajaran pertama. Rista mendengus sebal.
Hari yang sangat buruk. Duh, mana PR Matematikaku belum selesai lagi. Eeehhhh Ibu...
"Ehm! Rista, dimakan dulu rotinya ya. Ibu udah telpon pak Madi."ucap Ibu setelah melihat anaknya itu gelisah setengah mati.
"Kenapa Ayah ngga tungguin sih? " Rista mencebikkan pipinya sebal.
"Kan kamu bangunnya yang kesiangan."jawab Ibu mencoba sabar.
"Ya tinggal dibangunin kek, apa susahnya sih."
Ibu hanya menggeleng kan kepalanya. Ia tak mau melanjutkan perdebatan itu. Riska turun dari lantai atas. Ransel biru melekat di punggung nya.
"Sama aku aja, Rista. Yuk."ucap Riska mengajak dengan arahan kepala.
"Naik becak? Ih ogaaaah."jawab Rista merengek.
Riska tertawa geli begitu pun Ibu. Mereka tertawa bersahutan.
"Ayo, makanya ikut biar tau."ucap Riska sembari menarik lengan Rista. Ibu dengan cepat mengisi bekal sarapan untuk mereka berdua. Setelahnya, kedua gadis manis itu melangkah menjauhi rumah.
Tin!! Tin!! Tin!!!
Rista mengangkat kepalanya. Ada...Ohim. Rista mengucek matanya berulang kali. Ia tak menyangka pujaan hatinya itu ada di hadapannya sekarang ini.
"Loh, kok kamu sih? Ardan mana? Dia janjinya mau jemput." Riska membuka suara. Memecah keheningan.
"Lagi sibuk dia, ada urusan mendadak. Naik aja lah, Ardan sama aku kan sama aja. Sama-sama cepet sampai nya."ucap Ohim menggeser tempat duduknya agar kedua gadis itu bisa naik.
Riska memberi isyarat pada Rista agar naik duluan. Sontak saja Rista menolak.
Masa iya aku dempet-dempet sama kak Ohim? Memang aku suka, tapi jangan terlalu nampak lah.
Ucap Rista dalam hati sembari memegang pipinya yang menghangat. Riska terkekeh pelan.
"Masa aku sih yang di tengah, kan kakak berhijab, Dek."ucap Riska sembari menarik ujung hijabnya. Mau tidak mau, Rista mengalah.
"Pegangan ya."ucap Ohim lalu motorpun berjalan cepat. Saking cepatnya, sampai-sampai hijab Riska nyaris terlepas.
Sedangkan Rista, menutup mulutnya yang sedari tadi mangap selebar lapangan bola. Dalam hati mengutuk.
Untung ganteng kamu Kak Ohim. Kalo enggak, udah aku pukul kepalaaaamuuu.... Ini mulutku ngga mau tertutup!!! Tanggung jawab kamu Kak!!!!
***
HI?!!! SAMPAI KETEMU LAGI BERSAMA RISTA, RISKA, ARDAN.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rista dan Ardan
RomanceCerita ini adalah lanjutan My Senior My Husband ya. Membahas cerita kakak nya Zahra sama Kakak Iparnya ya. cekidot!