BAB 15

8 1 0
                                    

SETELAH membuka pagar, Ardan mengendarai mobilnya sampai tepat di depan rumah. Tatapannya mengganas. Ia dengan cepat masuk ke dalam rumah.

"RISTA!!"

"RISTA!!"

Ardan berteriak, dadanya naik turun. Tidak sabar ingin bertemu dengan istrinya.

Mata Ardan memicing mendapati Rista sedang menuruni tangga. Tanpa aba-aba, Ardan langsung menghampirinya.

"Dasar perempuan binal!"bentak Ardan lalu menarik rambut Rista sampai ke lantai bawah.

"Aw! Lepasin, Kak."lirih Rista sembari memohon.

Ardan pun melepaskan aksi menjambaknya. Tapi, sedetik kemudian ia melakukan kekerasan.

PLAK!!

Ardan menarik rahang Rista, "Kamu mau apa? Hah? Tidak cukup merusak mimpi kakakmu? Kamu juga ingin merusak kehidupanku? Iya?!"bentak Ardan.

"Aku udah bilang, kalo kamu itu ga pantas untuk gelar seorang 'istri'! Perempuan binal kayak kamu itu ga pantas!"

"Jangan pernah berpikir aku mencintaimu! Tidak! Semakin kamu berpikir seperti itu, semakin aku membencimu! Cukup tau diri saja!!"

Perlahan-lahan air mata Rista turun. Membasahi pipinya.

Tidak ada rasa kasihan Ardan kali ini. Yang ada hanya perasaan jijik. Beberapa detik kemudian, ia meludahi wajah Rista.

"Jangan pernah ganggu kehidupanku lagi. Camkan itu."bisik Ardan. Kemudian Ardan melangkah pergi, meninggalkan Rista yang menangis tersedu-sedu.

Ardan masuk ke kamarnya, ia menekan sebuah nomor dan mereka pun mengobrol. Menyalurkan apa yang mereka lalui dan kejadian hari ini.

Di seberang, Riska tampak bahagia. Di hari-hari sebelumnya ia merasa hampa, tapi Ardan selalu jadi penguat dirinya. Sampai hari ini.

Satu janji Ardan kepada Riska, bahwa mereka akan bersama. Kalau Rista mau, berarti Ardan berpoligami. Tapi, jika sebaliknya berarti Ardan akan menceraikan Rista.

Dan Riska masih memegang janji itu. Sampai waktunya tiba.

Di lantai bawah, Rista masih menangis. Ia mengambil ponsel dan memotret wajahnya saat ini. Jika waktu perpisahan mereka tiba, ia tidak akan membiarkan Ardan hidup tenang.

Ceklek!

***

Rista kembali ke kamarnya. Ia memegangi perutnya yang sakit karena belum makan dari tadi malam. Ia teringat terakhir kali makan jam tiga sore.

Karena tidak tau mau bagaimana, Rista pun mengambil ponsel dan menelpon Alda. Panggilan itu terus berulang dan tidak pernah dijawab. Rista pun menghentikan panggilannya.

Gejolak di perutnya makin meningkat. Rista memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Ia mencoba berdiri namun gagal. Ia tetap berusaha berdiri untuk ke dapur mencari sisa makanan.

BRAK!!

Lampu di atas meja jatuh. Serpihan kaca dari lampu itu menyebar. Tidak sengaja Rista menginjaknya dan berteriak keras.

Ardan yang merasa terganggu langsung mematikan panggilannya. Ia bergegas menuju kamar Rista.

Ardan memutar kenop pintu, tapi tidak bisa. Rista mengunci dari dalam. Ardan hanya mendengar sebuah rintihan kecil.

Bugh!

Karena penasaran, Ardan akhirnya menendang pintu dengan kekuatan ekstra. Pintu pun terbuka.

Rista dan ArdanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang